Kulon Progo: Lantunan bunyi bacaan ayat Al-Qu'ran akan muncul dari Masjid Al-Ghifari di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Para santri akan merapalkan bacaan ayat al-Qur'an setelah kegiatan salat tarawih selesai ditunaikan para jemaah.
Sandiman Nur Hadi Widodo, menjadi satu di antara puluhan yang ikut menunaikan berbagai amalan pada bulan Ramadan. Di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ghifari itulah jalan Sandiman menuju pertaubatan terus dilakukan.
Pria berusia 58 tahun itu bukan jebolan ponpes sebagaimana apa yang dia lakukan di sana. Sandiman memiliki jalan kelam kehidupan sebelum akhirnya sadar dan menuju pertaubatan.
"Saya dulu judi, merampok, dan banyak lagi, termasuk main perempuan," kata Sandiman saat ditemui Medcom.id.
Baca: Kemenag Solo Dukung Gibran Larang Salat Id di Lapangan
Sandiman sempat menjalani kelamnya kehidupan selama puluhan tahun sejak masa muda. Merampok emas merupakan salah satu tindakan spesialis yang dulu kerap dia lakukan karena aksinya jarang gagal.
Namun Sandiman dan komplotannya terhenti di salah satu toko emas di Kota Yogyakarta pada medio 1995. Rencana aksinya terbaca dan ia dijebloskan ke sel.
Sebelum ditahan Sandiman sempat buron hingga ke Pulau Sumatra. Ketika itu, aparat mencokok Sandiman di kawasan Riau.
"Dulu divonis empat tahun (pidana), ditahan di (Lembaga Pemasyarakatan Lelas IIA) Wirogunan. Dapat remisi, 1998 bisa bebas," ungkap lelaki kelahiran Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo.
Mulai dari Balik Jeruji
Masa muda bapak dua anak dan empat cucu itu dihabiskan menjadi perampok. Saat usianya memasuki 32 tahun, Sandiman harus menjalani kehidupan di tahanan. Di balik jeruji besi, Sandiman mulai mendalami agama Islam dan mengenal salat hingga membaca Al-Qur'an.
"Dulu enggak bisa salat, ngaji. Di sana (tahanan) belajar, ada ustaznya," ungkap Sandiman.
Kebiasaannya salat dan mengaji membuatnya menjadi sosok relegius. Lepas dari penjara, Sandiman berkomitmen menjadi orang yang baik dan berguna untuk sesama.
Sandiman langsung balik kampung setelah bebas. Ia lantas mengajak beberapa anak untuk belajar mengaji dan salat. Saat itu anak-anak di kampungnya jarang salat lima waktu, apalagi mengaji.
Seiring berjalannya waktu, Sandiman bisa membangun masjid sekaligus Ponpes sejak 1999. Masjid dan ponpes tersebut bernama Al-Ghifari. Ia menggunakan lahan warisan orang tuanya seluas 2.400 meter untuk itu.
"Tanah warisan bapak sebenarnya buat saya dan saudara, ada kakak dan adik. Tapi kami sepakat mewakafkannya untuk membangun pondok pesantren," bebernya.
Ponpes Al-Ghifari tak hanya mengajarkan agama. Di sana juga menyediakan sekolah setingkat SD hingga SMA dengan konsep semacam islam terpadu. Sampai saat ini total ada 87 santri berasal dari Yogyakarta dan juga Papua hingga Sumatra.
Santri diajarkan berwirausaha, bercocok tanam, sampai beternak
Sandiman mengatakan ilmu dalam sekolah formal akan lebih lengkap bila disertai keterampilan. Ia menilai anak-anak yang belajar di sana akan memiliki bekal dengan sejumlah pengalaman berwirausaha.
Agustiawati merupakan satu dari puluhan santri yang belajar di Ponpes Al-Ghifari. Ia mengatakan betah belajar agama dan ilmu lain di ponpes itu.
"Santri di sini juga dibantu kalau tidak punya uang. Ada juga yang dikasih baju gratis," kata santri asal Kecamatan Lendah, Kulon Progo ini.
Kulon Progo: Lantunan bunyi bacaan ayat Al-Qu'ran akan muncul dari Masjid Al-Ghifari di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Para santri akan merapalkan bacaan ayat al-Qur'an setelah kegiatan salat tarawih selesai ditunaikan para jemaah.
Sandiman Nur Hadi Widodo, menjadi satu di antara puluhan yang ikut menunaikan berbagai amalan pada bulan Ramadan. Di
Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ghifari itulah jalan Sandiman menuju pertaubatan terus dilakukan.
Pria berusia 58 tahun itu bukan jebolan ponpes sebagaimana apa yang dia lakukan di sana. Sandiman memiliki jalan kelam kehidupan sebelum akhirnya sadar dan menuju pertaubatan.
"Saya dulu judi, merampok, dan banyak lagi, termasuk main perempuan," kata Sandiman saat ditemui
Medcom.id.
Baca:
Kemenag Solo Dukung Gibran Larang Salat Id di Lapangan
Sandiman sempat menjalani kelamnya kehidupan selama puluhan tahun sejak masa muda. Merampok emas merupakan salah satu tindakan spesialis yang dulu kerap dia lakukan karena aksinya jarang gagal.
Namun Sandiman dan komplotannya terhenti di salah satu toko emas di Kota Yogyakarta pada medio 1995. Rencana aksinya terbaca dan ia dijebloskan ke sel.
Sebelum ditahan Sandiman sempat buron hingga ke Pulau Sumatra. Ketika itu, aparat mencokok Sandiman di kawasan Riau.
"Dulu divonis empat tahun (pidana), ditahan di (Lembaga Pemasyarakatan Lelas IIA) Wirogunan. Dapat remisi, 1998 bisa bebas," ungkap lelaki kelahiran Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo.
Mulai dari Balik Jeruji
Masa muda bapak dua anak dan empat cucu itu dihabiskan menjadi perampok. Saat usianya memasuki 32 tahun, Sandiman harus menjalani kehidupan di tahanan. Di balik jeruji besi, Sandiman mulai mendalami agama Islam dan mengenal salat hingga membaca Al-Qur'an.
"Dulu enggak bisa salat, ngaji. Di sana (tahanan) belajar, ada ustaznya," ungkap Sandiman.
Kebiasaannya salat dan mengaji membuatnya menjadi sosok relegius. Lepas dari penjara, Sandiman berkomitmen menjadi orang yang baik dan berguna untuk sesama.
Sandiman langsung balik kampung setelah bebas. Ia lantas mengajak beberapa anak untuk belajar mengaji dan salat. Saat itu anak-anak di kampungnya jarang salat lima waktu, apalagi mengaji.
Seiring berjalannya waktu, Sandiman bisa membangun masjid sekaligus Ponpes sejak 1999. Masjid dan ponpes tersebut bernama Al-Ghifari. Ia menggunakan lahan warisan orang tuanya seluas 2.400 meter untuk itu.
"Tanah warisan bapak sebenarnya buat saya dan saudara, ada kakak dan adik. Tapi kami sepakat mewakafkannya untuk membangun pondok pesantren," bebernya.
Ponpes Al-Ghifari tak hanya mengajarkan agama. Di sana juga menyediakan sekolah setingkat SD hingga SMA dengan konsep semacam islam terpadu. Sampai saat ini total ada 87 santri berasal dari Yogyakarta dan juga Papua hingga Sumatra.
Santri diajarkan berwirausaha, bercocok tanam, sampai beternak
Sandiman mengatakan ilmu dalam sekolah formal akan lebih lengkap bila disertai keterampilan. Ia menilai anak-anak yang belajar di sana akan memiliki bekal dengan sejumlah pengalaman berwirausaha.
Agustiawati merupakan satu dari puluhan santri yang belajar di Ponpes Al-Ghifari. Ia mengatakan betah belajar agama dan ilmu lain di ponpes itu.
"Santri di sini juga dibantu kalau tidak punya uang. Ada juga yang dikasih baju gratis," kata santri asal Kecamatan Lendah, Kulon Progo ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)