Malang: Pengabdian tulus sebagai seorang pelayan masyarakat ditunjukkan betul oleh Dian Agung Anggraeny. Dokter asal Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu bahkan rela dibayar dengan sayur-mayur usai merawat pasiennya.
Tak hanya rela dibayar dengan sayur, Dian bahkan tak jarang memberikan pelayanan gratis kepada pasiennya. Ada lima kategori pasien yang 'bisa' tidak membayar untuk mendapatkan perawatan dari dokter lulusan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini.
Yakni, pasien dari kalangan tidak mampu, pasien ODHA (orang dengan HIV-AIDS), pasien tuberculosis (TBC), pasien difabel, dan pasien gangguan jiwa.
"Itu semua gratis. Beberapa orang juga ada yang membayar, tapi semampunya," kata Dian saat ditemui Medcom.id, Selasa 24 September 2019.
Sejak membuka klinik pertama kali pada 2008 silam, Dian memang memutuskan untuk menjadi dokter umum yang rela dibayar dengan apa pun. Mulai dari telur, sayur-mayur, ikan laut, ayam, dan lain-lain.
Klinik milik Dian sendiri bernama Klinik Dian Kusuma Wijaya yang berlokasi di Jalan Kusmanaji nomor 40, Dusun Suko, Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
"Ada yang bayar pakai sayur, tapi ada juga yang bawa ikan dan ayam. Pokoknya hasil panen mereka saat itu. Jadi getok tular, jadi kebiasaannya ya gitu," ungkap istri dari Nova Andiano ini.
Klinik milik Dian tak pernah sepi. Dalam sehari, dokter 42 tahun ini biasa menerima 25-40 pasien. Pasien yang datang pun tak hanya dari kawasan Sumberpucung saja, namun juga dari daerah lain bahkan hingga luar kota.
"Pasien di luar Sumberpucung malah banyak sekali, hampir 50 persen. Pasien paling jauh dari Blitar," terang dokter yang juga menjabat Humas Pusat Data dan Informasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malang ini.
Dian membuka kliniknya hampir setiap hari, mulai Senin hingga Sabtu. Jam praktik dibuka dalam dua sesi yakni pagi hari mulai pukul 07.00 hingga pukul 11.00 WIB dan sore hari mulai pukul 16.00 hingga pukul 20.00 WIB.
"Tapi kalau di desa itu tidak ada jam praktiknya. Pasien bisa datang sewaktu-waktu. Saya enggak mungkin menolak pasien, harus tetap melayani setiap waktu," kisah ibu dari lima anak ini.
Memang tak semua pasien Dian membayar dengan sayur-mayur hingga gratis. Namun, juga ada pasien yang membayar dengan uang sesuai tarif yang tertera. Dian menamakannya pola ini dengan pola Gendong Indit.
"Dari seluruh pasien saya, sebanyak 15-20 persen itu bayar dengan cara lain, mulai dari sayur dan lain-lain, bahkan gratis. Paling banyak 25 persen lah. Sisanya pasien bayar sesuai tarif. Itu bisa menutup kebutuhan klinik selama ini," jelas dokter yang juga memiliki salon kecantikan ini.
Pengabdian tulus Dian ini terinspirasi dari kedua orang tuanya. Ayah Dian, Mudijono dulunya adalah seorang perawat dan ibu Dian, Kartinah seorang bidan.
Keduanya membuka praktik klinik sejak 1972 di tempat yang sama dengan klinik yang didirikan Dian saat ini.
"Sebelum saya di situ yang praktek bapak ibu saya. Ketika mereka melayani pasien saat itu, mereka juga dibayar dengan apapun yang pasien punya. Jadi saya tinggal meneruskan," ujar lulusan SMPN 3 Malang ini.
"Orang tua saya juga pernah berpesan agar saya selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat di bidang kesehatan. Karena kita sejatinya sebagai pelayan kan melayani. Selain itu bagaimana kita memanusiakan manusia. Kita harus memandang manusia semua sama, tidak membedakan satu sama lain," pungkasnya.
Malang: Pengabdian tulus sebagai seorang pelayan masyarakat ditunjukkan betul oleh Dian Agung Anggraeny. Dokter asal Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu bahkan rela dibayar dengan sayur-mayur usai merawat pasiennya.
Tak hanya rela dibayar dengan sayur, Dian bahkan tak jarang memberikan pelayanan gratis kepada pasiennya. Ada lima kategori pasien yang 'bisa' tidak membayar untuk mendapatkan perawatan dari dokter lulusan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini.
Yakni, pasien dari kalangan tidak mampu, pasien ODHA (orang dengan HIV-AIDS), pasien tuberculosis (TBC), pasien difabel, dan pasien gangguan jiwa.
"Itu semua gratis. Beberapa orang juga ada yang membayar, tapi semampunya," kata Dian saat ditemui
Medcom.id, Selasa 24 September 2019.
Sejak membuka klinik pertama kali pada 2008 silam, Dian memang memutuskan untuk menjadi dokter umum yang rela dibayar dengan apa pun. Mulai dari telur, sayur-mayur, ikan laut, ayam, dan lain-lain.
Klinik milik Dian sendiri bernama Klinik Dian Kusuma Wijaya yang berlokasi di Jalan Kusmanaji nomor 40, Dusun Suko, Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
"Ada yang bayar pakai sayur, tapi ada juga yang bawa ikan dan ayam. Pokoknya hasil panen mereka saat itu. Jadi getok tular, jadi kebiasaannya ya gitu," ungkap istri dari Nova Andiano ini.

Klinik milik Dian tak pernah sepi. Dalam sehari, dokter 42 tahun ini biasa menerima 25-40 pasien. Pasien yang datang pun tak hanya dari kawasan Sumberpucung saja, namun juga dari daerah lain bahkan hingga luar kota.
"Pasien di luar Sumberpucung malah banyak sekali, hampir 50 persen. Pasien paling jauh dari Blitar," terang dokter yang juga menjabat Humas Pusat Data dan Informasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malang ini.
Dian membuka kliniknya hampir setiap hari, mulai Senin hingga Sabtu. Jam praktik dibuka dalam dua sesi yakni pagi hari mulai pukul 07.00 hingga pukul 11.00 WIB dan sore hari mulai pukul 16.00 hingga pukul 20.00 WIB.
"Tapi kalau di desa itu tidak ada jam praktiknya. Pasien bisa datang sewaktu-waktu. Saya enggak mungkin menolak pasien, harus tetap melayani setiap waktu," kisah ibu dari lima anak ini.
Memang tak semua pasien Dian membayar dengan sayur-mayur hingga gratis. Namun, juga ada pasien yang membayar dengan uang sesuai tarif yang tertera. Dian menamakannya pola ini dengan pola Gendong Indit.
"Dari seluruh pasien saya, sebanyak 15-20 persen itu bayar dengan cara lain, mulai dari sayur dan lain-lain, bahkan gratis. Paling banyak 25 persen lah. Sisanya pasien bayar sesuai tarif. Itu bisa menutup kebutuhan klinik selama ini," jelas dokter yang juga memiliki salon kecantikan ini.
Pengabdian tulus Dian ini terinspirasi dari kedua orang tuanya. Ayah Dian, Mudijono dulunya adalah seorang perawat dan ibu Dian, Kartinah seorang bidan.
Keduanya membuka praktik klinik sejak 1972 di tempat yang sama dengan klinik yang didirikan Dian saat ini.
"Sebelum saya di situ yang praktek bapak ibu saya. Ketika mereka melayani pasien saat itu, mereka juga dibayar dengan apapun yang pasien punya. Jadi saya tinggal meneruskan," ujar lulusan SMPN 3 Malang ini.
"Orang tua saya juga pernah berpesan agar saya selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat di bidang kesehatan. Karena kita sejatinya sebagai pelayan kan melayani. Selain itu bagaimana kita memanusiakan manusia. Kita harus memandang manusia semua sama, tidak membedakan satu sama lain," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)