Bahkan, penguasaan satwa dilindungi itu berada di tangan para pejabat tinggi di Republik ini. Ngeri!
Setidaknya, Medcom.id mereportase fakta ini terjadi di Provinsi Aceh. Sebanyak sembilan burung langka kategori dilindungi, disita oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dari rumah dinas mantan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Tampak kuyu di Taman Rusa
Kicau burung bersahutan dari balik kandang di Taman Rusa, milik salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Aceh. Pagar beton menjulang hingga tiga meter.
Gerbangnya dijaga ketat oleh pihak keamanan setempat. Hanya yang sudah membayar tiket Rp25 ribu diperbolehkan masuk.
Pada pertengahan September 2022 terlihat kandang-kandang persegi berjeruji besi tersusun berjajar di balik pagar. Tingginya antara 6 meter dan panjang 8 meter. Di sampingnya terdapat kadang rusa tutul.
Di dalam kandang itu tampak burung julang emas, rangkong, dan elang rontok, elang bondol, elang hitam, dan elang laut dada putih. Burung-burung itu tampak kuyu.
Pengunjung Taman Rusa bebas melihat burung-burung tersebut. Burung-burung itu merupakan satwa sitaan dari rumah dinas eks Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
BKSDA Aceh menitipkan burung-burung itu ke Lembaga Konservasi Taman Rusa yang berada di Desa Lamtanjong, Kecamatan Sibreh, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi Taman Rusa ini berkisar 15 menit perjalanan dari Kota Banda Aceh.
"Burung julang emas ini dari dinas atau dibeli," kata Admin Taman Rusa, Hamidah, kepada Medcom.id.
Hamidah menjelaskan Taman Rusa memiliki surat lengkap. Pihaknya pun mengaku rutin membayar pajak bumi dan bangunan. Namun, ia mengangkat bahu soal kesahihan satwa-satwa itu.
Beberapa satwa dilindungi yang disita dari rumah dinas itu telah disatukan dengan burung yang jenisnya sama dalam satu kandang bersekat. Hanya julang emas yang berada di kandang terpisah. Kandangnya berdampingan dengan jenis burung rangok.
Di depan kandang julang emas tercantum keterangan, Julang Emas (rhyticeros undalatus) Wreathed Hornbill. Klasifikasinya bisa dilihat dari keterangan dari gambar berikut:
Saat itu, julang emas berdiri di atas batang pohon yang disangkutkan antara jeruji besi kandang. Berkali-kali melompat ke kiri dan ke kanan.
Sesekali mengepakkan sayapnya saat hendak ke batang. Namun, dia tampak tak berdaya mengepakkan sayapnya. Tampak lima helai sayapnya rontok berjatuhan di bawah tanah di dalam kandang tempat julang emas ditangkarkan.
"Saya baru bekerja di sini. Saat saya masuk pertama kali bekerja di Taman Rusa memang sudah ada burung (julang emas) itu. Begitu juga dengan elang-elang lainnya. Semua burung di sini dalam keadaan sehat dan bisa terbang. Untuk makanan, semuanya kita tanggung. Tidak ada support dari pemerintah atau BKSDA," kata Hamidah.
Hamidah menjelaskan Taman Rusa itu sudah berizin dan merupakan lembaga konservasi berizin secara sah. Namun, ia mengangkat bahu saat ditanya soal asal-usul satwa-satwa itu.
Dia berdalih bahwa ia baru bekerja di sana sejak 8 bulan lalu. Padahal, burung titipan BKSDA itu sudah terlebih dahulu dititipkan di Taman Rusa sejak Maret 2021. Namun, sebelumnya petugas penjaga satwa unggas di sana mengaku burung julang emas itu dari dinas.
"Sepertinya dari dinas," kata salah seorang penjaga satwa jenis unggas di Taman Rusa saat Medcom.id mengunjungi taman rusa pada Selasa, 17 September 2022.
Rata-rata burung di Taman Rusa berkategori dilindungi. Nama spesies yang ada di sana pun tercantum di depan kandang.
Satwa dilindungi haram dimiliki
Hanya pemilik izin penangkaran dan lembaga konservasi yang boleh memelihara satwa-satwa tersebut. Jika tak berizin, satwa-satwa dilindungi itu haram dimiliki.
Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, sembilan burung sitaan dari rumah dinas Nova Iriansyah adalah:
- 1 julang emas (Rhyticeros undulatus),
- 1 elang hitam (Ictinaetus malayensis),
- 4 elang bondol (Haliastur indus), dan
- 3 ekor elang brontok (Nisaetus cirrhatus).
Sembilan satwa langka yang dilindungi tersebut disita dari rumah dinas Wakil Gubernur Aceh di kawasan Blang Padang, Kota Banda Aceh, oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada Kamis, 11 Maret 2021.
Rumah dinas tersebut sebelumnya ditempati Nova Iriansyah. Nova saat itu menjabat Wakil Gubernur Aceh. Dia juga sempat menjabat Gubernur Aceh pada Oktober 2020 menggantikan posisi Irwandi Yusuf yang terjerat kasus korupsi.
Pertama terungkap dari Facebook
Keberadaan satwa dilindungi itu baru diketahui masyarakat Aceh setelah seorang warga bernama Danurfan mengabarkan di akun media sosialnya. Danurfan mengaku prihatin mendapati rumah dinas yang ditempati gubernur Aceh itu terdapat satwa dilindungi.
"Saya mendapat informasi bahwa di kediaman gubernur Aceh ada burung jenis julang emas dan elang. Yang saya tahu, itu hewan terancam punah [Appendix II] yang saat ini dilindungi negara. Memilikinya adalah perbuatan melanggar hukum. Secara nurani, apa tak dikembalikan saja, Pak?” tulis Danurfan di akun Facebook disertai beberapa foto satwa tersebut.
Danurfan mengatakan, jika satwa dilindungi tersebut dikembalikan, setidaknya dapat memberikan edukasi kepada masyarakat Aceh untuk selalu menjaga alam dan satwa agar tetap lestari di habitatnya.
"Saya yakin Bapak Gubernur cukup bijaksana dalam hal memberi contoh yang baik. Seharusnya, gubernur Aceh menjadi contoh yang baik dengan menyerahkan burung-burung tersebut ke BKSDA Aceh,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/20218 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, julang emas, elang hitam, elang bondol, dan elang brontok merupakan jenis satwa dilindungi.
Julang emas
Julang emas adalah spesies burung dari keluarga Bucerotidae, dari genus Rhyticeros. Burung ini termasuk pemakan segala, seperti buah-buahan, ficus, kepiting, hingga kodok. Julang emas memiliki habitat di hutan dataran rendah dan perbukitan. Burung ini tersebar sampai ketinggian 2.000 mdpl. Julang emas memiliki tubuh berukuran besar, bisa mencapai 100 sentimeter (cm).
Elang hitam
Adapun Elang hitam adalah sejenis burung pemangsa dari suku Accipitridae. Satu-satunya burung dari anggota genus Ictinaetus. Dinamai demikian karena bulunya dominan hitam. Meski ada pula beberapa jenis elang yang lain yang juga berwarna hitam.
Elang bondol
Elang bondol berukuran sedang (43–51 cm). Memiliki sayap yang lebar dengan ekor pendek dan membulat ketika membentang. Bagian kepala, leher, dan dada berwarna putih. Sisanya berwarna merah bata pucat, bagian ujung bulu primer berwarna hitam, dan tungkai berwarna kuning. Pada individu anak secara keseluruhan berwarna coklat gelap pada beberapa bagian bergaris-garis putih mengilap.
Elang brontok
Elang brontok adalah sejenis burung pemangsa anggota suku Accipitridae. Dinamai demikian kemungkinan karena pola warnanya menyerupai bercak.
Namanya dalam Bahasa Inggris adalah Changeable Hawk-eagle karena warnanya yang sangat bervariasi dan berubah-ubah. Sedangkan nama ilmiahnya ialah Spizaetus cirrhatus.
Elang brontok disebut juga burung rajawali yang memiliki ukuran tubuh dari paruh hingga ekor sepanjang 60-80 sentimeter.
Penyerahan burung lindung ke BKSDA Aceh
Kepala Subbagian Tata Usaha BKSDA Aceh, Erwan Chandra, mengatakan bagian rumah tangga rumah dinas Gubernur Aceh saat itu menghubungi BKSDA Aceh untuk menyerahkan burung-burung tersebut. Pihaknya menampik adanya penyitaan satwa dilindungi itu di rumah dinas wagub tersebut.
Erwan mengaku berita acara penyerahan satwa dilindungi itu berasal dari rumah dinas Gubernur Aceh ke BKSDA Aceh, yang seharusnya ditandatangani istri Gubernur Aceh, Dyah Erti Idawati. Namun, karena saat itu Dyah tidak berada di tempat. Maka, tanda tangan diwakili oleh orang lain yang tidak disebutkan namanya.
Erwan mengaku tidak mengetahui secara pasti asal-usul satwa itu. Termasuk, berapa lama sudah diurus oleh pengurus rumah dinas Wakil Gubernur Aceh sebelumnya. Pihaknya menyatakan hanya fokus pada penyerahan, tidak menanyakan secara detail asal-usul burung-burung tersebut.
Kepala Dinas Peternakan Aceh, Rahmandi, menyatakan bahwa selama ini satwa langka tersebut berada di rumah dinas wagub Aceh untuk dipelihara dan dirawat sementara, bukan sebagai hobi. Ia berdalih bahwa burung-burung itu berada di sana dalam rangka penyelamatan. Namun, burung-burung tersebut belum diketahui secara pasti berapa lama sudah terkurung di sangkar.
Menurut dokter hewan BKSDA Aceh, Taing Lubis, burung-burung tersebut selama berada di rumah dinas Gubernur Aceh dipelihara dengan baik. Setelah burung-burung tersebut sehat maka diserahkan secara sukarela ke pihak BKSDA Aceh.
Satwa yang dilindungi oleh negara itu telah dibawa ke lembaga konservasi yang ada di Taman Rusa, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Sebab, BKSDA tidak memiliki sangkar yang memadai untuk menampung kesembilan unggas tersebut. Selama di sana, burung-burung itu disebut dirawat serta diobservasi sebelum dilepasliarkan kembali ke alam.
Setelah menjalani masa karantina selama enam bulan, dari sembilan jenis satwa dilindungi tersebut, hanya empat jenis burung yang dilepasliarkan. Selebihnya masih dikarantina.
Empat satwa dilindungi yang dilepasliarkan yakni elang brontok (Nisaetus cirrhatus). Satwa ini dilepasliarkan pada Minggu, 19 September 2021, ke hutan konservasi Uyem Gayo.
Hutan konservasi Uyem Gayo berada di antara kawasan wisata Bur Telege dan Bur Mulu, Desa Balee Bujang, Kabupaten Aceh Tengah. Kawasan tersebut merupakan hutan konservasi yang selama ini juga di kelola sebagai kawasan wisata burung dan beragam jenis tanaman.
"Sebelum dilepasliarkan, empat elang itu sudah melalui pengecekan kesehatan serta telah menjalani proses habituasi di lokasi pelepasliaran. Ketersediaan pakan dan keamanan di kawasan itu terjamin,” kata dokter hewan BKSDA Aceh, Taing Lubis.
Taing mengatakan awalnya burung yang hendak dilepasliarkan berjumlah enam ekor, namun dua ekor dianggap belum siap untuk hidup di alam bebas. Saat dilepas, burung itu diserang oleh elang liar. Oleh karena itu, keduanya harus menjalani karantina kembali hingga dianggap layak untuk dilepaskan ke habitatnya.
"Untuk burung yang masih dikarantina kondisinya saat ini sudah sehat dan sudah layak untuk dilepasliarkan, tinggal tunggu waktunya. Kemungkinan bakal kita lepasliarkan dalam waktu dekat di awal 2023 ini,” ujarnya.
BKSDA Aceh minta tak dibahas
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto, menolak untuk diwawancara terkait kasus sembilan burung yang disita dari rumah dinas mantan Gubernur Aceh tersebut. Dia berdalih bahwa kasus tersebut sudah selesai.
"Apalagi? Kan sudah jelas burung-burung itu sudah diserahkan ke BKSDA Aceh dan sudah kita titipkan ke lembaga konservasi Taman Rusa karena di sini kita tidak punya tempat yang memadai untuk menampung burung-burung itu. Sudahlah tak usah dibahas lagi, kasusnya sudah selesai, jangan diungkit-ungkit lagi,” kata Agus.
Padahal, sejumlah pihak menilai pemeliharaan burung lindung di rumah dinas pejabat menyalahi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kasus tersebut seperti mati suri.
Semestinya, kasus itu diangkat tuntas ke publik agar ada intervensi serius dari para pemangku kepentingan untuk menyelamatkan dan memeriksa pihak-pihak yang terlibat oleh penegak hukum karena telah memelihara satwa dilindungi tanpa izin.
Menyalahi aturan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Kurniawan, mengatakan pemeliharaan sejumlah satwa yang dilindungi di rumah dinas Gubernur Aceh tersebut melanggar Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menyimpan, memiliki, dan memelihara satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup,” kata Kurniawan.
Aktivis lingkungan dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), Ikhsan, menyebutkan kasus penyitaan burung milik Nova Iriansyah tersebut merupakan pidana di luar KUHP kategori pelanggaran namun adanya kejahatan, dengan ancaman di atas 1 tahun dan maksimal 5 tahun dengan hukuman denda Rp100 juta.
"Jadi, kalau dirujuk KUHP ini tentang kejahatan bukan pelanggaran," kata Ikhsan.
Sementara, Ikhsan menerangkan, kasus yang dialami Nova Iriansyah ada beberapa kategori. Burung tersebut tidak serta merta ada di rumah dinas milik wakil Gubernur Aceh, melainkan adanya perbuatan-perbuatan pendukung.
"Yang pertama status burung tersebut ditangkap dari alam liar atau hasil dari penangkaran,” ujarnya.
Sedangkan, jika burung tersebut berasal dari alam liar, kata Ikhsan, hal tersebut jelas melanggar hukum dan jika dari penangkaran tentu memiliki dasar hukum dan proses pengangkutan ke rumah dinas.
"Setelah itu dipelihara dan dikurung di sangkar rumah dinas itu dan jelas ada pemiliknya. Tapi, sampai sekarang kita tidak tahu siapa pemiliknya. Apakah betul burung itu milik Nova atau milik orang lain tapi yang jelas ditangkap di rumah dinas Nova,” ucap Ikhsan.
Menurutnya, tumbuhan dan satwa yang dirampas harus dikembalikan kepada habitatnya. Jika tidak memungkinkan maka harus diserahkan ke lembaga konservasi. Bisa melalui lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah seperti kebun binatang, museum biologi, herbarium, atau taman safari yang ditunjuk oleh lembaga pemerintah.
"Sedangkan untuk penitipan burung tersebut ke Taman Rusa harus dilihat apakah dia termasuk dalam kategori ini. Jika tidak maka penitipan ini ilegal. Apakah Taman Rusa termasuk kebun binatang, tentu ada aturan dan pasal-pasal yang menentukannya. Dan semuanya harus sesuai izin berlaku jangan sampai salah kaprah terkait legalitas yang Taman Rusa miliki,” kata dia.
BKSDA Aceh dinilai tak transparan
Menurutnya, dalam kasus tersebut, pihak BKSDA tidak transparan dalam pengungkapan kasus. Sebab, BKSDA tidak menjelaskan kepada publik atas dasar penitipan itu karena tidak ada putusan hukum pengadilan dan tidak pernah dilakukan proses hukum.
"Seharusnya kalaupun ada penyerahan sukarela atau penyitaan oleh BKSDA, itu tidak pernah menghapus kejahatannya dan harus disidik," kata Ikhsan.
Walaupun, hal tersebut dapat menjadi alasan meringankan pihak BKSDA. Namun, secara hukum sudah ada dasarnya itu dianggap kejahatan dan harus ada prosesnya.
"Mungkin karena ada pernyataan burung itu diserahkan sehingga tidak ada jeratan hukum, namun dalam kasus ini BKSDA harus menjelaskan kepada publik,” kata dia.
Gubernur Aceh harus bertanggung jawab
Manajer Program Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK), Missi Muizzan, mengatakan seharusnya Gubernur Aceh diperiksa oleh penegak hukum karena telah memelihara satwa dilindungi tanpa izin. Dalam aturan yang ada, termasuk Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar, dijelaskan bahwa hanya lembaga yang memiliki izin yang boleh memelihara satwa dilindungi.
“Kalau kasus pemeliharaan satwa dilindungi itu tidak diproses sesuai undang-undang yang berlaku, akan menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Masyarakat akan menilai, hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata Missi.
Menurutnya, instansi terkait harus mencari tahu mengenai asal-usul keberadaan satwa-satwa tersebut. Salah satu langkah dengan memanggil mantan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, selaku orang yang menempati rumah wakil gubernur atau pejabat bersangkutan lainnya dalam lingkup Pemerintah Aceh.
Bukan tanpa sebab usulan itu disampaikan. Hal ini mengingat burung yang dipelihara di rumah dinas Nova Iriansyah itu merupakan satwa langka.
Oleh karena itu, harus ada penelusuran yang jelas terkait asal usul keberadaannya. Ia khawatir burung-burung itu adalah barang pemberian atau gratifikasi dari oknum-oknum sindikat perdagangan satwa liar ataupun oknum lainnya.
"Jangan sampai satwa itu pemberian dari sindikat penadah satwa liar ilegal,” ujarnya.
Menurutnya, BKSDA harus mengkaji hal tersebut. Satwa lindung tersebut tidak hanya disita, namun harus ada sanksi lain yang diberikan kepada pejabat yang melakukannya. Harus ada efek jera dan ada sanksi hukum serta administrasi agar dia tidak mengulangi lagi.
Selain itu, LSGK menyayangkan banyak pejabat yang memelihara satwa liar dilindungi tanpa mengikuti prosedur dan mekanisme perizinan yang berlaku.
"Semestinya para pejabat memberikan contoh kepada masyarakat bahwa satwa dimiliki secara ilegal sebuah perbuatan tidak dibenarkan dalam aturan sebagaimana dalam UU No 5 Tahun 1990," kata dia.
Semakin berkurang
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Teuku Muttaqin Mansur, mengatakan jumlah satwa dilindungi saat ini semakin berkurang. Predator satwa terus beredar dari berbagai belahan hutan. Seperti kasus yang terjadi pada mantan Gubernur Aceh Nova Iriansyah, yang memiliki sembilan burung dilindungi yang berada di sangkar rumah dinas miliknya.
"Seharusnya pejabat tidak melakukan hal tersebut. Setidaknya para pejabat menjadi contoh dan menjadi pendorong untuk melindungi satwa dari predator. Tentu hal tersebut jika dilakukan maka tidak menjadi legal bagi orang lain," kata Muttaqin.
Selain itu, jika memang pejabat daerah memiliki hewan satwa yang dilindungi, sesuai dengan Pasal 24, jika terjadi pelanggaran satwa tersebut dirampas oleh negara. Dilindungi oleh lembaga konservasi dan bukan dimiliki oleh pihak pejabat.
"Seharusnya jika memiliki bukti atas kesalahannya, maka harus dihukum. Dan burung-burung tersebut diserahkan ke pihak konservasi. Di sisi lain, jika kepemilikan satwa di salah satu rumah pejabat, seharusnya dilihat kembali izin apa yang dimiliki oleh pejabat tersebut," kata Muttaqin.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id