Jakarta: Sebuah fakta mencatat di Indonesia saat ini, ada 4,8 juta perempuan yang sedang merapatkan barisan dalam pertarungan melawan infertilitas. Infertilitas sendiri adalah ketidakmampuan mendapatkan keturunan atau keadaan kurang subur.
Salah satu yang mengalaminya adalah Meutya Hafid seorang ibu sekaligus juga politikus Partai Golkar. Mantan jurnalis itu menceritakan perjalanan pribadinya meraih keajaiban setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung. Meutya menyoroti pentingnya perubahan dalam pendekatan masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” ungkap Meutya dalam peluncuran bukunya berjudul 'LYORA: Keajaiban yang Dinanti' di Jakarta, Senin, 13 November 2023.
Perjalanan upaya mendapatkan keturunan dimulai saat Meutya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF bersama sang suami Noer Fajrieansyah. Meutya sendiri sempat sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik.
Di tengah perjuangan pribadi ini, Meutya bertemu dengan seorang dokter bernama Ivan R Sini yang memberikan panduan berharga dalam perjalanan mendapatkan buah hati. Proosedur bayi tabung terus dicoba diiringi dengan dukungan terus menerus dan pendekatan perawatan yang holistik yang berfokus tidak hanya pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional.
Berbekal dengan pengalaman berharga tersebut Meutya menjadi lebih vokal tentang perjuangannya dan memutuskan untuk menggunakan pengalamannya untuk membantu banyak pasangan lain yang berharap untuk memiliki anak. Ia menyerukan tindakan nyata dan perubahan sikap masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” tuturnya.
Menurut Meutya, ada beberapa alasan mengapa pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit ini menjadi penting. Pertama, dengan mengakui infertilitas sebagai penyakit, individu yang mengalami masalah kesuburan akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan medis yang tepat.
"Pengakuan ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan dapat diakses dengan mudah," jelasnya.
Kedua, peningkatan dukungan psikologis. Infertilitas dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu dan pasangan yang mengalaminya. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu mengurangi stigma sosial dan meningkatkan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami masalah kesuburan.
Ini dapat melibatkan dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu individu dan pasangan menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan infertilitas.
Ketiga, perlindungan hukum dan hak individu. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat memberikan perlindungan hukum dan hak-hak individu yang mengalami masalah kesuburan.
Ini dapat mencakup hak untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat, perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja atau dalam asuransi kesehatan, dan hak untuk mengadopsi atau mengakses teknologi reproduksi seperti In Vitro Fertilization (IVF).
Terakhir, peningkatan kesadaran dan edukasi. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang masalah kesuburan.
"Ini dapat mengurangi stigma dan kesalahpahaman yang terkait dengan infertilitas, serta meningkatkan pengetahuan tentang opsi perawatan dan dukungan yang tersedia bagi individu yang mengalami masalah kesuburan," jelasnya.
Meutya juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memperhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia.
Jakarta: Sebuah fakta mencatat di Indonesia saat ini, ada 4,8 juta perempuan yang sedang merapatkan barisan dalam pertarungan melawan
infertilitas. Infertilitas sendiri adalah ketidakmampuan mendapatkan keturunan atau keadaan kurang subur.
Salah satu yang mengalaminya adalah Meutya Hafid seorang ibu sekaligus juga politikus
Partai Golkar. Mantan jurnalis itu menceritakan perjalanan pribadinya meraih keajaiban setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung. Meutya menyoroti pentingnya perubahan dalam pendekatan masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” ungkap Meutya dalam peluncuran bukunya berjudul 'LYORA: Keajaiban yang Dinanti' di Jakarta, Senin, 13 November 2023.
Perjalanan upaya mendapatkan keturunan dimulai saat Meutya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF bersama sang suami Noer Fajrieansyah. Meutya sendiri sempat sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik.
Di tengah perjuangan pribadi ini, Meutya bertemu dengan seorang dokter bernama Ivan R Sini yang memberikan panduan berharga dalam perjalanan mendapatkan buah hati. Proosedur bayi tabung terus dicoba diiringi dengan dukungan terus menerus dan pendekatan perawatan yang holistik yang berfokus tidak hanya pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional.
Berbekal dengan pengalaman berharga tersebut Meutya menjadi lebih vokal tentang perjuangannya dan memutuskan untuk menggunakan pengalamannya untuk membantu banyak pasangan lain yang berharap untuk memiliki anak. Ia menyerukan tindakan nyata dan perubahan sikap masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” tuturnya.
Menurut Meutya, ada beberapa alasan mengapa pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit ini menjadi penting. Pertama, dengan mengakui infertilitas sebagai penyakit, individu yang mengalami masalah kesuburan akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan medis yang tepat.
"Pengakuan ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan dapat diakses dengan mudah," jelasnya.
Kedua, peningkatan dukungan psikologis. Infertilitas dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu dan pasangan yang mengalaminya. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu mengurangi stigma sosial dan meningkatkan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami masalah kesuburan.
Ini dapat melibatkan dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu individu dan pasangan menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan infertilitas.
Ketiga, perlindungan hukum dan hak individu. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat memberikan perlindungan hukum dan hak-hak individu yang mengalami masalah kesuburan.
Ini dapat mencakup hak untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat, perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja atau dalam asuransi kesehatan, dan hak untuk mengadopsi atau mengakses teknologi reproduksi seperti In Vitro Fertilization (IVF).
Terakhir, peningkatan kesadaran dan edukasi. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang masalah kesuburan.
"Ini dapat mengurangi stigma dan kesalahpahaman yang terkait dengan infertilitas, serta meningkatkan pengetahuan tentang opsi perawatan dan dukungan yang tersedia bagi individu yang mengalami masalah kesuburan," jelasnya.
Meutya juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memperhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)