ilustrasi/Medcom.id
ilustrasi/Medcom.id

15 Kabupaten di NTT Darurat Stunting

Antara • 04 Maret 2022 12:12

NTT: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan 15 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam situasi darurat kekerdilan. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan pihaknya dan pemerintah daerah fokus menurunkan jumlah wilayah tersebut.

“Saya yakin dengan fokus kepada konvergensi tingkat desa, sangat menentukan penerimaan paket manfaat kepada keluarga berisiko stunting (kekerdilan),” kata Hasto Wardoyo, Jumat, 4 Februari 2022.

Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, di NTT ada 15 kabupaten kategori merah karena angka kekerdilan di atas 30 persen. Wilayah tersebut ialah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan Rote Ndao.

Selanjutnya, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bahkan, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara tercatat angka prevalensi di atas 46 persen.

Sebanyak lima dari 15 kabupaten di NTT itu masuk 10 besar daerah dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi di Indonesia. Kelima kabupaten tersebut, Timor Tengah Selatan peringkat pertama, Timor Tengah Utara peringkat kedua, Alor peringkat kelima, Sumba Barat Daya peringkat keenam, dan Manggarai Timur peringkat kedelapan

BKKBN menyebutkan tujuh kabupaten/kota kategori kuning dengan angka kekerdilan antara 20-30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur.
 
Baca: Menko PMK: Penurunan Stunting 3% Perlu Peran Semua Pihak

“Tidak ada satu pun daerah di NTT yang berstatus hijau atau berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi 'stunting' di bawah 10 persen,” ujar dia.

Guna mengatasi masalah itu, BKKBN membentuk 200 ribu tim pendamping keluarga yang terdiri atas bidan, PKK, dan kader KB. Nantinya, tim itu akan mengawal keluarga mulai dari sebelum ibu hamil hingga sesudah melahirkan atau dalam 1.000 hari pertama kehidupan anak (HPK).

Pemeriksaan calon pengantin tiga bulan sebelum menikah juga dilakukan guna mengantisipasi potensi lahirnya bayi yang menderita kekerdilan. Pemeriksaan akses sanitasi, jamban, dan peningkatan literasi juga digencarkan lewat kolaborasi antarkementerian/lembaga terkait.

“Persoalan stunting yang ada di masyarakat kita, tidak saja menjadi urusan pemerintah atau pemangku kepentingan belaka. Persoalan stunting adalah persoalan bangsa yang harus kita tuntaskan bersama dan membutuhkan kolaborasi semua kalangan,” ucap Hasto.


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan