Istimewa
Istimewa

Tangkal Pelemahan Budaya Hukum Lewat Penegakan Etika Berbangsa dan Bernegara

Al Abrar • 19 September 2024 20:05
Makassar: Hukum itu ibarat sebuah kapal, etika adalah samuderanya. Maka kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau samuderanya kering.
 
Adagium yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dengan tema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa, 17 September 2024, tersebut membawa pesan yang mendalam mengenai korelasi antara etika dan hukum.
 
Etika menjadi hulu dari segala problematika terdegradasinya budaya hukum yang berkeadilan, sehingga pada hilirnya terjadi kemerosotan negara di segala aspek, baik aspek demokrasi, sosial, politik maupun perekonomian.

“Sekarang salah satu isu yang paling banyak dibicarakan orang soal etika ini. Ini momentum melakukan pembenahan. Sejak 2009 saya sudah promosikan pentingnya menata sistem etika berbangsa dan bernegara ini,” katanya.
 
Manusia sebagai penggerak hukum harus dipastikan telah bersih dari nilai-nilai niretika jika ingin mewujudkan cita-cita budaya hukum yang berkeadilan.
 
Sebaliknya budaya hukum yang rapuh dan runtuh disebabkan oleh penggerak hukumnya yang tidak lagi membawa nilai-nilai etika dan moralitas, sehingga sistem hukum yang diibaratkan dengan sebuah kapal tidak mampu mencapai dermaga keadilan yang dicita-citakan.
 
Beberapa problematika budaya hukum yang disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara yang niretika tersebut adalah sistem politik yang mengarah pada otoritarianisme.
 
Sistem politik otoritarianisme ini dapat menjebak penyelenggaran negara pada sikap penghambaan kepada presiden, yang terungkap dengan digunakannya istilah “raja” oleh elit politik.
 
Sikap penghambaan kepada presiden seperti ini mengakibatkan minimnya pengawasan dan kontrol.
 
Lembaga Parlemen (legislatif) jauh dari efektif, karena hanya menjadi alat penguasa (eksekutif),
menjadi stempel (rubber stamp) terhadap keputusan eksekutif. Penyalahgunaan konsep politik kekeluargaan, yang direduksi secara sempit sebagai bagi-bagi kue kekuasaan, menyandera mereka yang berseberangan dan kritis terhadap kekuasaan.
 
“Paling fatal ialah problem otokrasi legalisme, atau kondisi ketertutupan sistem politik terkait upaya manipulasi hukum. Bisa disebut juga dengan despotisme baru. bagaimana pemimpin berupaya untuk menempatkan dirinya lebih tinggi dari kekuasaan lain dengan cara manipulasi atau upaya mempermainkan hukum atas nama menghancurkan rule of law itu sendiri,” kata Airlangga Pribadi, Pakar Politik Universitas Airlangga.
 
Dengan menggunakan hukum sebagai instrumen penekan dan pembenar keinginan rejim yang sedang berkuasa, elit politik tidak lagi berdaya untuk berperan sebagai oposisi. Resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam prikehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.
 
Problematika ini pada akhirnya merambat pada kehidupan demokrasi yang cukup serius, diantaranya pembatasan dan ancaman terhadap diskusi akademis di kampus-kampus, pembatasan kontestasi pemilu dengan penerapan threshold yang tinggi sehingga menciptakan koalisi gemuk.
 
Praktik politik kolutif seperti ini menyebabkan sistem demokrasi hanyalah bersifat prosedural, semakin menjauh dari demokrasi substantif yang seharusnya mengandung unsur representasi publik, rule of law, right and responsibility, dan partisipasi publik.
 
“Sistem pemilu kita melemahkan budaya politik dan budaya hukum sekaligus karena memang begitu rumit, mahal, sibuk dan juga tidak sempat bicara politik gagasan dan akhirnya menjauhkan akses politik minoritas dan marjinal,” ujar Titi Anggraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perluden) yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
 
Kerapuhan etika juga terjadi pada aspek hukum. Hukum tidak disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat, tetapi kepentingan politik praktis dan modal. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya, pengesahan Omnibus law lebih cepat daripada UU Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang belum disahkan hingga saat ini.
 
Dalam penegakan hukum sendiri, sistem reward dan punishment tidak dilakukan dengan efektif di lingkungan peradilan Indonesia sehingga mendegradasi integritas penegak hukum.
 
Koruptor pun tidak benar-benar diberikan hukuman yang mengisolasi mereka dari akses kepada publik sehingga membuat mereka tetap bisa tampil di depan public tanpa rasa malu.
 
"Salah satu poin penting sistem hukum ialah independensi peradilan dan integritas aktor peradilan. Hari ini kita bisa saksikan bagaiman hukum apa kata tujuan pemegang kekuasaan,” ujar Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII).
 
Seluruh kerapuhan etika dan moralitas hukum ini mengakibatkan akar skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2023 menjadi 34/100, sama dengan skor pada 2022.
 
Dengan skor ini, Indonesia menempati peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei.Pertumbuhan CPI Indonesia pada Juli 2023 adalah 3,1% year-on-year (YoY), turun dari 3,5% pada bulan sebelumnya.
 
Tapi yang lebih menyedihkan adalah dalam konteks Index Demokrasi Indonesia masuk ke dalam kategori negara flawed democracy, negara demokrasi yang belum sempurna dan cacat.
 
Ada 48 negara masuk dalam kategori ini. Jika skor ini dikaitkan dengan CPI, negara-negara yang masuk kategori flawed democracy rata-rata CPI nya 48, dan Indonesia skornya 34.
 
Peringkat Indonesia ini memberi sinyal berbahaya, sebab jika ke depan tergelincir 2 skor saja ke bawah, Indonesia akan dikategorikan sebagai negara non-democratic countries dan government sekaligus.
 
“Saya wanti-wanti penegakan antikorupsi. Ottoman empire hancurnya karena korupsi. Kalau kita masih seperti ini korupsinya, kehancuran bisa terjadi pada diri kita,” tutur Agus Rahardjo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019.
 
Ketika ketiadaan etika penyelenggara negara menjadi sesuatu yang sistemik, terlebih didukung oleh perangkat digital, maka yang akan muncul adalah premanisme politik dan hukum yang menggunakan perangkat buzzer media.
 
Perangkat media digital berhasil merekayasa popularitas pejabat dan kebijakan, seolah-olah kebijakan tersebut telah disetujui oleh Masyarakat secara luas, padahal merupakan bentuk hegemoni kepentingan penguasa dan menjadi pertanda demokrasi yang telah hampir mati.
 
Hal ini yang menyebabkan implementasi sistem nilai etika tidak cukup hanya dilakukan sebatas aspek sosial kultural, namun juga harus dilakukan secara simultan dengan perbaikan dalam aspek struktural.
 
Pergerakan etika secara struktural dalam bentuk kebijakan telah dilegitimasi secara ilmiah oleh perkembangan etika. Perbaikan etika tidak lagi cukup hanya diwacanakan sebagai sebuah diskursus keilmuan filsafati yang disuarakan melalui mimbar-mimbar keagamaan maupun
akademis, namun harus dipositivisasi.
 
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber etika sudah seharusnya tidak lagi diperdebatkan secara filsafati. Pancasila seharusnya dipedomani sebagai sebuah falsafah (weltanschauung) yang dijunjung tinggi demi menggerakkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju dan beradab.
 
“Sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila, dibawahnya ada undang-undang (UU) yang mengatur segala aspek. Mestinya, Pancasila sudah masuk ke segala sektor kehidupan,” kata Harjono, Hakim Konstitusi 2003-2014.
 
Oleh karena itu positivisasi etika harus dilakukan dalam bentuk code of ethics dan enforcement system of ethics dalam bentuk infrastruktur the ethic for public offices.
 
Sudah saatnya etika harus dikonkritisasi dalam bentuk aturan tertulis lengkap dengan instrumen dan struktur penegakannya. Etika jangan dibiarkan hanya menjadi sebuah norma kesusilaan yang menguap begitu saja.
 
Positivisasi etika tersebut menjadi penting dan mendesak (important and urgent) yang secepatnya harus dilakukan di tengah gempuran perkembangan zaman yang lebih mengedepankan logika daripada rasa, hati nurani dan adab.
 
Gempuran budaya pop mengakibatkan terdegradasinya nilai-nilai budaya Indonesia yang penuh dengan sopan santun, rasa malu, kejujuran, satria, dan welas asih. Sistem keteladanan etika harus dimulai dulu dari penyelenggara negaranya, baru akan mudah bagi masyarakat untuk mengikuti.
 
Krisis keteladanan penyelenggara negara menjadikan penanaman nilai integritas pada Masyarakat menjadi sulit.
 
Bagaimana bisa mengkapitalisasi kualitas bonus demografi jika anak muda dipolitisasi menjadi buzzer dan dijauhkan dari nilai-nilai etika.
 
“Tidak pernah ada upaya signifikan untuk meningkatkan anak muda. Bahkan sering dikatakan akan ada Indonesia Emas. Indonesia Emas itu kan besok akan seperti apa, sekarang kondisi kita sepetti apa, kemudia dibuat modifikasi seperti apa untuk mencapai itu. Ini sama sekali tidak ada, yang ada hanyalah anak muda yang digunakan sebagai influencer,” kata Koentjoro, Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada.
 
Pada akhirnya penegakan sistem etika harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat baik penyelenggara negara sebagai tauladan hingga masyarakat umum.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan