Jakarta: Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho mengungkapkan kasus gadis remaja di Parigi Moutong bukanlah kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan. Alasannya, tidak ada unsur pemaksaan antara pelaku dan korban dalam kasus ini.
Pernyataan Irjen Agus lantas menuai banyak kecaman. Mulai dari Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga para netizen ramai-ramai mengecam Agus.
Polemik terkait pernyataan Irjen Agus ini juga mendapat perhatian dari Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. Ia pun mencoba untuk membagikan pandangannya mengenai polemik tersebut.
Menurut Reza, penggunaan kata pemerkosaan memang tidak ada dalam UU Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, hanya ada istilah persetubuhan dan pencabulan.
"Dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut," ujar Reza.
Dalam istilah asing, persetubuhan dan pemerkosaan memanglah berbeda. Persetubuhan disebut sebagai statutory rape. Sedangkan pemerkosaan dalam istilah asingnya disebut rape.
"Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan," lanjutnya.
Hanya saja, perbedaan istilah tersebut tidaklah berlaku ketika terjadi pada anak-anak atau anak di bawah umur. Meskipun berkehendak dan bersepakat, anak tersebut tetap saja merupakan korban pemerkosaan.
"Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat. Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," tutur Reza.
Reza pun meminta agar publik tidak terlalu memusingkan diksi yang dipakai polisi. Menurutnya, polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak.
Layak dihukum mati
Reza juga menilai siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut merupakan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Adapun jenis kejahatan seksual yang dilakukan termasuk pemerkosaan atau persetubuhan.
"Apa jenis kejahatan seksualnya? Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," tutur Reza.
Reza pun beropini pelaku layak mendapat hukuman berat. Termasuk hukuman mati.
"Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius," papar Reza.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus dugaan asusila terhadap anak di bawah umur, yakni HR (43) seorang kepala desa di Parigi Moutong, ARH, 40, seorang guru SD di Desa Sausu, AK, 47, AR, 26, MT, 36, FN, 22, K, 32, AW, AS, dan AK.
Dari 10 orang tersangka, saat ini sudah tujuh orang yang ditahan, sementara tiga tersangka lainnya masuk daftar pencarian orang (DPO) atau buron.
Di samping itu, ada seorang anggota polisi yang diduga juga terlibat dalam kasus kekerasan seksual ini. Namun, anggota Polri berinisial MKS itu belum ditetapkan sebagai tersangka.
Polda Sulsel masih melakukan pendalaman. Namun, MKS yang berpangkat Ipda telah dinonjobkan atau diberhentikan dari tugasnya selama proses pemeriksaan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Jakarta: Kapolda
Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho mengungkapkan kasus gadis remaja di Parigi Moutong bukanlah kasus
pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan. Alasannya, tidak ada unsur pemaksaan antara
pelaku dan korban dalam kasus ini.
Pernyataan Irjen Agus lantas menuai banyak kecaman. Mulai dari Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga para netizen ramai-ramai mengecam Agus.
Polemik terkait pernyataan Irjen Agus ini juga mendapat perhatian dari Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. Ia pun mencoba untuk membagikan pandangannya mengenai polemik tersebut.
Menurut Reza, penggunaan kata pemerkosaan memang tidak ada dalam UU Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, hanya ada istilah persetubuhan dan pencabulan.
"Dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut," ujar Reza.
Dalam istilah asing, persetubuhan dan pemerkosaan memanglah berbeda. Persetubuhan disebut sebagai
statutory rape. Sedangkan pemerkosaan dalam istilah asingnya disebut
rape.
"Pada
rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau.
Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan," lanjutnya.
Hanya saja, perbedaan istilah tersebut tidaklah berlaku ketika terjadi pada anak-anak atau
anak di bawah umur. Meskipun berkehendak dan bersepakat, anak tersebut tetap saja merupakan korban pemerkosaan.
"Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat. Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," tutur Reza.
Reza pun meminta agar publik tidak terlalu memusingkan diksi yang dipakai polisi. Menurutnya, polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak.
Layak dihukum mati
Reza juga menilai siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut merupakan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Adapun jenis kejahatan seksual yang dilakukan termasuk pemerkosaan atau persetubuhan.
"Apa jenis kejahatan seksualnya? Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," tutur Reza.
Reza pun beropini pelaku layak mendapat hukuman berat. Termasuk hukuman mati.
"Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius," papar Reza.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus dugaan asusila terhadap anak di bawah umur, yakni HR (43) seorang kepala desa di Parigi Moutong, ARH, 40, seorang guru SD di Desa Sausu, AK, 47, AR, 26, MT, 36, FN, 22, K, 32, AW, AS, dan AK.
Dari 10 orang tersangka, saat ini sudah tujuh orang yang ditahan, sementara tiga tersangka lainnya masuk daftar pencarian orang (DPO) atau buron.
Di samping itu, ada seorang anggota polisi yang diduga juga terlibat dalam kasus kekerasan seksual ini. Namun, anggota Polri berinisial MKS itu belum ditetapkan sebagai tersangka.
Polda Sulsel masih melakukan pendalaman. Namun, MKS yang berpangkat Ipda telah dinonjobkan atau diberhentikan dari tugasnya selama proses pemeriksaan.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PAT)