Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Medcom.id/Ahmad Mustaqim
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Medcom.id/Ahmad Mustaqim

Upah Rendah dan Sempitnya Lahan Pertanian Penyebab Kemiskinan di Yogyakarta

Media Indonesia.com • 01 Februari 2023 14:58
Yogyakarta: Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyematkan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi termiskin se-Jawa. Peneliti Riset Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menilai data BPS menjadi rujukan pemerintah.
 
Menanggapi hal itu, Nailul Huda menyebut, salah satu yang membentuk kemiskinan di Jogja adalah upah minimum yang sangat rendah. Bahkan, ia pun menambah kalimat dalam puisi Joko Pinurbo yang sering digunakan untuk menggambarkan Yogyakarta.
 
"Yogya bukan hanya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, tetapi juga dari upah murah yang terlalu rendah," ujarnya di Yogyakarta, Rabu, 1 Februari 2023.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Saat inflasi melambung tinggi, sedangkan peningkatan upah tidak terlalu signifikan, mereka yang miskin akan semakin miskin. Sehingga semakin sulit memperpendek gini ratio. Orang-orang yang mengatakan hidup di Jogja murah memiliki konsekuensi anggapan normal tentang pendapatan juga terlalu rendah sehingga menciptakan kemiskinan.
 
Baca: 923 Desa di Jateng Masuk Kategori Zona Miskin

"Kritik saya, (pemerintah DIY) jangan normalisasi upah murah. Ketika upah murah sudah dianggap normal, itu akan mengakibatkan kemiskinan abadi," kata dia.
 
Oleh sebab itu, ia pun menyebut, reformulasi upah buruh menjadi salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan. Dengan reformulasi upah buruh, gaji buruh bisa meningkat signifikan sehingga bisa meningkatkan daya beli dan taraf hidup masyarakat DIY bisa meningkat sehingga bisa di atas garis kemiskinan.
 
Upah minimum provinsi (UMP) DIY 2023 ditetapkan sebesar Rp 1.981.782,39, naik 7,65 persen dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 1.840.915,53. UMP DIY 2023 tersebut hanya lebih tinggi dari UMP Jawa Tengah sebesar Rp 1.958.169.
 
Selain upah buruh, ia juga mengatakan, penguatan modal untuk petani sangat dibutuhkan karena petani-petani di DIY rata-rata memiliki tanah pertanian yang kecil, sekitar 0,2 sampai 0,5 hektar.
 
Misalnya, dengan luas lahan yang kecil, petani hanya menghasilkan padi senilai Rp8 juta dengan biaya produksi bisa mencapai Rp6 juta, termasuk untuk upah buruh tani. Artinya, petani dengan lahan kecil hanya bisa mendapatkan hasil bersih Rp2 juta.
 
Jumlah itu tentu sangat kecil karena masa produksi sampai tiga bulan. Jika dibagi tiga bulan, petani tidak sampai mengantongi Rp1 juta perbulan. Dengan lahan pertanian yang kecil, penghasilan petani juga kecil, terlebih buruh tani. Padahal, di sisi lain, masyarakat di DIY masih banyak yang bergantung pada sektor pertanian.
 
"Ketika program-program dari pemerintah untuk petani bermasalah, seperti subsidi pupuk, subsidi benih, dan lain-lain. Itu akan menyebabkan semakin menurunnya pendapatan bagi petani," kata dia.
 
Oleh sebab itu, subsidi-subsidi, yang bertujuan untuk membantu faktor produksi petani, harus diperbaiki. Sementara itu, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Tadjuddin Noer Effendi menilai, penetapan penduduk miskin oleh BPS bermasalah.
 
"Katanya angka kemiskinan tinggi, namun pengeluarannya tertinggi di atas Jabar dan Jateng," terang dia.
 
BPS menetapkan kemiskinan di DIY adalah yang memiliki rata-rata pengeluaran di bawah Rp551.342 per kapita per bulan. Sedangkan di Jawa Barat sebesar Rp480.350 per kapita per bulan dan Jawa Tengah sebesar Rp464.879 per kapita per bulan.
 
Di sisi lain, dari angka harapan hidup, DIY menempati peringkat pertama di Indonesia dengan usia rata-rata penduduk 75 tahun dan nilai indeks pembangunan manusia berada di posisi kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Persentase lansianya di DIY juga tertinggi 4,2 persen dari jumlah penduduk DIY.
 
"Dari data IPM kok bisa termiskin, ada yang perlu kita koreksi," ungkap dia
 
Meski angka pengeluaran setiap keluarga masih menjadi tolak ukur internasional untuk menentukan angka kemiskinan, metodologi penentuan garis kemiskinan di DIY oleh BPS menurutnya perlu diperdebatkan.
 
Pasalnya, seringkali kemiskinan ditetapkan dengan membandingkan nilai konsumsi seseorang dibanding dengan orang lain. Tadjuddin pun menyarankan pemerintah untuk memikirkan hal yang bersifat penanganan kemiskinan.
 
"Terlalu banyak orang intervensi dan hal itu cukup sulit diawasi dan barangkali kemiskinan itu juga menjadi komoditas," kata dia.
 
Peneliti Pusat Studi Kependudukan UGM, Bambang Hudayana menyebut, penanganan kemiskinan DIY membutuhkan program-program berkelanjutan yang berbasis pada partisipasi dan inovasi desa, serta melibatkan kelompok-kelompok swadaya dalam masyarakat.
 
Dari hasil penelitiannya, orang miskin umumnya sulit keluar dari belenggu kemiskinan karena mengalami keterbatasan pada aset tanah, modal material, modal sosial, dan life skill. Ia menambahkan, program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai masih belum tepat sasaran karena masih mengedepankan program pro poor. Padahal, program pro job yang bersifat partisipatoris seharusnya perlu diutamakan.
 
"Projob secara partisipatoris diarahkan untuk memperkuat ekonomi desa dan membuka lapangan kerja," paparnya.
 
Pemerintah juga perlu mendorong penguatan usaha tani. Petani sebaiknya memiliki akses pada tanah kas desa, sultan grounds, dan peran lembaga semacam perhutani dan koperasi diperkuat.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
 
(WHS)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif