Aceh: Krisis kemanusiaan negara bagian Rakhine di Myanmar yang dihuni etnis Rohingya menjadi sorotan dunia selama beberapa dekade terakhir. Tragedi yang terjadi di Myanmar, memaksa ribuan etnis Rohingya melarikan diri demi menyelamatkan nyawa mereka.
Medcom.id mengulas sejarah panjang konflik tersebut, melibatkan narasumber terpercaya untuk memberikan konteks yang mendalam.
Sejarah Myanmar-Rohingya: Tantangan dan Perjuangan
Myanmar, sebelumnya dikenal sebagai Burma, adalah negara di Asia Tenggara yang memiliki sejarah konflik dan ketegangan etnis yang panjang. Rohingya, sekelompok etnis minoritas Muslim, telah tinggal di wilayah Rakhine State di Barat Myanmar selama berabad-abad.
Meskipun mereka memiliki akar sejarah yang kaya, Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara.
Pada abad 7-10, catatan sejarah mencatat keberadaan komunitas Muslim di wilayah yang sekarang menjadi Rakhine State di Myanmar. Rakhine kemudian menjadi kerajaan independen dengan pengaruh budaya campuran antara Buddhisme dan Islam pada abad ke-15.
Pada abad ke-19, wilayah ini jatuh ke tangan Inggris setelah Perang Inggris-Burma Pertama (1824-1826). Dan seiring dengan itu, terjadi migrasi besar-besaran kelompok etnis Rohingya dari Bengal untuk bekerja di perkebunan dan perdagangan.
Myanmar meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Namun, hak-hak etnis Rohingya mulai dibatasi oleh Pemerintah Burma (sekarang Myanmar). Pada 1962, kudeta militer menguatkan rezim otoriter, meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan etnis minoritas, termasuk Rohingya.
Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Rohingya
Konflik etnis di Myanmar semakin meruncing pada 2017 ketika militer Myanmar melancarkan serangan brutal terhadap warga Rohingya. Laporan hak asasi manusia menyebutkan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa sebagai bagian dari kampanye militer yang disebut sebagai "pembersihan etnis."
Pada 1982, Pemerintah Myanmar mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang membatasi hak kewarganegaraan bagi Rohingya, menjadikan mereka apatride. Ini menciptakan kondisi diskriminatif yang membatasi akses mereka terhadap layanan publik, pendidikan, dan pekerjaan.
Pada 2012, konflik antar-etnis di Rakhine memicu kekerasan, memaksa ribuan Rohingya mengungsi dan memperburuk kondisi kemanusiaan. Pada 2017, militer Myanmar melancarkan operasi besar-besaran sebagai tanggapan terhadap serangan kelompok bersenjata Rohingya, menyebabkan gelombang besar pengungsi Rohingya menuju Bangladesh. Operasi ini dikecam secara luas oleh komunitas internasional sebagai pembersihan etnis yang mengerikan.
Eksodus Warga Rohingya ke Luar Negeri
Akibat serangan militer, ribuan Rohingya terpaksa meninggalkan Tanah Air mereka. Mereka menghadapi perjalanan yang panjang dan berbahaya melintasi perbatasan untuk mencari perlindungan.
Negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Thailand, dan Malaysia menjadi tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya. Sejak 2015, kelompok Rohingya terus terdampar di perairan internasional, termasuk di Aceh, setelah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Pemerintah dan masyarakat Aceh merespons krisis kemanusiaan ini dengan memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengungsi Rohingya yang tiba di pantai mereka.
Tiba di Aceh
Masyarakat Aceh dikenal sebagai warga yang sangat terbuka dengan para pendatang. Di mana banyak perahu pengungsi Rohingya mencapai pantai pada 2015. Masyarakat Aceh menunjukkan solidaritas dan kepedulian mereka dengan memberikan bantuan kemanusiaan, makanan, dan tempat tinggal sementara.
Pemerintah dan kelompok kemanusiaan di Aceh, berperan penting dalam memberikan bantuan dan memfasilitasi proses penampungan pengungsi. Wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat memberikan sudut pandang yang lebih mendalam mengenai bagaimana Aceh merespons krisis ini.
Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, yang akrab disapa Cek Midi, memberikan penjelasan mendalam mengenai perjalanan sejarah Rohingya, kelompok etnis Muslim minoritas, yang telah menghadapi berbagai tantangan dan konflik di Myanmar sebelum akhirnya terdampar di Aceh.
Menurut Cek Midi, konflik etnis di Myanmar, khususnya di Rakhine State, telah menciptakan kisah tragis bagi masyarakat Rohingya. Rohingya merupakan kelompok etnis yang sebagian besar beragama Islam dan telah lama tinggal di wilayah tersebut. Namun, mereka menghadapi diskriminasi dan pengucilan sistematis dari Pemerintah Myanmar, yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara.
"Pada dasarnya, konflik Rohingya adalah akibat dari ketidaksetaraan hak dan perlakuan diskriminatif yang telah terjadi selama bertahun-tahun di Myanmar," ujar Cek Midi, Rabu, 13 Desember 2023.
Cek Midi menjelaskan pada 2017, ketegangan mencapai puncaknya ketika militer Myanmar melancarkan operasi berskala besar sebagai tanggapan terhadap serangan kelompok bersenjata Rohingya. Operasi militer tersebut disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran desa.
"Mereka menyambung hidup dengan mental ketakutan. Kekerasan yang melibatkan militer Myanmar menyebabkan ribuan orang Rohingya terpaksa meninggalkan tanah air mereka dalam mencari perlindungan dan keamanan," tambah Cek Midi.
Perjalanan panjang Rohingya menuju Aceh dimulai setelah melintasi perairan Laut Andaman, yang berisiko tinggi. Banyak perahu karet yang penuh sesak dengan pengungsi Rohingya terdampar di perairan internasional sebelum akhirnya ditemukan dan diselamatkan oleh otoritas maritim internasional dan negara-negara pesisir, termasuk Indonesia.
"Ratusan ribu Rohingya lari dan mengungsi ke beberapa negara. Tapi sangat disayangkan. Tidak semua negara mau menerimanya,” ungkapnya.
Aceh menjadi salah satu tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya. Kemudian, Pemerintah dan masyarakat Aceh merespons krisis kemanusiaan ini dengan memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengungsi Rohingya yang tiba di pantai mereka.
"Aceh, dengan pengalamannya sendiri dalam menghadapi bencana alam dan konflik, menunjukkan solidaritas yang tinggi terhadap pengungsi," tuturnya.
Cek Midi berharap masyarakat internasional bekerja sama untuk menemukan solusi jangka panjang terhadap krisis Rohingya tersebut.
"Ini adalah panggilan bagi semua pihak, termasuk pemerintah Myanmar, untuk berkomitmen pada dialog dan upaya perdamaian guna mengatasi akar permasalahan," kata Cek Midi.
Sebagai sejarawan dan Pahlawan Manuskrip Kuno Aceh asal Pidie itu, Cek Midi berharap bahwa perjalanan panjang Rohingya dapat mencapai titik damai dan keadilan, dan bahwa Aceh dapat menjadi contoh solidaritas kemanusiaan bagi dunia.
Pengungsi Rohingya di Aceh berjalan kaki untuk direlokasi ke tempat penampungan sementara. Medcom.id/Fajri Fatmawati
Kisah Imigran Rohingya Yang Mendarat di Aceh
Medcom.id pun berkesempatan mewawancarai salah seorang pengungsi Rohingya di Taman Sultanah Safiatuddin Banda Aceh pada Senin kemarin, 11 Desember 2023, di mana ia menjadi satu-satunya pengungsi Rohingya yang dapat berbahasa Melayu dalam 135 rombongan yang tiba di Aceh beberapa hari lalu.
Muhammad Alom, 35, bersama istri dan dua anaknya telah meninggalkan kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, setelah tinggal di sana sejak 2017, untuk menghindari bentrokan geng yang terjadi hampir setiap hari.
"Tanah sudah merah, orang-orang ditembak," kata Alom.
Alom, yang berasal dari Rakhine, Myanmar, mengungsi ke Bangladesh setelah rumahnya dibakar dangan membayar tiket kapal 20 ribu Taka Bangladesh atau setara dengan Rp2 juta lebih.
"Bayar kapal 20 ribu Taka Bangladesh satu orang dewasa, anak-anak tak bayar," ungkapnya.
Pada Minggu lalu, Alom dan 135 pengungsi Rohingya lainnya tiba di Blang Ulam, Aceh Besar, setelah menempuh perjalanan laut yang berbahaya. Namun, belakangan ini, kelompok pengungsi ini mengalami ketidakpastian terlantung-lantung di daratan Aceh.
Muhammad Alom pun menceritakan keadaan kamp yang terkena dampak serangan. Saat itu malam tiba, geng dari Myanmar dan Bangladesh memasuki kamp, memicu bentrokan yang menyebabkan 4 hingga 6 kematian dalam satu malam.
Untuk menghindari perang antargeng, Alom bersama 135 pengungsi Rohingya lainnya menempuh perjalanan laut melalui laut Benggala dan Selat Malaka, sampai akhirnya tiba di pantai Blang Ulam, Aceh Besar, pada Ahad dini hari.
Kedatangan mereka menambah jumlah pengungsi Rohingya di Aceh menjadi lebih dari seribu orang, namun setibanya mendarat Aceh tidak memiliki lokasi penampungan yang pasti. Alom, awalnya membayangkan akan tiba di Thailand, Malaysia, atau Indonesia dan akhirnya mereka tiba di Aceh.
"Nasib baik sampai Aceh," ungkap Alom.
Namun, selama di laut, masalah utama yang dihadapi adalah kondisi mesin kapal yang terkadang mati. "Sekali hidup, sekali mati," ujarnya.
Pengungsi Rohingya di Aceh berjalan kaki untuk direlokasi ke tempat penampungan sementara. Medcom.id/Fajri Fatmawati
Sikap Pemerintah Aceh
Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, menegaskan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan merupakan prioritas utama dalam penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
"Prioritas utama adalah memberikan bantuan kemanusiaan, rakyat Aceh sepakat untuk memberikan dukungan ini kepada pengungsi," kata Achmad Marzuki.
Selain itu, pemerintah juga mengatur lokasi dan durasi tinggal pengungsi Rohingya di Aceh. Achmad Marzuki menyampaikan bahwa masyarakat Aceh bersedia menerima pengungsi di laut, namun ketika mereka tiba di daratan, pemerintah perlu mencari tempat penampungan sementara.
"Tentang berapa lama mereka dapat tinggal, kita akan segera memindahkan mereka dan menempatkannya di tempat yang lebih layak," ujarnya.
Pihaknya menyebutkan, bahwa pemerintah bertanggung jawab menyediakan lokasi baru, dengan beberapa petunjuk yang telah diterima dari pemerintah pusat.
"Saya akan berkomunikasi dengan UNHCR dan pihak terkait untuk melaksanakan langkah-langkah ini," tegasnya.
Meskipun sejumlah langkah telah diambil oleh komunitas internasional untuk mengatasi krisis Rohingya, tantangan besar masih terjadi. Keterlibatan negara-negara ASEAN dan upaya diplomatik global diperlukan untuk menekan Myanmar agar menghentikan kekerasan dan menciptakan kondisi yang memungkinkan kembali kehidupan normal bagi Rohingya di Tanah Air mereka.
Sejarah panjang tragedi Rohingya dari Myanmar hingga terdampar di Aceh menggambarkan kompleksitas konflik etnis dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan merinci peristiwa-peristiwa tersebut, kita dapat memahami urgensi dan pentingnya upaya bersama dalam menanggapi krisis kemanusiaan ini.
Semoga dengan pemahaman yang lebih dalam, dunia dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi masyarakat Rohingya yang menderita.
Aceh: Krisis kemanusiaan negara bagian Rakhine di Myanmar yang dihuni etnis Rohingya menjadi sorotan dunia selama beberapa dekade terakhir. Tragedi yang terjadi di Myanmar, memaksa ribuan etnis Rohingya melarikan diri demi menyelamatkan nyawa mereka.
Medcom.id mengulas sejarah panjang konflik tersebut, melibatkan narasumber terpercaya untuk memberikan konteks yang mendalam.
Sejarah Myanmar-Rohingya: Tantangan dan Perjuangan
Myanmar, sebelumnya dikenal sebagai Burma, adalah negara di Asia Tenggara yang memiliki sejarah konflik dan ketegangan etnis yang panjang. Rohingya, sekelompok etnis minoritas Muslim, telah tinggal di wilayah Rakhine State di Barat Myanmar selama berabad-abad.
Meskipun mereka memiliki akar sejarah yang kaya, Pemerintah Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara.
Pada abad 7-10, catatan sejarah mencatat keberadaan komunitas Muslim di wilayah yang sekarang menjadi Rakhine State di Myanmar. Rakhine kemudian menjadi kerajaan independen dengan pengaruh budaya campuran antara Buddhisme dan Islam pada abad ke-15.
Pada abad ke-19, wilayah ini jatuh ke tangan Inggris setelah Perang Inggris-Burma Pertama (1824-1826). Dan seiring dengan itu, terjadi migrasi besar-besaran kelompok etnis Rohingya dari Bengal untuk bekerja di perkebunan dan perdagangan.
Myanmar meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Namun, hak-hak etnis Rohingya mulai dibatasi oleh Pemerintah Burma (sekarang Myanmar). Pada 1962, kudeta militer menguatkan rezim otoriter, meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan etnis minoritas, termasuk Rohingya.
Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Rohingya
Konflik etnis di Myanmar semakin meruncing pada 2017 ketika militer Myanmar melancarkan serangan brutal terhadap warga Rohingya. Laporan hak asasi manusia menyebutkan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa sebagai bagian dari kampanye militer yang disebut sebagai "pembersihan etnis."
Pada 1982, Pemerintah Myanmar mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang membatasi hak kewarganegaraan bagi Rohingya, menjadikan mereka apatride. Ini menciptakan kondisi diskriminatif yang membatasi akses mereka terhadap layanan publik, pendidikan, dan pekerjaan.
Pada 2012, konflik antar-etnis di Rakhine memicu kekerasan, memaksa ribuan Rohingya mengungsi dan memperburuk kondisi kemanusiaan. Pada 2017, militer Myanmar melancarkan operasi besar-besaran sebagai tanggapan terhadap serangan kelompok bersenjata Rohingya, menyebabkan gelombang besar pengungsi Rohingya menuju Bangladesh. Operasi ini dikecam secara luas oleh komunitas internasional sebagai pembersihan etnis yang mengerikan.
Eksodus Warga Rohingya ke Luar Negeri
Akibat serangan militer, ribuan Rohingya terpaksa meninggalkan Tanah Air mereka. Mereka menghadapi perjalanan yang panjang dan berbahaya melintasi perbatasan untuk mencari perlindungan.
Negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Thailand, dan Malaysia menjadi tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya. Sejak 2015, kelompok Rohingya terus terdampar di perairan internasional, termasuk di Aceh, setelah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Pemerintah dan masyarakat Aceh merespons krisis kemanusiaan ini dengan memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengungsi Rohingya yang tiba di pantai mereka.
Tiba di Aceh
Masyarakat Aceh dikenal sebagai warga yang sangat terbuka dengan para pendatang. Di mana banyak perahu pengungsi Rohingya mencapai pantai pada 2015. Masyarakat Aceh menunjukkan solidaritas dan kepedulian mereka dengan memberikan bantuan kemanusiaan, makanan, dan tempat tinggal sementara.
Pemerintah dan kelompok kemanusiaan di Aceh, berperan penting dalam memberikan bantuan dan memfasilitasi proses penampungan pengungsi. Wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat memberikan sudut pandang yang lebih mendalam mengenai bagaimana Aceh merespons krisis ini.
Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, yang akrab disapa Cek Midi, memberikan penjelasan mendalam mengenai perjalanan sejarah Rohingya, kelompok etnis Muslim minoritas, yang telah menghadapi berbagai tantangan dan konflik di Myanmar sebelum akhirnya terdampar di Aceh.
Menurut Cek Midi, konflik etnis di Myanmar, khususnya di Rakhine State, telah menciptakan kisah tragis bagi masyarakat Rohingya. Rohingya merupakan kelompok etnis yang sebagian besar beragama Islam dan telah lama tinggal di wilayah tersebut. Namun, mereka menghadapi diskriminasi dan pengucilan sistematis dari Pemerintah Myanmar, yang tidak mengakui mereka sebagai warga negara.
"Pada dasarnya, konflik Rohingya adalah akibat dari ketidaksetaraan hak dan perlakuan diskriminatif yang telah terjadi selama bertahun-tahun di Myanmar," ujar Cek Midi, Rabu, 13 Desember 2023.
Cek Midi menjelaskan pada 2017, ketegangan mencapai puncaknya ketika militer Myanmar melancarkan operasi berskala besar sebagai tanggapan terhadap serangan kelompok bersenjata Rohingya. Operasi militer tersebut disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran desa.
"Mereka menyambung hidup dengan mental ketakutan. Kekerasan yang melibatkan militer Myanmar menyebabkan ribuan orang Rohingya terpaksa meninggalkan tanah air mereka dalam mencari perlindungan dan keamanan," tambah Cek Midi.
Perjalanan panjang Rohingya menuju Aceh dimulai setelah melintasi perairan Laut Andaman, yang berisiko tinggi. Banyak perahu karet yang penuh sesak dengan pengungsi Rohingya terdampar di perairan internasional sebelum akhirnya ditemukan dan diselamatkan oleh otoritas maritim internasional dan negara-negara pesisir, termasuk Indonesia.
"Ratusan ribu Rohingya lari dan mengungsi ke beberapa negara. Tapi sangat disayangkan. Tidak semua negara mau menerimanya,” ungkapnya.
Aceh menjadi salah satu tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya. Kemudian, Pemerintah dan masyarakat Aceh merespons krisis kemanusiaan ini dengan memberikan bantuan dan bimbingan kepada pengungsi Rohingya yang tiba di pantai mereka.
"Aceh, dengan pengalamannya sendiri dalam menghadapi bencana alam dan konflik, menunjukkan solidaritas yang tinggi terhadap pengungsi," tuturnya.
Cek Midi berharap masyarakat internasional bekerja sama untuk menemukan solusi jangka panjang terhadap krisis Rohingya tersebut.
"Ini adalah panggilan bagi semua pihak, termasuk pemerintah Myanmar, untuk berkomitmen pada dialog dan upaya perdamaian guna mengatasi akar permasalahan," kata Cek Midi.
Sebagai sejarawan dan Pahlawan Manuskrip Kuno Aceh asal Pidie itu, Cek Midi berharap bahwa perjalanan panjang Rohingya dapat mencapai titik damai dan keadilan, dan bahwa Aceh dapat menjadi contoh solidaritas kemanusiaan bagi dunia.
Pengungsi Rohingya di Aceh berjalan kaki untuk direlokasi ke tempat penampungan sementara. Medcom.id/Fajri Fatmawati
Kisah Imigran Rohingya Yang Mendarat di Aceh
Medcom.id pun berkesempatan mewawancarai salah seorang pengungsi Rohingya di Taman Sultanah Safiatuddin Banda Aceh pada Senin kemarin, 11 Desember 2023, di mana ia menjadi satu-satunya pengungsi Rohingya yang dapat berbahasa Melayu dalam 135 rombongan yang tiba di Aceh beberapa hari lalu.
Muhammad Alom, 35, bersama istri dan dua anaknya telah meninggalkan kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, setelah tinggal di sana sejak 2017, untuk menghindari bentrokan geng yang terjadi hampir setiap hari.
"Tanah sudah merah, orang-orang ditembak," kata Alom.
Alom, yang berasal dari Rakhine, Myanmar, mengungsi ke Bangladesh setelah rumahnya dibakar dangan membayar tiket kapal 20 ribu Taka Bangladesh atau setara dengan Rp2 juta lebih.
"Bayar kapal 20 ribu Taka Bangladesh satu orang dewasa, anak-anak tak bayar," ungkapnya.
Pada Minggu lalu, Alom dan 135 pengungsi Rohingya lainnya tiba di Blang Ulam, Aceh Besar, setelah menempuh perjalanan laut yang berbahaya. Namun, belakangan ini, kelompok pengungsi ini mengalami ketidakpastian terlantung-lantung di daratan Aceh.
Muhammad Alom pun menceritakan keadaan kamp yang terkena dampak serangan. Saat itu malam tiba, geng dari Myanmar dan Bangladesh memasuki kamp, memicu bentrokan yang menyebabkan 4 hingga 6 kematian dalam satu malam.
Untuk menghindari perang antargeng, Alom bersama 135 pengungsi Rohingya lainnya menempuh perjalanan laut melalui laut Benggala dan Selat Malaka, sampai akhirnya tiba di pantai Blang Ulam, Aceh Besar, pada Ahad dini hari.
Kedatangan mereka menambah jumlah pengungsi Rohingya di Aceh menjadi lebih dari seribu orang, namun setibanya mendarat Aceh tidak memiliki lokasi penampungan yang pasti. Alom, awalnya membayangkan akan tiba di Thailand, Malaysia, atau Indonesia dan akhirnya mereka tiba di Aceh.
"Nasib baik sampai Aceh," ungkap Alom.
Namun, selama di laut, masalah utama yang dihadapi adalah kondisi mesin kapal yang terkadang mati. "Sekali hidup, sekali mati," ujarnya.
Pengungsi Rohingya di Aceh berjalan kaki untuk direlokasi ke tempat penampungan sementara. Medcom.id/Fajri Fatmawati
Sikap Pemerintah Aceh
Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, menegaskan bahwa pemberian bantuan kemanusiaan merupakan prioritas utama dalam penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
"Prioritas utama adalah memberikan bantuan kemanusiaan, rakyat Aceh sepakat untuk memberikan dukungan ini kepada pengungsi," kata Achmad Marzuki.
Selain itu, pemerintah juga mengatur lokasi dan durasi tinggal pengungsi Rohingya di Aceh. Achmad Marzuki menyampaikan bahwa masyarakat Aceh bersedia menerima pengungsi di laut, namun ketika mereka tiba di daratan, pemerintah perlu mencari tempat penampungan sementara.
"Tentang berapa lama mereka dapat tinggal, kita akan segera memindahkan mereka dan menempatkannya di tempat yang lebih layak," ujarnya.
Pihaknya menyebutkan, bahwa pemerintah bertanggung jawab menyediakan lokasi baru, dengan beberapa petunjuk yang telah diterima dari pemerintah pusat.
"Saya akan berkomunikasi dengan UNHCR dan pihak terkait untuk melaksanakan langkah-langkah ini," tegasnya.
Meskipun sejumlah langkah telah diambil oleh komunitas internasional untuk mengatasi krisis Rohingya, tantangan besar masih terjadi. Keterlibatan negara-negara ASEAN dan upaya diplomatik global diperlukan untuk menekan Myanmar agar menghentikan kekerasan dan menciptakan kondisi yang memungkinkan kembali kehidupan normal bagi Rohingya di Tanah Air mereka.
Sejarah panjang tragedi Rohingya dari Myanmar hingga terdampar di Aceh menggambarkan kompleksitas konflik etnis dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan merinci peristiwa-peristiwa tersebut, kita dapat memahami urgensi dan pentingnya upaya bersama dalam menanggapi krisis kemanusiaan ini.
Semoga dengan pemahaman yang lebih dalam, dunia dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi masyarakat Rohingya yang menderita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(WHS)