Jakarta: Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama Witjaksnono menilai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 86 dan 87 Tahun 2021 merugikan nelayan. Aturan ini turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merugikan nelayan.
"Bersama pengurus Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia, kami telah melihat, mendengar dan merasakan secara langsung dampak yang telah dan akan timbul akibat
peraturan baru tersebut," kata Witjaksnono di Jakarta, Rabu, 29 September 2021.
Sebelumnya, hanya kapal di atas 30 gross ton yang dipungut biaya. Aturan ini dianggap mematikan nelayan-nelayan dengan hasil tangkapan yang kecil.
"Di mana mayoritas dari pengguna kapal berukuran 5-10 grosston adalah nelayan kecil. Seolah-olah memaksa nelayan dengan perahu kecil melaut sejauh-jauhnya demi membayar kas negara tanpa memperhatikan keselamatan nelayan kecil," katanya.
Witjaksnono khawatir pungutan pra dan pascaproduksi berpotensi menimbulkan praktik manipulasi dan monopoli. Sehingga berisiko menimbulkan kerugian potensi pendapatan negara serta dimungkinkan praktik pengancaman terhadap nelayan.
"Ini berakibat pada dihambatnya dokumen kelengkapan melaut oleh petugas di lapangan, menjadi aneh apabila nelayan yang hendak melaut dan mematuhi aturan harus dihambat dan dipaksa merugi untuk membayar hal yang tidak masuk akal," katanya.
Baca: Tarif PNBP Naik 400%, Ratusan Nelayan Brebes Datangi Gedung DPRD
Menurutnya, kenaikan pungutan dalam bentuk penetuan skala persentase kapal ukuran 5-60 grosston sebesar lima persen, 61-1000 grosston sebesar 10 persen dan 1000 grosston ke atas sebagai keputusan yang terburu-buru. Aturan ini tidak sesuai dengan sumber daya manusia lokal (SDM) dan hanya menguntungkan perusahaan besar. Ini membuka potensi kapal asing untuk semakin banyak beroperasi di perairan NKRI.
"Penetapan harga patokan ikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 tahun 2021 untuk perhitungan pungutan hasil perikanan dan produktivitas penangkapan ikan dinilai tidak memiliki dasar yang komprehensif karena melupakan dasar pembuatan kebijakan dengan tidak melibatkan organisasi kemasyarakatan terkait," katanya.
Ia melanjutkan penetapan tersebut tidak memperhatikan musim, kualitas ikan pascatangkap dan lokasi tangkap. Bahkan ditemukan jenis ikan yang ditemukan memiliki harga jauh lebih rendah daripada harga patokan tersebut yang tentu saja membuat nelayan merugi.
"Pola perhitungan diatas pun sangat merugikan para buruh nelayan yang mayoritas pendapatannya didasarkan pada hasil penjualan tangkapan ikan setelah dikurangi biaya operasional," katanya.
Ia sangat prihatin melihat terbitnya keputusan menteri tersebut demi peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan menjadikan masyarakat kecil sebagai ‘objek perah’.
"Jika memang KKP belum bisa menemukan cara untuk membantu nelayan, kami mohon agar tidak menambah kesengsaraan nelayan dan masyarakat kecil," katanya.
Jakarta: Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama Witjaksnono menilai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 86 dan 87 Tahun 2021 merugikan nelayan. Aturan ini turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merugikan nelayan.
"Bersama pengurus Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia, kami telah melihat, mendengar dan merasakan secara langsung dampak yang telah dan akan timbul akibat
peraturan baru tersebut," kata Witjaksnono di Jakarta, Rabu, 29 September 2021.
Sebelumnya, hanya kapal di atas 30 gross ton yang dipungut biaya. Aturan ini dianggap mematikan nelayan-nelayan dengan hasil tangkapan yang kecil.
"Di mana mayoritas dari pengguna kapal berukuran 5-10 grosston adalah nelayan kecil. Seolah-olah memaksa nelayan dengan perahu kecil melaut sejauh-jauhnya demi membayar kas negara tanpa memperhatikan keselamatan nelayan kecil," katanya.
Witjaksnono khawatir pungutan pra dan pascaproduksi berpotensi menimbulkan praktik manipulasi dan monopoli. Sehingga berisiko menimbulkan kerugian potensi pendapatan negara serta dimungkinkan praktik pengancaman terhadap nelayan.
"Ini berakibat pada dihambatnya dokumen kelengkapan melaut oleh petugas di lapangan, menjadi aneh apabila nelayan yang hendak melaut dan mematuhi aturan harus dihambat dan dipaksa merugi untuk membayar hal yang tidak masuk akal," katanya.
Baca: Tarif PNBP Naik 400%, Ratusan Nelayan Brebes Datangi Gedung DPRD
Menurutnya, kenaikan pungutan dalam bentuk penetuan skala persentase kapal ukuran 5-60 grosston sebesar lima persen, 61-1000 grosston sebesar 10 persen dan 1000 grosston ke atas sebagai keputusan yang terburu-buru. Aturan ini tidak sesuai dengan sumber daya manusia lokal (SDM) dan hanya menguntungkan perusahaan besar. Ini membuka potensi kapal asing untuk semakin banyak beroperasi di perairan NKRI.
"Penetapan harga patokan ikan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 tahun 2021 untuk perhitungan pungutan hasil perikanan dan produktivitas penangkapan ikan dinilai tidak memiliki dasar yang komprehensif karena melupakan dasar pembuatan kebijakan dengan tidak melibatkan organisasi kemasyarakatan terkait," katanya.
Ia melanjutkan penetapan tersebut tidak memperhatikan musim, kualitas ikan pascatangkap dan lokasi tangkap. Bahkan ditemukan jenis ikan yang ditemukan memiliki harga jauh lebih rendah daripada harga patokan tersebut yang tentu saja membuat nelayan merugi.
"Pola perhitungan diatas pun sangat merugikan para buruh nelayan yang mayoritas pendapatannya didasarkan pada hasil penjualan tangkapan ikan setelah dikurangi biaya operasional," katanya.
Ia sangat prihatin melihat terbitnya keputusan menteri tersebut demi peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan menjadikan masyarakat kecil sebagai ‘objek perah’.
"Jika memang KKP belum bisa menemukan cara untuk membantu nelayan, kami mohon agar tidak menambah kesengsaraan nelayan dan masyarakat kecil," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(WHS)