Jokowi Widodo bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka. (Dok Setneg)
Jokowi Widodo bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka. (Dok Setneg)

Jokowi Dinilai Tabrak Konstitusi dan Etika dalam Pencapresan Prabowo-Gibran

Al Abrar • 09 Februari 2024 23:06
Jakarta: Perkembangan dan dinamika politik dalam negeri, secara khusus menjelang Pemilihan Presiden 2024, sedang dihantui oleh masalah etika dan moral. Pelemahan demokrasi terkesan dilakukan secara terencana, terutama oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
 
Pakar politik, Ikrar Nusa Bhakti menyebut demokrasi di Indonesia memang sedang sakit karena Presiden Jokowi tidak mencegah pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka.
 
"Sebenarnya tidak menjadi masalah kalau mantan presiden, tapi kalau presiden yang berkuasa mengajukan anaknya yang tidak memenuhi syarat untuk maju, itulah yang menjadi masalah besar. Akhirnya presiden menabrak konstitusi, aturan hukum, dan etika, agar anaknya menjadi calon wakil presiden," kata Ikrar dalam Webinar Nasional Moya Institute dan Nusantara 2045 dengan tema "Pemilihan Presiden Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?", Jumat, 9 Februari 2024. 

Menurut Ikrar, contoh kasus Gibran berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK tidak memiliki otoritas untuk mengubah pasal dalam UU Pemilu karena yang diajukan tuntutan tersebut pada intinya sama perubahan pasal batas usia calon presiden-calon wakil presiden untuk meloloskan Gibran. "Kenapa tuntutan sebelumnya ditolak tapi tuntutan No. 90 diterima, itulah awal kekisruhan politik di Indonesia," tegas dia.
 
Ikrar lantas mempertanyakan apakah Pemilu Presiden 2024 sah atau tidak karena nantinya itu masih akan menjadi persoalan. Apalagi keraguan tentang etika ini diajukan oleh mereka-mereka yang menguasai hukum tata negara. Sayangnya, MK hanya memberi sanksi pelanggaran berat etis. "Padahal pelanggaran etis itu otomatis melanggar hukum karena etika-lah yang menjadi dasar putusan itu sendiri," jelasnya.
 
Ikrar menambahkan, begitu keputusan MK keluar 13 Oktober 2024, seharusnya KPU mengubah apa yang disebut Peraturan KPU. Namun ternyata KPU hanya membuat surat edaran putusan MK yang harus diikuti.
 
"Padahal bila ada persoalan genting, seharusnya DPR datang dan melaksanakan sidang karena masa reses bukan alasan, apa yang dilakukan presiden dan menteri, bantuan sosial, intimidasi civitas akademika, suruh bilang presiden bagus, seolah guru besar itu robot, yang menjalankan skenario itikad yang kurang baik untuk negeri ini," jelas Ikrar. 
 
"Mengapa Pak Jokowi diingatkan almamaternya, UGM, dan lalu kampus-kampus lain karena ia seharusnya tidak mengajukan anaknya ketika masih menjadi presiden, apalagi setiap langkah Jokowi seakan untuk memenangkan anaknya." ujar Ikrar.
 
Senada dengan Ikrar, Direktur Negarawan Center, Johan O Silalahi mengatakan, pelanggaran hukum dan konstitusi oleh Presiden Jokowi itu tak terhitung jumlahnya. Menurutnya saat ini adalah krisis etika dan moral, dimulai dari puncak tertinggi, dari Jokowi yang berupaya meloloskan anaknya menjadi calon wakil presiden lewat Mahkamah Konstitusi. 
 
"Akibatnya, seperti guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Muridnya pasti akan lebih brutal. Jokowi memberi contoh buruk, pasti di bawahnya akan meniru bahkan lebih buruk lagi," ujar Johan.
 
Menurut Johan, tidak salah kalau banyak pihak menyatakan bahwa telah terjadi kemunduran total dari sisi kenegarawan. Indonesia telah dibalut krisis moral, dan etika.
 
Johan khawatir krisis ini akan terus terbawa hingga Pemilu Presiden 2024. Apalagi Komisi Pemilihan Umum bertanggung jawab langsung pada presiden.
 
Johan menggarisbawahi perlunya sanksi keras terhadap Ketua dan seluruh anggota KPU dijadikan dasar untuk menegaskan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan