medcom.id, Badung: Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti menyebut bahwa cantrang merupakan dalang dari konflik horizontal antarnelayan sejak zaman dahulu. Sebab nelayan yang menggunakan cantrang bisa meraup ikan hingga dasar laut.
Dia menambahkan, sejak tahun 1980, pemerintah melarang adanya kapal yang menggunakan trawl atau pukat hela atau pukat harimau untuk beroperasi. Namun baru-baru ini muncul kapal menggunakan cantrang yang sama-sama membahayakan ekosistem subtrat tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan.
"Dulu itu kapal trawl dibakar sama masyarakat. Sekarang pun sama, banyak kapal-kapal dari Jawa ke Kalimantan ditangkap nelayan. Bukan aparat yang nangkap tapi nelayan daerah setempat yang tidak mau adanya kapal cantrang masuk," tegas Susi di hadapan wartawan di Padma Hotel, Legian, Badung, Kamis 27 April 2017.
Pihaknya menjelaskan jumlah kapal cantrang di Indonesia meningkat pesat. Di Jawa Tengah, jumlah kapal cantrang mencapai 3.209 unit pada 2004. Tiga tahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi 5.100 unit.
Susi menyebut para nelayan kecil merasa rugi dengan adanya kapal cantrang. Apalagi ikan yang ditangkap dengan kapal cantrang dijual lebih murah.
"Omzet dari kapal cantrang yang GT 40 ke atas itu lebih dari UMKM kalau ujuran UMKM itu Rp5 milyar mereka ini omzetnya pertahun sudah Rp8 miliar. Alat tangkapnya saja panjangnya enam kilometer itu bisa mengaruk wilayah 280 hektar," tambahnya.
Lantaran itu, Susi mendukung pemberlakuan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat penangkap ikan dengan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine trawls). Ia menegaskan peraturan itu melindungi nelayan dan juka ekosistem.
"Jangan sampai ada provokasi yang mana intimya untuk misinya pemerintah Joko Widodo dan Pak Yusuf Kalla yaitu laut menjadi masa depan bangsa. Berarti bangsa Indonesia generasi ke generasi harus bisa hidup dari laut kita bagaimana ya ikannya dijaga tetep ada dan banyak," tandasnya.
medcom.id, Badung: Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti menyebut bahwa cantrang merupakan dalang dari konflik horizontal antarnelayan sejak zaman dahulu. Sebab nelayan yang menggunakan cantrang bisa meraup ikan hingga dasar laut.
Dia menambahkan, sejak tahun 1980, pemerintah melarang adanya kapal yang menggunakan trawl atau pukat hela atau pukat harimau untuk beroperasi. Namun baru-baru ini muncul kapal menggunakan cantrang yang sama-sama membahayakan ekosistem subtrat tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan.
"Dulu itu kapal trawl dibakar sama masyarakat. Sekarang pun sama, banyak kapal-kapal dari Jawa ke Kalimantan ditangkap nelayan. Bukan aparat yang nangkap tapi nelayan daerah setempat yang tidak mau adanya kapal cantrang masuk," tegas Susi di hadapan wartawan di Padma Hotel, Legian, Badung, Kamis 27 April 2017.
Pihaknya menjelaskan jumlah kapal cantrang di Indonesia meningkat pesat. Di Jawa Tengah, jumlah kapal cantrang mencapai 3.209 unit pada 2004. Tiga tahun kemudian jumlahnya bertambah menjadi 5.100 unit.
Susi menyebut para nelayan kecil merasa rugi dengan adanya kapal cantrang. Apalagi ikan yang ditangkap dengan kapal cantrang dijual lebih murah.
"Omzet dari kapal cantrang yang GT 40 ke atas itu lebih dari UMKM kalau ujuran UMKM itu Rp5 milyar mereka ini omzetnya pertahun sudah Rp8 miliar. Alat tangkapnya saja panjangnya enam kilometer itu bisa mengaruk wilayah 280 hektar," tambahnya.
Lantaran itu, Susi mendukung pemberlakuan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat penangkap ikan dengan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine trawls). Ia menegaskan peraturan itu melindungi nelayan dan juka ekosistem.
"Jangan sampai ada provokasi yang mana intimya untuk misinya pemerintah Joko Widodo dan Pak Yusuf Kalla yaitu laut menjadi masa depan bangsa. Berarti bangsa Indonesia generasi ke generasi harus bisa hidup dari laut kita bagaimana ya ikannya dijaga tetep ada dan banyak," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(RRN)