Malang: Ternak cacing adalah sebagai sebuah ide bisnis yang dianggap menjijikan bagi sebagian masyarakat. Namun siapa sangka bisnis ini ternyata memiliki potensi besar dalam menghasilkan pundi-pundi uang.
Bisnis budidaya cacing ini dijalankan oleh sejumlah warga di Desa Kasembon, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebagian besar warga di desa itu berternak cacing jenis ANC atau African Night Crawler.
Salah satu peternak cacing ANC di Desa Kasembon, Kastubi, mengaku mulai terjun ke bisnis ternak cacing ini sejak 2017 silam. Saat itu, ia meninggalkan pekerjaan utamanya di pabrik sablon dan beralih ke bisnis budidaya cacing.
"Sepertinya bisnis cacing ini kok menjanjikan, kemudian saya coba gitu. Saya ikut kemitraan orang Kota Malang,” katanya, Senin, 20 Maret 2023.
Kastubi, menerangkan, cacing hasil ternak ini dapat dijual dengan harga Rp15-19 ribu per kilogramnya. Dalam sehari ia biasa mengirim pesanan cacing dari konsumen dengan berat antara 1-5 kuintal.
"Untuk hari Rabu dan Sabtu, kirim hingga 5 kuintal. Di luar dua hari itu masih 1-1,5 kuintal," ungkapnya.
Pemesan cacing ini tidak hanya berasal dari wilayah Malang saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Kastubi biasa memasok permintaan dari Klaten, Kalimantan, Blora dan beberapa daerah lainnya.
"Cacing-cacing itu biasanya kembali dijual dan diolah menjadi berbagai produk, seperti campuran kosmetik, pelet pakan ikan, jamu, obat herbal dan lain sebagainya," bebernya.
Kastubi menyebutkan ternak cacing merupakan bisnis yang stabil. Ia mencontohkan, bisnis yang ia geluti ini nyaris tak terdampak pandemi covid-19 selama periode 2020 hingga 2021. Bahkan saat itu, harga cacing bisa menyentuh angka Rp25 ribu per kilogram
“Alhamdulillah pas covid-19, nggak pengaruh, malah penjualan bagus. Pengaruhnya di transportasi. Kan ada yang ditutup juga, kadang bis nggak jalan, kadang saya berangkat sendiri. Tapi ya nggak papa biar jalan ketimbang nggak jalan,” jelasnya.
Budidaya Cacing Tanah Cukup Mudah dan Cepat
Kastubu menceritakan, budidaya cacing ANC ini dapat dibilang cukup mudah dilakukan. Peternak hanya butuh waktu sekitar empat bulan saja untuk bisa memanen cacing hasil ternak usai masa tebar bibit.
Untuk medianya, peternak bisa memanfaatkan pekarangan yang diberi kompos cacing tanah. Kompos ini biasa disebut kascing yang berasal dari proses pengomposan dengan melibatkan organisme makro seperti cacing tanah.
Selain kascing, pekarangan ini juga diberi limbah pabrik gula atau blotong. Limbah ini mengandung karbon, nitrogen, fosfat, kalium dan mineral lain yang dapat dijadikan alternatif bahan baku pembuatan pupuk organik.
Selain menjadi media tanam cacing, blotong tersebut juga menjadi makanan cacing-cacing tersebut. Untuk mendapatkan blotong, para peternak biasa membeli dari pabrik produksi gula sebesar Rp175 ribu per bak truknya.
Meskipun tergolong mudah, para peternak cacing juga harus tetap waspada dengan hama. Contohnya yakni hama Klelet, yang bisa merusak cacing bahkan bisa membuatnya mati jika dibiarkan.
“Kalau cacing ditempeli itu putus, mati. Cacing banyak itu kalau kenak klelet langsung habis,” bebernya.
Untuk menangani permasalahan tersebut, para peternak harus mengambil Klelet secara manual dan teliti saat malam hari. Sebab, hewan perusak cacing tersebut biasanya mulai bermunculan saat petang.
Selain hama, para peternak, diakui Kastubu, juga dihadapkan sering dihadapkan dengan permasalahan cuaca. Di saat musim hujan, jumlah Klelet akan semakin meningkat dan membuat para peternak kewalahan.
Sedangkan di saat panas, lahan penggemukan harus lebih sering disiram. Hal itu agar cacing-cacing tidak turun ke bawa tanah untuk mencari suhu yang lebih dingin.
Jatuh Bangun Memulai Bisnis Ternak Cacing
Awal perjalanan Kastubu memulai bisnis anyar ini tidak berjalan begitu mulus lantaran sempat ditipu oleh pengepul. Cacing hasil ternaknya dan para peternak lainnya yang sudah disetorkan ternyata tidak dibayar oleh pengepul itu.
Alhasil, para peternak cacing di Desa Kasembon pun merugi hingga puluhan juta rupiah. Kastubu pun sempat terlilit utang lantaran tidak balik modal dan juga harus mengganti kerugian para peternak lainnya.
“Saya sempat collapse, nggak ada pemasukan. Kemudian saya pinjam BRI, Alhamdulillah sudah lunas, 2 ton dulu harganya Rp40 juta, untuk bayari petani saya pinjam KUR (Kredit Usaha Rakyat),” terangnya.
Namun, peristiwa itu ternyata tak membuat Kastubu menyerah begitu saja. Ia dan para peternak lainnya kemudian berinisiatif menjual cacing hasil ternak secara mandiri secara daring atau online tanpa melalui pengepul.
Ternyata penjualan secara mandiri ini berjalan efektif. Pelanggan mulai berdatangan sedikit demi sedikit. Seiring berjalannya waktu, utang Kastubu mulai terbayar dan geliat para peternak cacing pun kembali bangkit.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Malang: Ternak cacing adalah sebagai sebuah ide bisnis yang dianggap menjijikan bagi sebagian masyarakat. Namun siapa sangka bisnis ini ternyata memiliki potensi besar dalam menghasilkan pundi-pundi uang.
Bisnis budidaya cacing ini dijalankan oleh sejumlah warga di Desa Kasembon, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebagian besar warga di desa itu berternak cacing jenis ANC atau African Night Crawler.
Salah satu peternak cacing ANC di Desa Kasembon, Kastubi, mengaku mulai terjun ke bisnis ternak cacing ini sejak 2017 silam. Saat itu, ia meninggalkan pekerjaan utamanya di pabrik sablon dan beralih ke bisnis budidaya cacing.
"Sepertinya bisnis cacing ini kok menjanjikan, kemudian saya coba gitu. Saya ikut kemitraan orang Kota Malang,” katanya, Senin, 20 Maret 2023.
Kastubi, menerangkan, cacing hasil ternak ini dapat dijual dengan harga Rp15-19 ribu per kilogramnya. Dalam sehari ia biasa mengirim pesanan cacing dari konsumen dengan berat antara 1-5 kuintal.
"Untuk hari Rabu dan Sabtu, kirim hingga 5 kuintal. Di luar dua hari itu masih 1-1,5 kuintal," ungkapnya.
Pemesan cacing ini tidak hanya berasal dari wilayah Malang saja, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Kastubi biasa memasok permintaan dari Klaten, Kalimantan, Blora dan beberapa daerah lainnya.
"Cacing-cacing itu biasanya kembali dijual dan diolah menjadi berbagai produk, seperti campuran kosmetik, pelet pakan ikan, jamu, obat herbal dan lain sebagainya," bebernya.
Kastubi menyebutkan ternak cacing merupakan bisnis yang stabil. Ia mencontohkan, bisnis yang ia geluti ini nyaris tak terdampak pandemi covid-19 selama periode 2020 hingga 2021. Bahkan saat itu, harga cacing bisa menyentuh angka Rp25 ribu per kilogram
“Alhamdulillah pas covid-19, nggak pengaruh, malah penjualan bagus. Pengaruhnya di transportasi. Kan ada yang ditutup juga, kadang bis nggak jalan, kadang saya berangkat sendiri. Tapi ya nggak papa biar jalan ketimbang nggak jalan,” jelasnya.
Budidaya Cacing Tanah Cukup Mudah dan Cepat
Kastubu menceritakan, budidaya cacing ANC ini dapat dibilang cukup mudah dilakukan. Peternak hanya butuh waktu sekitar empat bulan saja untuk bisa memanen cacing hasil ternak usai masa tebar bibit.
Untuk medianya, peternak bisa memanfaatkan pekarangan yang diberi kompos cacing tanah. Kompos ini biasa disebut kascing yang berasal dari proses pengomposan dengan melibatkan organisme makro seperti cacing tanah.
Selain kascing, pekarangan ini juga diberi limbah pabrik gula atau blotong. Limbah ini mengandung karbon, nitrogen, fosfat, kalium dan mineral lain yang dapat dijadikan alternatif bahan baku pembuatan pupuk organik.
Selain menjadi media tanam cacing, blotong tersebut juga menjadi makanan cacing-cacing tersebut. Untuk mendapatkan blotong, para peternak biasa membeli dari pabrik produksi gula sebesar Rp175 ribu per bak truknya.
Meskipun tergolong mudah, para peternak cacing juga harus tetap waspada dengan hama. Contohnya yakni hama Klelet, yang bisa merusak cacing bahkan bisa membuatnya mati jika dibiarkan.
“Kalau cacing ditempeli itu putus, mati. Cacing banyak itu kalau kenak klelet langsung habis,” bebernya.
Untuk menangani permasalahan tersebut, para peternak harus mengambil Klelet secara manual dan teliti saat malam hari. Sebab, hewan perusak cacing tersebut biasanya mulai bermunculan saat petang.
Selain hama, para peternak, diakui Kastubu, juga dihadapkan sering dihadapkan dengan permasalahan cuaca. Di saat musim hujan, jumlah Klelet akan semakin meningkat dan membuat para peternak kewalahan.
Sedangkan di saat panas, lahan penggemukan harus lebih sering disiram. Hal itu agar cacing-cacing tidak turun ke bawa tanah untuk mencari suhu yang lebih dingin.
Jatuh Bangun Memulai Bisnis Ternak Cacing
Awal perjalanan Kastubu memulai bisnis anyar ini tidak berjalan begitu mulus lantaran sempat ditipu oleh pengepul. Cacing hasil ternaknya dan para peternak lainnya yang sudah disetorkan ternyata tidak dibayar oleh pengepul itu.
Alhasil, para peternak cacing di Desa Kasembon pun merugi hingga puluhan juta rupiah. Kastubu pun sempat terlilit utang lantaran tidak balik modal dan juga harus mengganti kerugian para peternak lainnya.
“Saya sempat collapse, nggak ada pemasukan. Kemudian saya pinjam BRI, Alhamdulillah sudah lunas, 2 ton dulu harganya Rp40 juta, untuk bayari petani saya pinjam KUR (Kredit Usaha Rakyat),” terangnya.
Namun, peristiwa itu ternyata tak membuat Kastubu menyerah begitu saja. Ia dan para peternak lainnya kemudian berinisiatif menjual cacing hasil ternak secara mandiri secara daring atau online tanpa melalui pengepul.
Ternyata penjualan secara mandiri ini berjalan efektif. Pelanggan mulai berdatangan sedikit demi sedikit. Seiring berjalannya waktu, utang Kastubu mulai terbayar dan geliat para peternak cacing pun kembali bangkit.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)