Semarang: Tiga sekawan penjahit keliling memarkir sepeda motornya di sisi selatan Taman Borobudur, Kota Semarang. Setiap hari, di situlah mereka biasa mangkal. Di depan mereka, berkerumun beberapa orang, mengantre dengan bungkusan berisi pakaian untuk dipermak.
Siang itu ketiga penjahit yang berasal dari desa yang sama di Pekalongan tersebut terlihat kewalahan. Biasanya mereka berenam, tapi tiga penjahit lain sedang pulang kampung. Namun, agaknya mereka baik-baik saja. Mereka justru senang saat banyak pelanggan berdatangan.
Sejak memutuskan menetap di Taman Borobudur beberapa tahun lalu, rezeki para penjahit keliling itu memang membaik. Anshor, salah seorang penjahit mengatakan dengan menetap, dia dan kawan-kawan mulai dikenal masyarakat sekitar dan memiliki sejumlah pelanggan tetap.
"Kalau sedang ramai, kami bisa dapat Rp200-an ribu per orang," ujar Anshor singkat di sela-sela kesibukannya saat memotong celana jin seorang pelanggan.
Pendapatan sebesar Rp200-an ribu tentu bukanlah jumlah yang kecil, mengingat biaya jasa permak ke penjahit keliling biasanya berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per pakaian, tergantung tingkat kesulitan. Setiap hari mereka bisa melayani jasa permak lebih dari 10 pakaian per orang.
Membagi Rata Keuntungan
Hari itu tidak banyak pertanyaan yang bisa saya lontarkan ke para penjahit tersebut karena pekerjaan mereka tampak sedang menumpuk. Saya memilih mengamati mereka dari kejauhan, sembari sesekali mendekat saat mereka tengah rehat, entah untuk menyesap rokok atau menyeruput es teh.
Sesekali saya melihat mereka saling bersenda gurau atau berbagi makanan. Inilah yang membuat saya salut. Kendati sama-sama menawarkan jasa permak, saya tidak mencium aroma persaingan di antara ketiganya.
Mereka memang sama-sama perantau yang datang dari daerah yang sama, yakni dari Bojong, sebuah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Mereka sudah bertahun-tahun saling mengenal dan bekerja sama, jadi sangat wajar kalau para penjahit ini sangat akrab.
Namun, menurut penjahit lain yang bernama Syukur, alasan dirinya nggak perlu bersaing dengan kawan-kawannya yang sama-sama mangkal di taman tersebut adalah karena mereka menerapkan sistem bagi hasil.
"Uang yang didapat seharian kami kumpulkan, lalu sebelum pulang dibagi rata," ungkapnya.
Murah dan Bisa Ditunggu
Dengan sistem bagi hasil, Syukur mengaku senang karena mereka nggak harus bersaing. Dia juga nggak merisaukan siapa yang kerja lebih banyak atau sedikit karena masing-masing saling memercayai rekan sejawatnya.
“Kalau ada pelanggan, pokoknya yang lagi kosong ya yang ambil," terangnya, lalu tertawa.
"Saat ini kami bertiga karena tiga orang yang lain mudik. Biasanya berenam." ucap dia lagi.
Dengan bekerja bareng-bareng, Syukur juga merasa pekerjaannya jadi lebih ringan. Selain punya teman ngobrol, pekerjaannya juga bisa di-backup saat orderan menumpuk. Dia mengaku bisa bekerja dengan lebih tenang dan nggak kelabakan.
"Terkadang garapan sampai menumpuk. Kalau bareng-bareng begini enak; menjahit lebih tenang dan bisa akurat," akunya yang segera diiyakan Anshor.
Ajeng, salah seorang pelanggan yang tengah mengantre untuk memermak resleting celananya mengatakan, sudah beberapa kali dia menggunakan jasa penjahit keliling di taman yang berlokasi di Manyaran tersebut dan tidak pernah merasa kecewa.
Selain hasilnya oke, tukang permak itu juga dekat dengan rumahnya, Alasan lain, harganya murah dan bisa ditunggu. Menurutnya, untuk perbaikan kecil seperti membetulkan resleting rok, memendekkan celana, atau menambal baju yang sobek memang lebih pas kalau ke tempat tersebut.
“Paling nunggu sepuluh menit, baju atau celana sudah bisa dibawa pulang,” celetuk Ajeng yang disambut dengan senyum semringah Syukur dan teman-temannya. (Bayu N)
Semarang: Tiga sekawan penjahit keliling memarkir sepeda motornya di sisi selatan Taman Borobudur,
Kota Semarang. Setiap hari, di situlah mereka biasa mangkal. Di depan mereka, berkerumun beberapa orang, mengantre dengan bungkusan berisi pakaian untuk dipermak.
Siang itu ketiga penjahit yang berasal dari desa yang sama di Pekalongan tersebut terlihat kewalahan. Biasanya mereka berenam, tapi tiga penjahit lain sedang pulang kampung. Namun, agaknya mereka baik-baik saja. Mereka justru senang saat banyak pelanggan berdatangan.
Sejak memutuskan menetap di Taman Borobudur beberapa tahun lalu, rezeki para penjahit keliling itu memang membaik. Anshor, salah seorang penjahit mengatakan dengan menetap, dia dan kawan-kawan mulai dikenal masyarakat sekitar dan memiliki sejumlah pelanggan tetap.
"Kalau sedang ramai, kami bisa dapat Rp200-an ribu per orang," ujar Anshor singkat di sela-sela kesibukannya saat memotong celana jin seorang pelanggan.
Pendapatan sebesar Rp200-an ribu tentu bukanlah jumlah yang kecil, mengingat biaya jasa permak ke penjahit keliling biasanya berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per pakaian, tergantung tingkat kesulitan. Setiap hari mereka bisa melayani jasa permak lebih dari 10 pakaian per orang.
Membagi Rata Keuntungan
Hari itu tidak banyak pertanyaan yang bisa saya lontarkan ke para penjahit tersebut karena pekerjaan mereka tampak sedang menumpuk. Saya memilih mengamati mereka dari kejauhan, sembari sesekali mendekat saat mereka tengah rehat, entah untuk menyesap rokok atau menyeruput es teh.
Sesekali saya melihat mereka saling bersenda gurau atau berbagi makanan. Inilah yang membuat saya salut. Kendati sama-sama menawarkan jasa permak, saya tidak mencium aroma persaingan di antara ketiganya.
Mereka memang sama-sama perantau yang datang dari daerah yang sama, yakni dari Bojong, sebuah kecamatan di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Mereka sudah bertahun-tahun saling mengenal dan bekerja sama, jadi sangat wajar kalau para penjahit ini sangat akrab.
Namun, menurut penjahit lain yang bernama Syukur, alasan dirinya nggak perlu bersaing dengan kawan-kawannya yang sama-sama mangkal di taman tersebut adalah karena mereka menerapkan sistem bagi hasil.
"Uang yang didapat seharian kami kumpulkan, lalu sebelum pulang dibagi rata," ungkapnya.
Murah dan Bisa Ditunggu
Dengan sistem bagi hasil, Syukur mengaku senang karena mereka nggak harus bersaing. Dia juga nggak merisaukan siapa yang kerja lebih banyak atau sedikit karena masing-masing saling memercayai rekan sejawatnya.
“Kalau ada pelanggan, pokoknya yang lagi kosong ya yang ambil," terangnya, lalu tertawa.
"Saat ini kami bertiga karena tiga orang yang lain mudik. Biasanya berenam." ucap dia lagi.
Dengan bekerja bareng-bareng, Syukur juga merasa pekerjaannya jadi lebih ringan. Selain punya teman ngobrol, pekerjaannya juga bisa di-backup saat orderan menumpuk. Dia mengaku bisa bekerja dengan lebih tenang dan nggak kelabakan.
"Terkadang garapan sampai menumpuk. Kalau bareng-bareng begini enak; menjahit lebih tenang dan bisa akurat," akunya yang segera diiyakan Anshor.
Ajeng, salah seorang pelanggan yang tengah mengantre untuk memermak resleting celananya mengatakan, sudah beberapa kali dia menggunakan jasa penjahit keliling di taman yang berlokasi di Manyaran tersebut dan tidak pernah merasa kecewa.
Selain hasilnya oke, tukang permak itu juga dekat dengan rumahnya, Alasan lain, harganya murah dan bisa ditunggu. Menurutnya, untuk perbaikan kecil seperti membetulkan resleting rok, memendekkan celana, atau menambal baju yang sobek memang lebih pas kalau ke tempat tersebut.
“Paling nunggu sepuluh menit, baju atau celana sudah bisa dibawa pulang,” celetuk Ajeng yang disambut dengan senyum semringah Syukur dan teman-temannya.
(Bayu N) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(NUR)