"Kami mengundang beberapa pihak antara lain Kadis Pariwisata Kabupaten Badung, Kadis Pariwisata Provinsi Bali, Satpol PP Kabupaten Badung, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Camat Kuta Utara, Perbekel Canggu, Bendesa Adat Canggu, Perbekel Tibuneneng, Bendesa Adat Berawa. Mereka ini adalah para pihak yang kami undang untuk menyamakan persepsi tentang keluhan polusi suara seperti yang diberitakan selama ini," kata Dewa di Denpasar, Rabu, 14 Desember 2022.
Kata Dewa, diduga kuat para pelaku pariwisata ini belum paham soal syarat desibel suara ketika malam hari. Ada pun materi yang akan disosialisasi adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.
| Baca: Viral Polusi Suara Canggu, Sandiaga Ingatkan Etika Berwisata |
Di mana pasal 3 dikatakan bahwa perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu
udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.
PP Nomor 41 Tahun 1999 ini secara operasional termaktub dalam Pergub Bali Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup. Dewa mengakui desibel suara dari beberapa tempat hiburan malam di wilayah Canggu dan sekitarnya melebihi ambang batas atas.
Syaratnya di atas jam 22.00 Wita, desibel suara maksimal 70. Sementara faktanya sampai 80 desibel. Seharusnya semakin malam suara harus semakin kecil. Namun, pihaknya tidak serta-merta menindak, apalagi menutup, menyeegel, mencabut izin seperti yang dituntut dalam petisi.
"Karena kewenangan itu ada di provinsi dan pengusaha belum tahu maka saat inilah kami sosialisasi, kita beri edukasi dan pembinaan. Saya optimis mereka pasti taat azas," ujarnya.
Ia juga mengakui sudah membaca berbagai berita soal petisi polusi suara. Ia menegaskan tuntutan petisi tersebut terlalu berlebihan. "Masa pemerintah diminta bertindak tegas, menutup, cabut izin dan sebagainya. Tidak segampang itu. Semua ada ada tahapan dan prosedurnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan petisi itu berlebihan," ujarnya.
Kata Dewa, seolah petisi itu menempatkan Bali dalam situasi yang gawat sekali, seolah-olah ancaman Bali akan hancur, budayanya akan rusak karena kebisingan suara. Ia juga sanksi bahwa suara musik menggetarkan kaca rumah tinggal.
"Ini juga berlebihan. Setelah ditelusuri, tidak ada permukiman penduduk di seputar tempat hiburan malam di Canggu. Dengan kata lain, tidak ada klub malam yang berada di tengah
permukiman penduduk," jelasnya.
Namun Darmadi memahami, selama dua tahun lebih Bali dan Canggu itu sepi. Penduduk Canggu dan sekitarnya sudah terbiasa nyaman. Padahal sudah sekitar 15 tahun lalu karakter destinasi wisata Canggu memang identik dengan tempat hiburan malam. Setelah dua tahun sepi, kemudian bangkit kembali, mulai ramai lagi, maka orang terganggu.
"Kita tidak mau gegabah. Kita harus ingat. Bali ini sebentar lagi akan ada KTT G-20. Banyak event besar terjadi. Pariwisata mulai bangkit," ujarnya.
Hasil rapat koordinasi tersebut akhirnya disepakati jika musik yang outdoor atau beach club ditutup pukul 01.00 Wita. Namun yang ditutup hanya suara musiknya saja. Sementara aktivitas lainnya dipersilahkan dilanjutkan tanpa suara musik sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Hal ini juga dijelaskan oleh anggota Kelompok Ahli Bidang Pembangunan Provinsi Bali Cipto Aji Gunawan. Menurutnya, selama ini memang belum diatur soal aturan musik outdoor, sehingga terjadi kekosongan aturan untuk bisnis hiburan malam yang outdoor.
"Pariwisata itu apa pun produknya harus memihak kepada masyarakat. Jika masyarakat Canggu dan sekitarnya merasa tidak terganggu maka sesungguhnya tidak menjadi masalah. Kalau pun merasa terganggu maka kita harus cek di mana batas toleransinya, di mana dampaknya. Tetapi kalau masyarakat yang ada menikmati maka sejujurnya tidak menjadi masalah," ujarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id