Malang: Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang, Jawa Timur, menginisiasi budidaya bawang merah menggunakan biji botani atau true shallot seed (TSS) di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kepala Kantor Perwakilan BI Malang, Azka Subhan, mengatakan benih TSS lebih unggul ketimbang benih umbi tradisional. Salah satunya, kebutuhan benih lebih efisien sekitar 7,5 kilogram per hektare dibandingkan dengan umbi yaitu sekitar 1,5 ton per hektare.
"Hasil tanamannya pun lebih sehat dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding benih umbi," ungkapnya, Selasa, 5 November 2019.
Azka menyebut bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis penyumbang inflasi nasional. Umbi benih bawang merah berkualitas yang terbatas menjadi salah satu sebab harga bawang merah fluktuatif.
"Selama ini, penanaman yang lazim dilakukan petani adalah menggunakan umbi bawang merah yang diseleksi dari hasil panen. Bawang merah umumnya diproduksi dengan menggunakan umbi sebagai bahan tanam atau sumber benih," ungkapnya.
Menurut Azka, penyediaan benih bawang merah yang bermutu secara kuantitas sangat terbatas setiap tahun, yakni, sekitar 15-16 persen. Para petani pun memilih benih impor yang lebih berkualitas meskipun dengan harga tinggi.
Selain itu, kata dia, penggunaan umbi secara terus menerus oleh petani juga dapat menyebabkan semakin menurunnya mutu umbi karena akumulasi penyakit tular benih yang berakibat menurunnya produktivitas bawang merah.
"Karenanya, salah satu cara untuk memecahkan masalah ketersediaan bibit berkualitas adalah melalui inovasi teknologi budidaya bawang merah dengan menggunakan biji botani atau TSS," bebernya.
Azka yakin metode TSS produksi bawang merah tak hanya untuk memenuhi permintaan namun juga bisa dijadikan sebagai model pembenihan bawang merah.
Malang: Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang, Jawa Timur, menginisiasi budidaya bawang merah menggunakan biji botani atau true shallot seed (TSS) di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kepala Kantor Perwakilan BI Malang, Azka Subhan, mengatakan benih TSS lebih unggul ketimbang benih umbi tradisional. Salah satunya, kebutuhan benih lebih efisien sekitar 7,5 kilogram per hektare dibandingkan dengan umbi yaitu sekitar 1,5 ton per hektare.
"Hasil tanamannya pun lebih sehat dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding benih umbi," ungkapnya, Selasa, 5 November 2019.
Azka menyebut bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis penyumbang inflasi nasional. Umbi benih bawang merah berkualitas yang terbatas menjadi salah satu sebab harga bawang merah fluktuatif.
"Selama ini, penanaman yang lazim dilakukan petani adalah menggunakan umbi bawang merah yang diseleksi dari hasil panen. Bawang merah umumnya diproduksi dengan menggunakan umbi sebagai bahan tanam atau sumber benih," ungkapnya.
Menurut Azka, penyediaan benih bawang merah yang bermutu secara kuantitas sangat terbatas setiap tahun, yakni, sekitar 15-16 persen. Para petani pun memilih benih impor yang lebih berkualitas meskipun dengan harga tinggi.
Selain itu, kata dia, penggunaan umbi secara terus menerus oleh petani juga dapat menyebabkan semakin menurunnya mutu umbi karena akumulasi penyakit tular benih yang berakibat menurunnya produktivitas bawang merah.
"Karenanya, salah satu cara untuk memecahkan masalah ketersediaan bibit berkualitas adalah melalui inovasi teknologi budidaya bawang merah dengan menggunakan biji botani atau TSS," bebernya.
Azka yakin metode TSS produksi bawang merah tak hanya untuk memenuhi permintaan namun juga bisa dijadikan sebagai model pembenihan bawang merah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)