Kulon Progo: Parjan memanjat beberapa pohon kelapa dilakukan hanya dalam rentang waktu satu jam. Lelaki 51 tahun ini memanjat pohon untuk mengambil nira untuk dimanfaatkan secara ekonomi. Ia hanya butuh waktu 10 hingga 15 menit untuk memanjat satu pohon kelapa.
Warga Dusun Plampang III RT 78/RW 24, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu memanjat tanpa indera penglihatan. Sebagai difabel netra, Parjan tampak tak menghadapi masalah berarti untuk memanjat.
"Setiap hari rata-rata manjat sekitar 20 pohon kelapa," kata Parjan ditemui belum lama ini di sela aktivitasnya menyadap nira di Kulon Progo, DIY.
Baca: Jabar Turun ke PPKM Level 3, Kang Emil: Kedaruratan Sudah Lewat
Parjan menjalani aktivitas menyadap nira sebagaimana yang dilakukan warga setempat pada umumnya. Saat jam menunjuk ke angka tujuh, ia sudah siap dengan berbagai peralatan untuk menyadap nira. Misalnya potongan bambu untuk menampung nira dan sebilah golok.
Aktivitas Parjan menyadap nira bermodalkan insting. Jalanan menuju dan mengakses tiap pohon kelapa dilalui dengan jalan kaki sendirian. Setiap menemukan pohon kelapa, Parjan akan langsung memanjat tanpa alat bantu.
Tiba di atas pohon, Parjan tinggal menuang cairan nira yang sudah tertampung di sebuah wadah ke dalam batang bambu. Begitu seterusnya hingga ia nilai nira yang didapat sudah cukup dan dibawa pulang.
Nira hasil Parjan memanjat pohon kelapa diolah menjadi gula merah atau gula Jawa. Parjan dibantu oleh istrinya, Kamsih, 43, untuk membuat gula merah.
Katarak Jadi Buta Permanen
Parjan sudah puluhan tahun menjadi pemburu nira, tepatnya sejak 1985. Situasi menjadi berubah pada tahun 2000 silam. Parjan semula mengalami katarak.
"Saya sempat periksa ke beberapa rumah sakit, bahkan ke (RSUP Dr) Sardjito," kata Parjan mengenang kisah 10 tahun lalu.
Saat itu, kata dia, katarak yang ia alami sudah parah. Ia lantas divonis buta permanen.
Parjan lantas berupaya menerima kenyataan itu. Ia menguatkan diri dan tetap menjadi penyadap nira. Namun keterbatasan itu tetap berpengaruh terhadap pekerjaan yang Parjan jalani.
"Sebelum (kehilangan indera penglihatan) ini, saya bisa manjat 40 pohon (kepala) per hari, sekarang paling 20 pohon. Tergantung cuaca juga," ucapnya.
Sulit Akses Bantuan
Parjan dan keluarga hanya bisa hidup ala kadarnya. Penghasilan dari menyadap nira hingga menjualnya dalam wujud gula merah tak seberapa.
Mereka hanya mampu memproduksi sekitar 3 kilogram gula merah per hari. Jika dijual harganya sekitar Rp50 ribu. Jika dihitung kasar, hanya sekitar Rp1,5 juta rupiah per bulan yang didapat.
"Kalau pas kondisinya bagus, bisa dapat banyak (menyadap nira). Kalau cuacanya buruk, kayak pas hujan, jadi susah," ujar Kamsih.
Biaya itu digunakan untuk kebutuhan hidup bersama dua anak perempuannya. Kedua anak mereka masih sekolah, satu di pondok pesantren dan satunya di sekolah umum.
Kamsih mengisahkan hidangan makanan harian hampir selalu ala kadarnya. Menurut Kamsih, yang penting perut anggota keluarga terisi.
Hingga kini, Kamsih melanjutkan keluarganya masih jauh dari bantuan pemerintah, termasuk bantuan seperti program keluarga harapan (PKH) untuk keluarga miskin.
"Terakhir dapat bantuan, penyaluran bansos masyarakat terdampak pandemi pernah, itu tahun lalu," ujarnya.
Kepala Dusun Plampang III, Kemidi, mengungkapkan sekitar setengah dari jumlah total warganya memang bekerja sebagai penyadap nira. Jumlah warganya sekitar 216 kepala keluarga atau KK.
Menurut dia warga yang menggantungkan hidupnya dari menyadap nira hidup di bawah garis kemiskinan. Ini tak lepas dari pendapatan hasil penjualan gula hasil olahan nira. Ia mengeklaim sudah memasukkan warga miskin untuk diajukan mendapat bantuan, termasuk saat pandemi covid-19.
"Kami sudah usulkan itu, termasuk keluarga pak Parjan dan keluarga lain yang kurang mampu. Karena ada seleksi jadi tidak semua (warga miskin) dapat jadinya," kata Kemidi.
Kemidi pun berharap pemerintah bisa memperhatikan warga miskin, seperti keluarga Parjan dan para penyadap nira. Ia mengatakan, warga miskin tersebut perlu untuk disokong bantuan.
Kulon Progo:
Parjan memanjat beberapa pohon kelapa dilakukan hanya dalam rentang waktu satu jam. Lelaki 51 tahun ini memanjat pohon untuk mengambil nira untuk dimanfaatkan secara ekonomi. Ia hanya butuh waktu 10 hingga 15 menit untuk memanjat satu pohon kelapa.
Warga Dusun Plampang III RT 78/RW 24, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu memanjat tanpa indera penglihatan. Sebagai difabel netra, Parjan tampak tak menghadapi masalah berarti untuk memanjat.
"Setiap hari rata-rata manjat sekitar 20 pohon kelapa," kata Parjan ditemui belum lama ini di sela aktivitasnya menyadap nira di Kulon Progo, DIY.
Baca:
Jabar Turun ke PPKM Level 3, Kang Emil: Kedaruratan Sudah Lewat
Parjan menjalani aktivitas menyadap nira sebagaimana yang dilakukan warga setempat pada umumnya. Saat jam menunjuk ke angka tujuh, ia sudah siap dengan berbagai peralatan untuk menyadap nira. Misalnya potongan bambu untuk menampung nira dan sebilah golok.
Aktivitas Parjan menyadap nira bermodalkan insting. Jalanan menuju dan mengakses tiap pohon kelapa dilalui dengan jalan kaki sendirian. Setiap menemukan pohon kelapa, Parjan akan langsung memanjat tanpa alat bantu.
Tiba di atas pohon, Parjan tinggal menuang cairan nira yang sudah tertampung di sebuah wadah ke dalam batang bambu. Begitu seterusnya hingga ia nilai nira yang didapat sudah cukup dan dibawa pulang.
Nira hasil Parjan memanjat pohon kelapa diolah menjadi gula merah atau gula Jawa. Parjan dibantu oleh istrinya, Kamsih, 43, untuk membuat gula merah.
Katarak Jadi Buta Permanen
Parjan sudah puluhan tahun menjadi pemburu nira, tepatnya sejak 1985. Situasi menjadi berubah pada tahun 2000 silam. Parjan semula mengalami katarak.
"Saya sempat periksa ke beberapa rumah sakit, bahkan ke (RSUP Dr) Sardjito," kata Parjan mengenang kisah 10 tahun lalu.
Saat itu, kata dia, katarak yang ia alami sudah parah. Ia lantas divonis buta permanen.
Parjan lantas berupaya menerima kenyataan itu. Ia menguatkan diri dan tetap menjadi penyadap nira. Namun keterbatasan itu tetap berpengaruh terhadap pekerjaan yang Parjan jalani.
"Sebelum (kehilangan indera penglihatan) ini, saya bisa manjat 40 pohon (kepala) per hari, sekarang paling 20 pohon. Tergantung cuaca juga," ucapnya.
Sulit Akses Bantuan
Parjan dan keluarga hanya bisa hidup ala kadarnya. Penghasilan dari menyadap nira hingga menjualnya dalam wujud gula merah tak seberapa.
Mereka hanya mampu memproduksi sekitar 3 kilogram gula merah per hari. Jika dijual harganya sekitar Rp50 ribu. Jika dihitung kasar, hanya sekitar Rp1,5 juta rupiah per bulan yang didapat.
"Kalau pas kondisinya bagus, bisa dapat banyak (menyadap nira). Kalau cuacanya buruk, kayak pas hujan, jadi susah," ujar Kamsih.
Biaya itu digunakan untuk kebutuhan hidup bersama dua anak perempuannya. Kedua anak mereka masih sekolah, satu di pondok pesantren dan satunya di sekolah umum.
Kamsih mengisahkan hidangan makanan harian hampir selalu ala kadarnya. Menurut Kamsih, yang penting perut anggota keluarga terisi.
Hingga kini, Kamsih melanjutkan keluarganya masih jauh dari bantuan pemerintah, termasuk bantuan seperti program keluarga harapan (PKH) untuk keluarga miskin.
"Terakhir dapat bantuan, penyaluran bansos masyarakat terdampak pandemi pernah, itu tahun lalu," ujarnya.
Kepala Dusun Plampang III, Kemidi, mengungkapkan sekitar setengah dari jumlah total warganya memang bekerja sebagai penyadap nira. Jumlah warganya sekitar 216 kepala keluarga atau KK.
Menurut dia warga yang menggantungkan hidupnya dari menyadap nira hidup di bawah garis kemiskinan. Ini tak lepas dari pendapatan hasil penjualan gula hasil olahan nira. Ia mengeklaim sudah memasukkan warga miskin untuk diajukan mendapat bantuan, termasuk saat pandemi covid-19.
"Kami sudah usulkan itu, termasuk keluarga pak Parjan dan keluarga lain yang kurang mampu. Karena ada seleksi jadi tidak semua (warga miskin) dapat jadinya," kata Kemidi.
Kemidi pun berharap pemerintah bisa memperhatikan warga miskin, seperti keluarga Parjan dan para penyadap nira. Ia mengatakan, warga miskin tersebut perlu untuk disokong bantuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(DEN)