Yogyakarta: Sebuah bangunan di Jalan Tamansiswa Nomor 31 Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta tampak sepi. Hingar bingar kendaraan di Jalan Tamansiswa tak otomatis membuat kompleks bangunan itu ramai.
Bangunan rumah di sudut utara kompleks itu merupakan Museum Dewantara Kirti Griya (DKG). Museum ini dulunya rumah mantan Menteri Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara (KHD). Bangunan ini berdiri satu kompleks dengan Perguruan Tamansiswa dan Kantor Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Mengutip kebudayaan.jogjakota.go.id, bangunan museum yang berdiri di atas lahan 300 meter persegi itu merupakan saksi sejarah kehidupan lelaki dengan nama asli Soewardi Soerjaningrat. Total luas lahan untuk bangunan museum dan kompleks tersebut sekitar 2.7.20 meter persegi.
“Sebagai bangunan cagar budaya, bekas rumah Ki Hadjar ini juga dasarnya kuat. Mendapat amanah langsung dari pemilik dengan menyerahkan kepada yayasan Persatuan Tamansiswa agar bisa dimaksimalkan supaya dijadikan museum,” kata Staf Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa yang bertugas di Museum dan Perpustakaan, Agus Purwanto saat ditemui beberapa waktu lalu.
Pakaian yang pernah dipakai Nyi Hajar Dewantara dan sejumlah koleksu Museum DKG. Medcom.id/ Ahmad Mustaqim
Museum DKG diresmikan Nyi Hadjar Dewantara pada 2 Mei 1970 silam. Museum ini memiliki sekitar 3 ribu koleksi peninggalan KHD. Mulai dari perabot rumah tangga, naskah, foto-foto, koran, surat-surat, hingga majalah. Benda-benda tersebut masih terpajang rapi di sejumlah sudut museum.
Isi di dalam museum tersebut tak hanya sejarah masa hidup KHD. Terdapat pula sejarah berdiri dan berkembangnya Tamansiswa, sebuah perguruan yang KHD dirikan. Perguruan ini mulai jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sejarah itu juga terdapat di Perpustakaan yang di sebelah Museum DKG.
"Museum sesuatu yang sangat penting untuk pembelajaran, termasuk Museum DKG ini. Identitas suatu bangsa didapat dari budaya, salah satunya dari museum,” kata lelaki yang sudah menjadi penjaga Museum dan Perpustakaan DKG itu sejak 2003 silam.
Agus mengatakan Museum DKG menjadi minat khusus bagi sebagian kalangan masyarakat. Pasalnya pengunjung yang datang tak selalu banyak. Sebanyak yang berkunjung kelompok keluarga, komunitas, dan peneliti.
Seperti saat ini, ada sejumlah mahasiswa Universitas Sebelas Maret atau UNS Surakarta yang tengah penelitian di lokasi itu. Selain itu, ada sejumlah penelitian dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta yang bisa dilihat dari daftar buku tamu.
“Jumlah pengunjung memang tak besar di sini. Rata-rata pengunjung khusus, seperti keluarga, komunitas, dan peneliti,” kata lelaki 53 tahun ini.
Agus bisa memahami rendahnya kunjungan Museum DKG juga dirasakan sebagaimana museum di lokasi lain. Ia membandingkan bagaimana museum-museum di Eropa bisa lebih menarik jadi kunjungan.
Museum, kata dia, menjadi tempat menyenangkan dan mencari ilmu. Selain tempat sejarah, ada sarana lain di dalamnya, seperti resto, kafe, hingga souvenir.
“Indonesia belum banyak sepertinya. Padahal museum bisa jadi tempat wisata, ramah anak dan disabilitas. Sejauh ini yang berkunjung hanya kalau diwajibkan, seperti pelajar atau karyawan saat kunjungan kerja,” kata dia.
Ia begitu menyesalkan ketika bentrok antarkelompok pecah di Kota Yogyakarta pada Juni lalu. Museum DKG salah satu yang terdampak karena menyebabkan sejumlah koleksi rusak. Padahal, mesti kelompok atau orang-orang yang merusak itu mengetahui karena ada papan keterangan nama tempat tersebut.
Kalau toh sudah tahu, menurut dia, kemungkinan masih ada masyarakat yang belum mengetahui apa itu Museum DKG. Padahal saat ini teknologi bisa menjadi tempat akses informasi, termasuk museum bersejarah itu.
“Seharusnya kan generasi sekarang kritis. Teknologi sudah full. Artinya kita belum sepenuhnya memahami apa dan pentingnya suatu lokasi, dengan bukti kerusakannya,” bebernya.
Tamansiswa dan Sekolah Liar
Museum DKG menjadi saksi KHD menjadi pemberontak. KHD rela meninggalkan lingkungan keluarganya di lingkungan bangsawan. Singkat cerita, KHD mendirikan Perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Ia merasa perguruan itu penting untuk mendidik masyarakat yang didiskriminasi pemerintah Hindia Belanda dengan tidak mendapat pendidikan.
Perguruan Tamansiswa ini ada di hampir semua jenjang. Mulai dari Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), Taman Karya (SMK), dan Taman Sarjana (universitas). Mengutip historia.id dalam artikel berjudul ‘Ki Hadjar dan Sekolah Liar’, lembaga pendidikan ini kemudian dianggap sekolah liar atau sekolah partikelir (swasta) yang diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Museum DKG menyajikan sejumlah potongan kisah perguruan Tamansiswa di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta sebagai pusatnya. Selain Yogyakarta, dalam situs tamansiswapusat.com mencatat perguruan Tamansiswa juga tersebar di Palembang, Makassar, Jakarta, Kudus, Kebumen, Mojokerto, Blitar, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setelah Indonesia merdeka, berbagai lembaga di bawah naungan Tamansiswa tersebut masih eksis hingga kini. Agus menyebut, ajaran Tamansiswa yang dikonsepkan KHD masih relevan diterapkan. Sejumlah persoalan anak-anak dan remaja seperti sudah ada dalam pemikiran KHD saat ini hingga beberapa masa setelah dirinya tiada.
“Sejumlah negara ada yang menggunakan sistem pendidikan Ki Hadjar. Masyarakat saatnya kembali pada Ki Hadjar dan konsep pendidikannya,” ungkapnya.
Yogyakarta: Sebuah bangunan di Jalan Tamansiswa Nomor 31 Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta tampak sepi. Hingar bingar kendaraan di Jalan Tamansiswa tak otomatis membuat kompleks bangunan itu ramai.
Bangunan rumah di sudut utara kompleks itu merupakan Museum Dewantara Kirti Griya (DKG). Museum ini dulunya rumah mantan Menteri Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara (KHD). Bangunan ini berdiri satu kompleks dengan Perguruan Tamansiswa dan Kantor Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Mengutip
kebudayaan.jogjakota.go.id, bangunan museum yang berdiri di atas lahan 300 meter persegi itu merupakan saksi sejarah kehidupan lelaki dengan nama asli Soewardi Soerjaningrat. Total luas lahan untuk bangunan museum dan kompleks tersebut sekitar 2.7.20 meter persegi.
“Sebagai bangunan cagar budaya, bekas rumah Ki Hadjar ini juga dasarnya kuat. Mendapat amanah langsung dari pemilik dengan menyerahkan kepada yayasan Persatuan Tamansiswa agar bisa dimaksimalkan supaya dijadikan museum,” kata Staf Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa yang bertugas di Museum dan Perpustakaan, Agus Purwanto saat ditemui beberapa waktu lalu.
Pakaian yang pernah dipakai Nyi Hajar Dewantara dan sejumlah koleksu Museum DKG. Medcom.id/ Ahmad Mustaqim
Museum DKG diresmikan Nyi Hadjar Dewantara pada 2 Mei 1970 silam. Museum ini memiliki sekitar 3 ribu koleksi peninggalan KHD. Mulai dari perabot rumah tangga, naskah, foto-foto, koran, surat-surat, hingga majalah. Benda-benda tersebut masih terpajang rapi di sejumlah sudut museum.
Isi di dalam museum tersebut tak hanya sejarah masa hidup KHD. Terdapat pula sejarah berdiri dan berkembangnya Tamansiswa, sebuah perguruan yang KHD dirikan. Perguruan ini mulai jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sejarah itu juga terdapat di Perpustakaan yang di sebelah Museum DKG.
"Museum sesuatu yang sangat penting untuk pembelajaran, termasuk Museum DKG ini. Identitas suatu bangsa didapat dari budaya, salah satunya dari museum,” kata lelaki yang sudah menjadi penjaga Museum dan Perpustakaan DKG itu sejak 2003 silam.
Agus mengatakan Museum DKG menjadi minat khusus bagi sebagian kalangan masyarakat. Pasalnya pengunjung yang datang tak selalu banyak. Sebanyak yang berkunjung kelompok keluarga, komunitas, dan peneliti.
Seperti saat ini, ada sejumlah mahasiswa Universitas Sebelas Maret atau UNS Surakarta yang tengah penelitian di lokasi itu. Selain itu, ada sejumlah penelitian dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta yang bisa dilihat dari daftar buku tamu.
“Jumlah pengunjung memang tak besar di sini. Rata-rata pengunjung khusus, seperti keluarga, komunitas, dan peneliti,” kata lelaki 53 tahun ini.
Agus bisa memahami rendahnya kunjungan Museum DKG juga dirasakan sebagaimana museum di lokasi lain. Ia membandingkan bagaimana museum-museum di Eropa bisa lebih menarik jadi kunjungan.
Museum, kata dia, menjadi tempat menyenangkan dan mencari ilmu. Selain tempat sejarah, ada sarana lain di dalamnya, seperti resto, kafe, hingga souvenir.
“Indonesia belum banyak sepertinya. Padahal museum bisa jadi tempat wisata, ramah anak dan disabilitas. Sejauh ini yang berkunjung hanya kalau diwajibkan, seperti pelajar atau karyawan saat kunjungan kerja,” kata dia.
Ia begitu menyesalkan ketika bentrok antarkelompok pecah di Kota Yogyakarta pada Juni lalu. Museum DKG salah satu yang terdampak karena menyebabkan sejumlah koleksi rusak. Padahal, mesti kelompok atau orang-orang yang merusak itu mengetahui karena ada papan keterangan nama tempat tersebut.
Kalau toh sudah tahu, menurut dia, kemungkinan masih ada masyarakat yang belum mengetahui apa itu Museum DKG. Padahal saat ini teknologi bisa menjadi tempat akses informasi, termasuk museum bersejarah itu.
“Seharusnya kan generasi sekarang kritis. Teknologi sudah full. Artinya kita belum sepenuhnya memahami apa dan pentingnya suatu lokasi, dengan bukti kerusakannya,” bebernya.
Tamansiswa dan Sekolah Liar
Museum DKG menjadi saksi KHD menjadi pemberontak. KHD rela meninggalkan lingkungan keluarganya di lingkungan bangsawan. Singkat cerita, KHD mendirikan Perguruan Tamansiswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Ia merasa perguruan itu penting untuk mendidik masyarakat yang didiskriminasi pemerintah Hindia Belanda dengan tidak mendapat pendidikan.
Perguruan Tamansiswa ini ada di hampir semua jenjang. Mulai dari Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), Taman Karya (SMK), dan Taman Sarjana (universitas). Mengutip historia.id dalam artikel berjudul ‘Ki Hadjar dan Sekolah Liar’, lembaga pendidikan ini kemudian dianggap sekolah liar atau sekolah partikelir (swasta) yang diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Museum DKG menyajikan sejumlah potongan kisah perguruan Tamansiswa di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta sebagai pusatnya. Selain Yogyakarta, dalam situs tamansiswapusat.com mencatat perguruan Tamansiswa juga tersebar di Palembang, Makassar, Jakarta, Kudus, Kebumen, Mojokerto, Blitar, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setelah Indonesia merdeka, berbagai lembaga di bawah naungan Tamansiswa tersebut masih eksis hingga kini. Agus menyebut, ajaran Tamansiswa yang dikonsepkan KHD masih relevan diterapkan. Sejumlah persoalan anak-anak dan remaja seperti sudah ada dalam pemikiran KHD saat ini hingga beberapa masa setelah dirinya tiada.
“Sejumlah negara ada yang menggunakan sistem pendidikan Ki Hadjar. Masyarakat saatnya kembali pada Ki Hadjar dan konsep pendidikannya,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)