Medcom.id/Ahmad Mustaqim
Medcom.id/Ahmad Mustaqim

Kelompok Minoritas Perlu Akses Informasi Tentang Produk-Produk Hemat Energi

Ahmad Mustaqim • 29 Juni 2024 23:02
Yogyakarta: Upaya pemerintah menerapkan kebijakan hemat energi dalam pemakaian alat-alat elektronik perlu disebarluaskan ke berbagai masyarakat. Sebab, sepanjang penulis mewawancarai sejumlah warga, banyak yang tidak mengetahui bahwa ada informasi hemat energi pada setiap peralatan elektronik rumah tangga yang mereka pakai setiap hari.
 
Lebih jauh pada kelompok masyarakat difabel yang merupakan salah satu bagian masyarakat minoritas dengan tambahan keterbatasan pada akses informasi. Pasangan Untung Supriyadi, 47, dan Irfana Nesti, warga Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan suami-istri yang sama-sama difabel. Untung merupakan difabel dengan hanya tangan kiri yang berfungsi maksimal. Adapun Nesti harus ditopang kursi roda untuk mobilitas, khususnya di luar rumah.
 
Pasangan difabel ini memiliki peralatan elektronik hemat energi. Peralatan elektronik yang mereka miliki di antaranya kulkas, penanak nasi, dispenser, dan kipas angin. Akan tetapi, mereka membeli alat-alat elektronik berstiker Label Tanda Hemat Energi (LTHE) sesungguhnya bukan dari hasil program sosialisasi hemat energi dari pemerintah. 

Pemerintah memang telah memiliki regulasi tentang LTHE yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 14 tahun 2021 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) untuk Peralatan Pemanfaat Energi. Peraturan Menteri tersebut mewajibkan produsen peralatan elektronik mencantumkan tanda SKEM atau tanda LTHE. 
 
Kemudian, ada pula Keputusan Menteri ESDM Nomor 135.K.EK.07/DJE/2022 tentang SKEM dan LTHE untuk peralatan pemanfaat energi lampu light-emitting diode (LED). Selain itu, juga diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang diterbitkan pada 16 Juni 2023. 
 
Irfana mengatakan, perilaku hemat energi yang dia terapkan sehari-hari diperoleh dari interaksi sosial dan informasi media sosial. Irfana mengatakan belum pernah sama sekali mendapat sosialisasi penggunaan peralatan elektronik hemat energi atau yang sudah berstiker LTHE dari pemerintah. Ia mengatakan mencari informasi soal hal itu dari teman maupun media sosial.
 
Ia mengatakan pemerintah selayaknya tak hanya membuat kebijakan tanpa didistribusikan informasinya ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk kelompok difabel. Nesti menyatakan tak banyak penyandang difabel yang bisa mengakses informasi via gawai atau media sosial. 
 
“Kadang kalau beli di toko elektronik itu penjualnya mendahulukan yang murah dan kualitasnya belum tentu. Padahal kan maunya kita milih yang hemat energi atau hemat listrik,” ujar Irfana di kediamannya, 6 Juni lalu.
 
Sementara ini, warga Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Ajiwan Arief Hendradi pun mengakui bahwa ia memperoleh informasi tentang hidup hemat energi dan alat-alat elektronik yang ramah daya listrik dari media sosial. Selain media sosial, Ajiwan yang merupakan difabel low vision sensorik netra juga kadang bertanya atau berbincang dengan rekannya dalam persoalan hemat energi itu.
 
Bagi Ajiwan, pemilihan alat-alat elektronik didasarkan pada fungsi. Misalnya, pemakaian mesin cuci satu tabung jadi pilihannya  karena lebih praktis. Ajiwan mengaku ia dan istrinya  akan kerepotan apabila menggunakan mesin cuci dua tabung karena harus memindahkan pakaian saat hendak melakukan pengeringan.
 
“Kalau milih alat elektronik yang kaitannya dengan kemandirian, maksudnya biar (difabel) bisa beraktivitas mandiri,” ungkapnya.
 
Manajer administrasi dan kantor Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Nurwidiah Hening Handayani, mengatakan lembaganya belum pernah mendapat undangan atau ajakan untuk mendapat sosialisasi penggunaan alat elektronik hemat energi. SIGAB, kata dia, pernah diajak membuat solar cell untuk memanfaatkan energi matahari di kantor.
 
Padahal, menurut dia, informasi penggunaan alat-alat elektronik hemat energi itu penting diketahui masyarakat, khususnya kelompok masyarakat difabel. Hingga saat ini, Nurwidiah mengatakan belanja alat-alat elektronik di kantornya memang belum mempertimbangkan keberadaan stiker LTHE. Meskipun, ada berbagai peralatan elektronik yang sudah berstiker LTHE bintang dua, seperti kipas angin dan beberapa lampu.
 
Ia menyebut belanja peralatan elektronik lebih mempertimbangkan kesesuaian fungsi dan manfaat bagi anggota yang mayoritas difabel. Ia mengatakan tak ada aturan khusus yang mengatur anggota SIGAB harus membeli peralatan elektronik tertentu untuk kebutuhan kantor.
 
“Biasanya pembelian sesuai permintaan pemohon. Misal beli kipas, saya minta spesifikasinya apa, dengan detail demikian, saya setujui. Tidak melihat keuntungan dan kelebihannya apa. Setiap belanja ada pembahasan kecil lebih dulu,” tuturnya.
 
Menurut dia, dengan banyaknya alat elektronik hemat energi akan bisa menekan pengeluaran biaya pembayaran beban listrik. Meskipun, untuk ukuran beban biaya listrik kantor dipastikan berbeda dengan kelas rumah tangga. Saban bulan, Nurwidiah menyebut biaya pembayaran daya listrik SIGAB sebesar Rp1,6 juta untuk dua meteran.
 
Alat-alat elektronik yang dipakai di kantor SIGAB di antaranya 5 AC, sebuah kulkas, pompa air, dan sejumlah komputer. Ada sebanyak 36 staf yang bekerja di SIGAB dan sebagian menggunakan komputer kantor.
 
“Jadi biaya listriknya tidak lebih dari itu. Misalnya mepet pernah. Kalau sisa sering, paling untuk beberapa hari. Isi (token listrik) tanggal 5, ngisi lagi tanggal 8,” kata dia.  

Tak Ada Koordinasi

Koordinator Pengawasan Konservasi Energi, Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Endra Dedy Tamtama mengatakan regulasi Standar Kriteria Maksimum Energi (SKEM) tak langsung memandatkan pada pemerintah daerah dalam menyosialisasikan LTHE itu. Ia mengungkapkan pihaknya kerja sama dengan Kementerian Perdagangan yang bermitra dengan pemerintah daerah untuk menyosialisasikannya.
 
Menurut dia, penerapan hemat energi awalnya dimulai pada lampu kemudian berlanjut pada peralatan seperti kulkas, kipas angin, pendingin ruangan atau AC, dan penanak nasi. Dua produk elektronik lainnya adalah pendingin showcase, dan televisi. 
 
Tujuh jenis alat elektronik yang telah beredar di pasaran itu telah berstiker LTHE. Ia menyatakan pemerintah tengah berupaya meningkatkan kemampuan produsen alat-alat elektronik dari bintang satu dan dua ke yang lebih tinggi, yakni bintang tiga hingga lima. Meskipun, untuk produksi hingga bintang lima itu sulit.
 
“Konsumen di Indonesia mikirnya daya, kalau besar nggak kuat daya. Bagaimana dengan daya bisa memilih bintang terbanyak tanpa memberatkan konsumsi energinya,” ucapnya.
 
Sub Koordinator Direktorat Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Ratri Anggraeni Nurwini mengutarakan keberadaan alat-alat elektronik belum berstiker LTHE masih sangat memungkinkan karena kebijakan tersebut baru diberlakukan setahun terakhir. Menurut dia, yang bisa dilakukan yakni mengimbau masyarakat apabila membeli peralatan elektronik dengan mengecek keberadaan stiker LTHE tersebut.
 
“Tidak bisa menarget yang lalu-lalu. (Alat-alat elektronik produksi lama) boleh ada di pasaran. Setelah peraturan berlaku, wajib, produk tidak boleh lagi (tanpa LTHE),” ujarnya.
 
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, Syam Arjayanti mengatakan belum ada pembahasan maupun koordinasi dengan Kementerian Perdagangan perihal sosialisasi keharusan penjualan peralatan elektronik yang sudah berlabel LTHE. Persoalan itu ia menilai perlu ada kesepakatan lintas kementerian, dalam hal ini Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan.
 
“Ini lintas kementerian, contoh gas LPG 3 kilogram. Kalau terkait pedagang harus ini- itu belum ada,” katanya.   
 
Ia menilai hal penting yakni pemahaman masyarakat tentang perspektif hemat energi dari kaca mata penggunaan alat-alat elektronik. Menurut dia, pemahaman masyarakat yang baik akan diikuti dengan permintaan kepada para produsen peralatan elektronik.
 
“Kalau masyarakat belum memiliki kesadaran itu, apalah artinya stiker. Kalau masyarakat menyadari hemat energi penting, mereka secara otomatis mencari alat-alat yang hemat energi. Pedagang dengan permintaan banyak pasti punya effort menyediakan alat-alat hemat energi itu,” kata dia.
 
Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sri Wahyuni menegaskan masyarakat sebagai konsumen memiliki hak mendapat informasi. Ia mengatakan ciri-ciri alat elektronik hemat energi sudah simpel dikenali dengan melihat label bintang. Menurut dia, yang perlu pemerintah lakukan yakni memberikan penjelasan mudah bagi masyarakat agar mudah dipahami.
 
“Kita berhak lho, kita punya peran di situ. Kalau kita berani beraksi berarti kita membantu konsumen yang lain. Pemerintah tolong ini beri sanksi pelaku usaha yang tak menerapkan efisiensi energi,” katanya.
 
Ia menganggap sosialisasi ke kelompok-kelompok tertentu bisa menjadi jalur efektif memperluas penggunaan alat elektronik hemat energi. Sri menyatakan sosialisasi ke tingkat rukun tetangga (RT) bisa diteruskan menularkan informasi ke lingkungan sekitar.
 
“Di kelompok-kelompok ini akan memberi tahu ke tetangganya. Di RT, mereka punya motivator, kemudian mengubah perilaku tetangganya itu bisa diaplikasi ke tempat lain. Kelompok semula tak paham label, diedukasi makna label, bagaimana merawat, tunjukkan produknya ke mereka,” ungkapnya. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(WHS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan