Jakarta: UUD 1945 yang telah diamendemen beberapa kali dinilai telah jauh dari nilai-nilai dan asas Pancasila. Hal ini mengamini pernyataan Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Kaelan yang menyebut Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila.
"Sudah tidak ada lagi (UUD 1945) begitu dilakukan amendemen hingga beberapa kali. Karena telah merubah pasal-pasal krusial dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis," kata Praktisi Hukuk Agus Widjajanto, Rabu, 15 November 2023.
Menurut Agus, UUD 1945 telah kehilangan ruhnya sebagai negara yang berdasar Pancasila. Padahal, sebelum UUD 1945 diamendemen, Pancasila merupakan dasar negara dan falsafah hidup bangsa.
"Sejatinya terbentuknya negara ini diilhami pemerintahan desa zaman dulu," tutur pemerhati sejarah politik dan budaya tersebut.
Diungkapkan, dalam pemerintahan desa ada rembug desa. Di mana dalam musyawarah tertinggi desa itu dihadiri perwakilan dari tokoh agama, tokoh adat, sesepuh desa, tokoh pemuda. Dan tentunya kepala desa, carik atau sekretaris desa hingga hulu balang desa.
Dalam musyawarah itu, semua dalam posisi yang sama kedudukannya. Seluruh peserta rembug desa kemudian diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat dan seluruh masukan kemudian dibahas bersama untuk kemudian disimpulkan dan diambil keputusan. Proses pengambilan keputusan inilah hakekat sebenarnya dari permusyawaratan rakyat.
"Itulah sejatinya kedudukan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), di mana kedudukan MPR adalah lembaga tertinggi negara sesuai sila ke empat dalam Pancasila," jelas Agus Widjajanto.
Ia menambahkan Pancasila dan UUD 1945 adalah Dwi Tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya adakah soko guru yaitu pondasi dan tiang pancang utama dalam sebuah bangunan ketatanegaraan. Agus Widjajanto prihatin keduanya saat ini tidak lagi sinkron.
"Jangan dilihat kita tidak ada masalah, kita punya masalah besar karena menyangkut sistem, menyangkut soko guru terbentuknya negara yang sudah bergeser pada negara kekuasaan imperium liberal," sambung Agus.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, mengatakan Amendemen UUD 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Sebab setelah diteliti dengan seksama, ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amendemen tersebut.
"Setelah saya teliti, ini dari hasil penelitian, penelitian hukum normatif dan filosofis, jadi tidak berhenti normatif tapi filosofis, bahwa ternyata konstitusi amendemen 2002 itu sudah bukan lagi amendemen, karena yang diubah bukan satu pasal atau dua pasal, saya hitung hampir 97 persen. Masyaallah itu sudah bukan lagi amendemen, tetapi ganti. Jadi kita ini sudah tidak berdasarkan Pancasila," kata dia.
Prof Kaelan mencontohkan pasal yang mengatur tentang HAM hanya mencomot dari HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara HAM menurut UUD 1945 hasil amendemem tahun 2002 tidak lagi mencerminkan Pancasila.
"Karena HAM yang ada di dunia itu kan liberal, tidak memperhitungkan realisasi bahwa negara kita memandang HAM dengan nilai nilai luhur yang bertanggung jawab yang tentu juga berketuhanan," ucapnya.
Jakarta:
UUD 1945 yang telah diamendemen beberapa kali dinilai telah jauh dari nilai-nilai dan asas Pancasila. Hal ini mengamini pernyataan Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Kaelan yang menyebut Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila.
"Sudah tidak ada lagi (UUD 1945) begitu dilakukan amendemen hingga beberapa kali. Karena telah merubah pasal-pasal krusial dalam
UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis," kata Praktisi Hukuk Agus Widjajanto, Rabu, 15 November 2023.
Menurut Agus, UUD 1945 telah kehilangan ruhnya sebagai negara yang berdasar Pancasila. Padahal, sebelum UUD 1945 diamendemen,
Pancasila merupakan dasar negara dan falsafah hidup bangsa.
"Sejatinya terbentuknya negara ini diilhami pemerintahan desa zaman dulu," tutur pemerhati sejarah politik dan budaya tersebut.
Diungkapkan, dalam pemerintahan desa ada rembug desa. Di mana dalam musyawarah tertinggi desa itu dihadiri perwakilan dari tokoh agama, tokoh adat, sesepuh desa, tokoh pemuda. Dan tentunya kepala desa, carik atau sekretaris desa hingga hulu balang desa.
Dalam musyawarah itu, semua dalam posisi yang sama kedudukannya. Seluruh peserta rembug desa kemudian diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat dan seluruh masukan kemudian dibahas bersama untuk kemudian disimpulkan dan diambil keputusan. Proses pengambilan keputusan inilah hakekat sebenarnya dari permusyawaratan rakyat.
"Itulah sejatinya kedudukan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), di mana kedudukan MPR adalah lembaga tertinggi negara sesuai sila ke empat dalam Pancasila," jelas Agus Widjajanto.
Ia menambahkan Pancasila dan UUD 1945 adalah Dwi Tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya adakah soko guru yaitu pondasi dan tiang pancang utama dalam sebuah bangunan ketatanegaraan. Agus Widjajanto prihatin keduanya saat ini tidak lagi sinkron.
"Jangan dilihat kita tidak ada masalah, kita punya masalah besar karena menyangkut sistem, menyangkut soko guru terbentuknya negara yang sudah bergeser pada negara kekuasaan imperium liberal," sambung Agus.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, mengatakan Amendemen UUD 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Sebab setelah diteliti dengan seksama, ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amendemen tersebut.
"Setelah saya teliti, ini dari hasil penelitian, penelitian hukum normatif dan filosofis, jadi tidak berhenti normatif tapi filosofis, bahwa ternyata konstitusi amendemen 2002 itu sudah bukan lagi amendemen, karena yang diubah bukan satu pasal atau dua pasal, saya hitung hampir 97 persen. Masyaallah itu sudah bukan lagi amendemen, tetapi ganti. Jadi kita ini sudah tidak berdasarkan Pancasila," kata dia.
Prof Kaelan mencontohkan pasal yang mengatur tentang HAM hanya mencomot dari HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara HAM menurut UUD 1945 hasil amendemem tahun 2002 tidak lagi mencerminkan Pancasila.
"Karena HAM yang ada di dunia itu kan liberal, tidak memperhitungkan realisasi bahwa negara kita memandang HAM dengan nilai nilai luhur yang bertanggung jawab yang tentu juga berketuhanan," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)