Jakarta: Tepung-Pa-Tepung” yang diciptakan oleh Nani Nurhayati, seniman asal Majalengka, Jawa Barat, menjadi salah satu yang menarik perhatian di Jakarta Biennale 2024. Dalam karya ini, Nani berkolaborasi dengan Komunitas Sikukeluang dari Pekanbaru, Riau, dalam program residensi Baku Konek yang menciptakan instalasi artistik yang menggugah imaji kolektif tentang pertemuan budaya dan kondisi ekologi di Pekanbaru.
Karya ini dipamerkan dalam rangkaian perayaan 50 tahun Jakarta Biennale yang berlangsung dari 1 Oktober hingga 15 November 2024 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Nani bercerita tentang makna di Balik “Tepung-Pa-Tepung” berawal dari riset yang
dilakukannya saat residensi di Pekanbaru.
Dalam bahasa Sunda, “tepung” berarti bertemu, sedangkan “pa-tepung” bermakna saling bertemu. Penggunaan istilah ini menyoroti filosofi pertemuan sebagai landasan utama karyanya. Nani menjelaskan bahwa melalui residensinya, ia berupaya menyusun temuan dari interaksi
sehari-hari dengan masyarakat Pekanbaru, mulai dari kunjungannya ke Rumah Nonblok hingga Pasar Tradisional.
Dari pertemuan-pertemuan ini, Nani berhasil menggali ingatan kolektif tentang kondisi ekologis kota tersebut. “Tepung-Pa-Tepung” mengusung tema pertemuan yang kaya akan makna, baik dari aspek bahasa maupun pengalaman sosial-ekologis,” ujarnya saat sesi Artist Talk: Baku Konek, Jumat, 4 Oktober 2024.
Instalasi “Tepung-Pa-Tepung” tersusun dari tepung sagu, komponen rangkaian kinetik, beras, kunyit, uang koin, pelat aluminium, dan janur kuning.
“Semua elemen ini menciptakan dialog visual yang terinspirasi dari ritual pengobatan
tradisional Melayu Riau, yaitu Badewo Bonai,” kata Nani.
Ritual tersebut menggunakan balai dukun sebagai medium untuk memanggil leluhur, serta Tepuk Tepung Tawar sebuah upacara simbolis yang menggunakan beras kunyit sebagai lambang keberkahan.
Nani mengungkapkan bahwa karyanya merupakan hasil dari dialog antara dirinya dengan warga lokal yang terjalin melalui pertemuan-pertemuan sederhana di berbagai tempat saat residensi Baku Konek. Hasil temuan tersebut ia wujudkan dalam bentuk instalasi yang mencerminkan suasana magis dan kontras antara ingatan akan ekologi dan tradisi pengobatan setempat.
Visual instalasi ini ditampilkan dalam bentuk piringan berpelat aluminium bergelombang beraksara Arab warna kuning dari beras kunyit yang memberikan nuansa spiritual sekaligus membumi. Karya ini seolah menjadi medium bagi pertemuan antara manusia dengan leluhur, sekaligus menyuarakan kondisi ekologis yang dialami masyarakat Pekanbaru.
Nani menjelaskan beras kunyit menjadi salah satu medium yang ada pada ritual Tepuk Tepung Tawar, dan juga ada dalam ritual Badewo Bonai. Dari kedua ritual tersebut beras dan kunyit sama sama digunakan untuk menawar atau mengobati atau menangkal penyakit atau hal-hal buruk.
Melalui “Tepung-Pa-Tepung”, Nani ingin membuka kesadaran publik tentang kondisi ekologis yang semakin memburuk di Pekanbaru akibat polusi udara dan bencana lingkungan lainnya. Instalasi ini menjadi metafora bagi masyarakat yang masih menjaga tradisi, namun di saat yang sama, harus berhadapan dengan perubahan lingkungan yang drastis.
Karya “Tepung-Pa-Tepung” juga terinspirasi dari upacara Badewo Bonai dan Tepuk Tepung Tawar, dua ritual pengobatan tradisional Melayu Riau yang menjadi simbol keselarasan antara alam dan manusia.
Dalam konteks karya Nani, kedua ritual tersebut mencerminkan proses pertemuan dan temuan yang berdialog satu sama lain, seolah menjadi penawar bagi luka ekologis yang sedang dialami.
Bagi Nani Nurhayati, “Tepung-Pa-Tepung” tidak hanya sekadar karya instalasi, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana pertemuan antar budaya, alam, dan manusia dapat mengungkapkan ingatan kolektif yang penting untuk dijaga.
Jakarta: Tepung-Pa-Tepung” yang diciptakan oleh Nani Nurhayati, seniman asal Majalengka, Jawa Barat, menjadi salah satu yang menarik perhatian di Jakarta Biennale 2024. Dalam karya ini, Nani berkolaborasi dengan Komunitas Sikukeluang dari Pekanbaru, Riau, dalam program residensi Baku Konek yang menciptakan instalasi artistik yang menggugah imaji kolektif tentang pertemuan budaya dan kondisi ekologi di Pekanbaru.
Karya ini dipamerkan dalam rangkaian perayaan 50 tahun Jakarta Biennale yang berlangsung dari 1 Oktober hingga 15 November 2024 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Nani bercerita tentang makna di Balik “Tepung-Pa-Tepung” berawal dari riset yang
dilakukannya saat residensi di Pekanbaru.
Dalam bahasa Sunda, “tepung” berarti bertemu, sedangkan “pa-tepung” bermakna saling bertemu. Penggunaan istilah ini menyoroti filosofi pertemuan sebagai landasan utama karyanya. Nani menjelaskan bahwa melalui residensinya, ia berupaya menyusun temuan dari interaksi
sehari-hari dengan masyarakat Pekanbaru, mulai dari kunjungannya ke Rumah Nonblok hingga Pasar Tradisional.
Dari pertemuan-pertemuan ini, Nani berhasil menggali ingatan kolektif tentang kondisi ekologis kota tersebut. “Tepung-Pa-Tepung” mengusung tema pertemuan yang kaya akan makna, baik dari aspek bahasa maupun pengalaman sosial-ekologis,” ujarnya saat sesi Artist Talk: Baku Konek, Jumat, 4 Oktober 2024.
Instalasi “Tepung-Pa-Tepung” tersusun dari tepung sagu, komponen rangkaian kinetik, beras, kunyit, uang koin, pelat aluminium, dan janur kuning.
“Semua elemen ini menciptakan dialog visual yang terinspirasi dari ritual pengobatan
tradisional Melayu Riau, yaitu Badewo Bonai,” kata Nani.
Ritual tersebut menggunakan balai dukun sebagai medium untuk memanggil leluhur, serta Tepuk Tepung Tawar sebuah upacara simbolis yang menggunakan beras kunyit sebagai lambang keberkahan.
Nani mengungkapkan bahwa karyanya merupakan hasil dari dialog antara dirinya dengan warga lokal yang terjalin melalui pertemuan-pertemuan sederhana di berbagai tempat saat residensi Baku Konek. Hasil temuan tersebut ia wujudkan dalam bentuk instalasi yang mencerminkan suasana magis dan kontras antara ingatan akan ekologi dan tradisi pengobatan setempat.
Visual instalasi ini ditampilkan dalam bentuk piringan berpelat aluminium bergelombang beraksara Arab warna kuning dari beras kunyit yang memberikan nuansa spiritual sekaligus membumi. Karya ini seolah menjadi medium bagi pertemuan antara manusia dengan leluhur, sekaligus menyuarakan kondisi ekologis yang dialami masyarakat Pekanbaru.
Nani menjelaskan beras kunyit menjadi salah satu medium yang ada pada ritual Tepuk Tepung Tawar, dan juga ada dalam ritual Badewo Bonai. Dari kedua ritual tersebut beras dan kunyit sama sama digunakan untuk menawar atau mengobati atau menangkal penyakit atau hal-hal buruk.
Melalui “Tepung-Pa-Tepung”, Nani ingin membuka kesadaran publik tentang kondisi ekologis yang semakin memburuk di Pekanbaru akibat polusi udara dan bencana lingkungan lainnya. Instalasi ini menjadi metafora bagi masyarakat yang masih menjaga tradisi, namun di saat yang sama, harus berhadapan dengan perubahan lingkungan yang drastis.
Karya “Tepung-Pa-Tepung” juga terinspirasi dari upacara Badewo Bonai dan Tepuk Tepung Tawar, dua ritual pengobatan tradisional Melayu Riau yang menjadi simbol keselarasan antara alam dan manusia.
Dalam konteks karya Nani, kedua ritual tersebut mencerminkan proses pertemuan dan temuan yang berdialog satu sama lain, seolah menjadi penawar bagi luka ekologis yang sedang dialami.
Bagi Nani Nurhayati, “Tepung-Pa-Tepung” tidak hanya sekadar karya instalasi, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana pertemuan antar budaya, alam, dan manusia dapat mengungkapkan ingatan kolektif yang penting untuk dijaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)