Yogyakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menilai masyarakat yang memutuskan menolak revisi Undang-undang KPK tak perlu bersikap fatalis. Desakan untuk membubarkan KPK bukanlah solusi.
"Saya berharap jangan ada yang bersifat fatalis. Jangan begitu," kata Mahfud di Cafe d'Tambir Jalan Retno Dumilah Kotegede, Kota Yogyakarta, Minggu, 15 September 2019.
Ia mengingatkan dalam hukum Islam, seseorang tidak bisa hanya mengambil satu hal sedangkan masih ada peluang lain yang bisa diusahakan. Dalam konteks ini, KPK, kata dia, tetap harus ada.
"Sampai ada gerakan bubarkan KPK. Lalu buat undang-undang melegalkan korupsi. 20 persen nilai proyek boleh dikorupsi, tapi 65 persen pajak resmi kepada negara. Itu yang terjadi sekarang. Fatalis. Kacau kalau (KPK) ditinggal semua," ujarnya.
Mahfud mengatakan keputusan bernegara saat ini diambil lewat proses politik. Keputusan yang selama ini sudah dan akan berjalan selalu menjadi milik bersama.
Ia meyakini semua pihak menghendaki KPK lebih kuat. Pun mereka yang kukuh menolak revisi UU KPK menghendaki hal sama untuk penguatan KPK.
"Tinggal diskusinya, diskusi yang menguatkan. Konsep presiden atau konsep masyarakat sipil. Ini namanya negara demokrasi, dipertemukan saja," kata anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.
Mahfud hanya menekankan agar dalam pembahasan aturan perlu asas keterbukaan. Artinya, perlu ada langkah mendengar masukan masyarakat. Pembahasan undang-undang bukan hanya sebatas rapat-rapat yang tiba-tiba jadi.
"Karena ini negara demokrasi, harus didengarkan semua. Politik DPR dan pemerintah mengambil keputusan yang ini atau itu harus dihargai. Namanya orang berdemokrasi," jelasnya.
Yogyakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menilai masyarakat yang memutuskan menolak revisi Undang-undang KPK tak perlu bersikap fatalis. Desakan untuk membubarkan KPK bukanlah solusi.
"Saya berharap jangan ada yang bersifat fatalis. Jangan begitu," kata Mahfud di Cafe d'Tambir Jalan Retno Dumilah Kotegede, Kota Yogyakarta, Minggu, 15 September 2019.
Ia mengingatkan dalam hukum Islam, seseorang tidak bisa hanya mengambil satu hal sedangkan masih ada peluang lain yang bisa diusahakan. Dalam konteks ini, KPK, kata dia, tetap harus ada.
"Sampai ada gerakan bubarkan KPK. Lalu buat undang-undang melegalkan korupsi. 20 persen nilai proyek boleh dikorupsi, tapi 65 persen pajak resmi kepada negara. Itu yang terjadi sekarang. Fatalis. Kacau kalau (KPK) ditinggal semua," ujarnya.
Mahfud mengatakan keputusan bernegara saat ini diambil lewat proses politik. Keputusan yang selama ini sudah dan akan berjalan selalu menjadi milik bersama.
Ia meyakini semua pihak menghendaki KPK lebih kuat. Pun mereka yang kukuh menolak revisi UU KPK menghendaki hal sama untuk penguatan KPK.
"Tinggal diskusinya, diskusi yang menguatkan. Konsep presiden atau konsep masyarakat sipil. Ini namanya negara demokrasi, dipertemukan saja," kata anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.
Mahfud hanya menekankan agar dalam pembahasan aturan perlu asas keterbukaan. Artinya, perlu ada langkah mendengar masukan masyarakat. Pembahasan undang-undang bukan hanya sebatas rapat-rapat yang tiba-tiba jadi.
"Karena ini negara demokrasi, harus didengarkan semua. Politik DPR dan pemerintah mengambil keputusan yang ini atau itu harus dihargai. Namanya orang berdemokrasi," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)