Kulon Progo: Sebuah replika lokomotif kereta api (KA) terpajang di Dusun Bantar Wetan, Desa Banguncipto, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Replika yang dibuat dari bambu dan triplek menjadi simbol daerah yang memiliki jembatan penyeberangan KA bersejarah, yakni Jembatan Mbeling.
Ya, Jembatan Mbeling keberadaannya hanya beberapa meter dari lokasi pemasangan replika lokomotif KA itu. Dalam keterangan sejarah jembatan pada festival itu, jembatan awal mula dibangun pada 1886 dan dibuka 1887. Kemudian pada 1933 jembatan itu dilakukan perbaikan oleh Belanda.
Jembatan dengan konstruksi besi itu oleh Belanda dinamai Brugh Linj. Oleh masyarakat setempat, ucapan itu diubah menjadi jembatan Mbeling dengan alasah kemudahan pengucapan.
Pada 17 Juni 1951, jembatan Mbeling rusak akibat dibom tentara Indonesia. Pengeboman itu dilakukan untuk mencegah Belanda masuk ke Yogyakarta dari jalur barat.
Lantas Belanda menangkap tiga warga setempat, yakni Ngalimin, Achmad Jawal, dan Mijo, yang diduga menjadi mata-mata tentara Indonesia. Dalam perkembangannya, warga setempat membuat jembatan penyeberangan memakai material bambu yang menghubungkan daerah Bantar dengan Tapen yang ada di seberang sungai Progo.
Dalam keterangan sejarah itu juga menyebutkan, ada salah satu pelaku sejarah yang ikut dalam perjuangan itu, yakni Regiyo Djayasudira yang saat itu berusia 16 tahun. Ketika itu, Regiyo bergabung menjadi tentara Indonesia berjuang melawan Belanda.
Replika lokomotif KA di festival Pacak Sepuran menjadi bagian menyambut HUT ke 77 Republik Indonesia. Lokasi itu menjadi salah satu yang dipilih karena memiliki sejarah bagi kemerdekaan.
"Jadi ada juga tema soal pahlawan yang diangkat di sana karena ada patung menyerupai pejuang yang dibuat oleh warga," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, Joko Mursito, dihubungi Medcom.id, Selasa, 9 Agustus 2022.
Pemerintah setempat mencoba mengambil momentum agar kemerdekaan Indonesia bernilai bagi warga setempat. Untuk itu ada 15 desa yang ada dekat dengan jalur kereta api yang diminta terlibat dalam festival itu, yakni dari ujung timur hingga ujung barat Kabupaten Kulon Progo.
Setiap desa yang ikut festival diberikan uang Rp30 juta sebagai modal membuat hiasan maupun ornamen. Semua harus dibuat oleh masyarakat setempat. Setiap desa diminta membuat dua titik pemasangan ornamen atau benda yang diikutkan festival.
"Ini agar masyarakat setempat bisa merasakan uang yang diberikan. Pendanaan berasal dari Dana Keistimewaan dan dipotong pajak," katanya.
Festival itu digelar selama bulan Agustus. Acara sudah dibuka sejak Senin, 8 Agustus lalu dan berakhir pada 30 Agustus. Akhir Agustus itu juga akan diumumkan pemenang festival itu.
Para pemenang akan diberikan hadiah di antaranya juara 1 sebesar Rp20 juta; juara 2 Rp18 juta; juara 3 Rp16 juta; peringkat 4 Rp14 juta; peringkat 5 Rp12 juta; dan peringkat 6 Rp10 juta.
"Kami adakan festival ini untuk mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan tumbuhnya perekomian pada titik itu. Bagaimana festival Pacak Sepuran bisa memicu tumbuhnya perekonomian di titik-titik itu," ungkapnya.
Salah satu dewan juri, Sumbo Tinarbuko, menyatakan unsur yang dinilai dari festival itu di antara estetika, kreativitas, dan dampak ekonomi untuk masyarakat sekitar. Namun, menurut dia, dampak ekonomi menjadi paling ditekankan karena menjadi target besar dalam festival itu.
"Selain itu yang sedang diujicobakan, bagaimana kelanjutan dari karyanya ini. Betulkah mampu meningkatkan ekonomi atau bahasa kerennya adalah ekonomi bergerak," kata akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Terlepas dari itu, Sumbo berharap festival itu bisa menular ke daerah lain. Menurut dia, festival seni di ruang publik bisa sekaligus menjadi tambahan ruang publik dan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Kulon Progo: Sebuah replika lokomotif kereta api (KA) terpajang di Dusun Bantar Wetan, Desa Banguncipto, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Replika yang dibuat dari bambu dan triplek menjadi simbol daerah yang memiliki jembatan penyeberangan KA bersejarah, yakni Jembatan Mbeling.
Ya, Jembatan Mbeling keberadaannya hanya beberapa meter dari lokasi pemasangan replika lokomotif KA itu. Dalam keterangan sejarah jembatan pada festival itu, jembatan awal mula dibangun pada 1886 dan dibuka 1887. Kemudian pada 1933 jembatan itu dilakukan perbaikan oleh Belanda.
Jembatan dengan konstruksi besi itu oleh Belanda dinamai Brugh Linj. Oleh masyarakat setempat, ucapan itu diubah menjadi jembatan Mbeling dengan alasah kemudahan pengucapan.
Pada 17 Juni 1951, jembatan Mbeling rusak akibat dibom tentara Indonesia. Pengeboman itu dilakukan untuk mencegah Belanda masuk ke Yogyakarta dari jalur barat.
Lantas Belanda menangkap tiga warga setempat, yakni Ngalimin, Achmad Jawal, dan Mijo, yang diduga menjadi mata-mata tentara Indonesia. Dalam perkembangannya, warga setempat membuat jembatan penyeberangan memakai material bambu yang menghubungkan daerah Bantar dengan Tapen yang ada di seberang sungai Progo.
Dalam keterangan sejarah itu juga menyebutkan, ada salah satu pelaku sejarah yang ikut dalam perjuangan itu, yakni Regiyo Djayasudira yang saat itu berusia 16 tahun. Ketika itu, Regiyo bergabung menjadi tentara Indonesia berjuang melawan Belanda.
Replika lokomotif KA di festival Pacak Sepuran menjadi bagian menyambut HUT ke 77 Republik Indonesia. Lokasi itu menjadi salah satu yang dipilih karena memiliki sejarah bagi kemerdekaan.
"Jadi ada juga tema soal pahlawan yang diangkat di sana karena ada patung menyerupai pejuang yang dibuat oleh warga," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, Joko Mursito, dihubungi Medcom.id, Selasa, 9 Agustus 2022.
Pemerintah setempat mencoba mengambil momentum agar kemerdekaan Indonesia bernilai bagi warga setempat. Untuk itu ada 15 desa yang ada dekat dengan jalur kereta api yang diminta terlibat dalam festival itu, yakni dari ujung timur hingga ujung barat Kabupaten Kulon Progo.
Setiap desa yang ikut festival diberikan uang Rp30 juta sebagai modal membuat hiasan maupun ornamen. Semua harus dibuat oleh masyarakat setempat. Setiap desa diminta membuat dua titik pemasangan ornamen atau benda yang diikutkan festival.
"Ini agar masyarakat setempat bisa merasakan uang yang diberikan. Pendanaan berasal dari Dana Keistimewaan dan dipotong pajak," katanya.
Festival itu digelar selama bulan Agustus. Acara sudah dibuka sejak Senin, 8 Agustus lalu dan berakhir pada 30 Agustus. Akhir Agustus itu juga akan diumumkan pemenang festival itu.
Para pemenang akan diberikan hadiah di antaranya juara 1 sebesar Rp20 juta; juara 2 Rp18 juta; juara 3 Rp16 juta; peringkat 4 Rp14 juta; peringkat 5 Rp12 juta; dan peringkat 6 Rp10 juta.
"Kami adakan festival ini untuk mengarah pada pemberdayaan masyarakat dan tumbuhnya perekomian pada titik itu. Bagaimana festival Pacak Sepuran bisa memicu tumbuhnya perekonomian di titik-titik itu," ungkapnya.
Salah satu dewan juri, Sumbo Tinarbuko, menyatakan unsur yang dinilai dari festival itu di antara estetika, kreativitas, dan dampak ekonomi untuk masyarakat sekitar. Namun, menurut dia, dampak ekonomi menjadi paling ditekankan karena menjadi target besar dalam festival itu.
"Selain itu yang sedang diujicobakan, bagaimana kelanjutan dari karyanya ini. Betulkah mampu meningkatkan ekonomi atau bahasa kerennya adalah ekonomi bergerak," kata akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Terlepas dari itu, Sumbo berharap festival itu bisa menular ke daerah lain. Menurut dia, festival seni di ruang publik bisa sekaligus menjadi tambahan ruang publik dan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)