Surabaya: Ombudsman mengimbau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengevaluasi sejumlah regulasi yang mengatur jaringan utilitas. Hal itu penting mengingat Surabaya menjadi salah satu kota rujukan (role model) penerapan smart city.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan, ada tiga daerah yang menjadi role model penerapan smart city, yakni Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, DKI Jakarta, dan Kota Surabaya.
Namun, kata Hery, ada dua regulasi yang berpotensi menghambat
Surabaya menjadi smart city. Yakni, Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan.
“Pemko Surabaya harus merevisi regulasi itu karena belum menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga berpotensi terjadi malaadministrasi," kata Hery.
Dia menjelaskan, Pemkot Surabaya bisa merujuk Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dalam merancang aturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
"Pemerintah menetapkan kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan PDRD, termasuk dapat menetapkan tarif PDRD yang berlaku secara nasional," ujarnya.
Dicontohkannya dengan ketentuan tentang sewa seluruh dan/atau sebagian lahan di permukaan maupun di bawah permukaan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2020 tidak berlaku terhadap hal yang berkaitan dengan fasilitas publik. Tujuannya, fasilitas publik dapat dimanfaatkan secara optimal dengan biaya yang efisien.
"Pemko Surabaya perlu mengevaluasi regulasi tersebut melalui Dinas PU Bina Marga terkait kebijakan mahalnya tarif retribusi pengelolaan gorong-gorong untuk lintasan kabel optik telekomunikasi," ujarnya.
Hery mengingatkan, smart city diterapkan dengan mengintegrasikan teknologi, infratruktur, dan partisipasi masyarakat guna menciptakan kota yang lebih efektif, efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
"Smart city tidak hanya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan kota, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, seperti peningkatan pelayanan publik, penghematan sumber daya, dan perlindungan lingkungan. Oleh sebab itu, perlu didorong dalam penerapan smart city," katanya.
Untuk memaksimalkan potensi smart city, Hery berpandangan, diperlukan partisipasi aktif berbagai pihak. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator bisa menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan smart city dengan pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan memfasilitasi implementasi teknologi informasi dan komunikasi.
Anggota DPR Rahmat Muhajirin mengatakan, adanya temuan dua regulasi yang bertentangan dengan UU dan dapat menghambat pelayanan publik.
"Tidak boleh ada konsideran menimbang-mengingat yang merugikan masyarakat karena hal ini dapat memperlambat pelayanan publik," ujarnya.
Surabaya: Ombudsman mengimbau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengevaluasi sejumlah regulasi yang mengatur jaringan utilitas. Hal itu penting mengingat Surabaya menjadi salah satu kota rujukan (role model) penerapan smart city.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan, ada tiga daerah yang menjadi role model penerapan smart city, yakni Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, DKI Jakarta, dan Kota Surabaya.
Namun, kata Hery, ada dua regulasi yang berpotensi menghambat
Surabaya menjadi smart city. Yakni, Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan.
“Pemko Surabaya harus merevisi regulasi itu karena belum menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga berpotensi terjadi malaadministrasi," kata Hery.
Dia menjelaskan, Pemkot Surabaya bisa merujuk Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dalam merancang aturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
"Pemerintah menetapkan kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan PDRD, termasuk dapat menetapkan tarif PDRD yang berlaku secara nasional," ujarnya.
Dicontohkannya dengan ketentuan tentang sewa seluruh dan/atau sebagian lahan di permukaan maupun di bawah permukaan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2020 tidak berlaku terhadap hal yang berkaitan dengan fasilitas publik. Tujuannya, fasilitas publik dapat dimanfaatkan secara optimal dengan biaya yang efisien.
"Pemko Surabaya perlu mengevaluasi regulasi tersebut melalui Dinas PU Bina Marga terkait kebijakan mahalnya tarif retribusi pengelolaan gorong-gorong untuk lintasan kabel optik telekomunikasi," ujarnya.
Hery mengingatkan, smart city diterapkan dengan mengintegrasikan teknologi, infratruktur, dan partisipasi masyarakat guna menciptakan kota yang lebih efektif, efisien, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
"Smart city tidak hanya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan kota, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas, seperti peningkatan pelayanan publik, penghematan sumber daya, dan perlindungan lingkungan. Oleh sebab itu, perlu didorong dalam penerapan smart city," katanya.
Untuk memaksimalkan potensi smart city, Hery berpandangan, diperlukan partisipasi aktif berbagai pihak. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator bisa menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan smart city dengan pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan memfasilitasi implementasi teknologi informasi dan komunikasi.
Anggota DPR Rahmat Muhajirin mengatakan, adanya temuan dua regulasi yang bertentangan dengan UU dan dapat menghambat pelayanan publik.
"Tidak boleh ada konsideran menimbang-mengingat yang merugikan masyarakat karena hal ini dapat memperlambat pelayanan publik," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)