Depok: Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, melihat belum ada kejelasan dari kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP), yang direncanakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan diberlakukan di kota penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang.
Sekretaris Daerah Kota Depok Hardiono mengatakan, ERP masih sebatas kajian belum sampai tahap implementasi atau penerapan. Sehingga, belum bisa dinyatakan sebuah kebijakan.
"Saya sudah berkoordinasi dengan Kadishub (Depok) dan beliau mengatakan bahwa itu baru berupa kajian belum sampai ke penerapan. Jadi belum bisa dikatakan sebuah kebijakan, karena masih banyak kendala yang harus dikaji," ucap Hardiono, Kamis, 21 November 2019.
Selain itu, menurut Hardiono ada banyak variabel atau fokus dari aturan ERP. Sebab apabila akan diterapkan aturan mengenai jalan berbayar itu akan menjadi kebijakan publik.
"Harus ada kajian yang matang, sebelum menjadi kebijakan," bebernya.
Alih-alih manut aturan BPTJ, Hardiono mengaku akan melakukan kajian mandiri secara akademis. Sebab, ERP akan diterapkan di jalan-jalan yang vital di Kota Depok, seperti Jalan Margonda Raya.
"Karena Pemkot yang terdampak, nah dampaknya itu merugikan atau menguntungkan. Kita belum tahu itu ditambah lagi nanti komen masyarakat (sebagai pengguna jalan) seperti apa," katanya.
Saat ditanya lebih jauh mengenai aturan berbayar tersebut, Hardiono menjelaskan belum mengetahui secara pasti.
"Saya belum lihat kajiannya seperti apa minimalnya sudah dibaca baru saya komentar (lebih jauh)," jelasnya.
Sementara itu, menyangkut kebijakan ERP tersebut Kepala BPTJ Bambang Prihartono meminta masyarakat tidak perlu resah karena pada saatnya nanti sebelum diimplementasikan pasti akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba.
Kebijakan tersebut, kata dia, justru berpihak pada kepentingan masyarakat dengan prinsip berkeadilan. Prinsipnya, bagi pengguna kendaran bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP. Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet, akan semakin besar biaya yang dikenakan.
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” terangnya.
Bambang memastikan ERP memegang prinsip berkeadilan. Masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi namun dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” pungkasnya.
Data Bappenas 2017 menyebutkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta saja sekitar 65,7 triliun rupiah per tahun, angka tersebut tentu akan berkembang lebih besar untuk lingkup Jabodetabek. Selain itu polusi udara karena kemacetan lalu-lintas juga menyebabkan kualitas udara di langit Jakarta dan kota-kota di sekitarnya sering memburuk pada level yang membahayakan kesehatan dan menempati rangking atas terburuk di dunia.
Depok: Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, melihat belum ada kejelasan dari kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP), yang direncanakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) akan diberlakukan di kota penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang.
Sekretaris Daerah Kota Depok Hardiono mengatakan, ERP masih sebatas kajian belum sampai tahap implementasi atau penerapan. Sehingga, belum bisa dinyatakan sebuah kebijakan.
"Saya sudah berkoordinasi dengan Kadishub (Depok) dan beliau mengatakan bahwa itu baru berupa kajian belum sampai ke penerapan. Jadi belum bisa dikatakan sebuah kebijakan, karena masih banyak kendala yang harus dikaji," ucap Hardiono, Kamis, 21 November 2019.
Selain itu, menurut Hardiono ada banyak variabel atau fokus dari aturan ERP. Sebab apabila akan diterapkan aturan mengenai jalan berbayar itu akan menjadi kebijakan publik.
"Harus ada kajian yang matang, sebelum menjadi kebijakan," bebernya.
Alih-alih manut aturan BPTJ, Hardiono mengaku akan melakukan kajian mandiri secara akademis. Sebab, ERP akan diterapkan di jalan-jalan yang vital di Kota Depok, seperti Jalan Margonda Raya.
"Karena Pemkot yang terdampak, nah dampaknya itu merugikan atau menguntungkan. Kita belum tahu itu ditambah lagi nanti komen masyarakat (sebagai pengguna jalan) seperti apa," katanya.
Saat ditanya lebih jauh mengenai aturan berbayar tersebut, Hardiono menjelaskan belum mengetahui secara pasti.
"Saya belum lihat kajiannya seperti apa minimalnya sudah dibaca baru saya komentar (lebih jauh)," jelasnya.
Sementara itu, menyangkut kebijakan ERP tersebut Kepala BPTJ Bambang Prihartono meminta masyarakat tidak perlu resah karena pada saatnya nanti sebelum diimplementasikan pasti akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba.
Kebijakan tersebut, kata dia, justru berpihak pada kepentingan masyarakat dengan prinsip berkeadilan. Prinsipnya, bagi pengguna kendaran bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP. Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet, akan semakin besar biaya yang dikenakan.
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” terangnya.
Bambang memastikan ERP memegang prinsip berkeadilan. Masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi namun dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” pungkasnya.
Data Bappenas 2017 menyebutkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta saja sekitar 65,7 triliun rupiah per tahun, angka tersebut tentu akan berkembang lebih besar untuk lingkup Jabodetabek. Selain itu polusi udara karena kemacetan lalu-lintas juga menyebabkan kualitas udara di langit Jakarta dan kota-kota di sekitarnya sering memburuk pada level yang membahayakan kesehatan dan menempati rangking atas terburuk di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)