Di bengkel kerja sekaligus tempat tinggalnya di kawasan Sawojajar, Kota Malang Hariyanto, seorang tukang las difabel menciptakan karya-karyanya. Suku cadang kendaraan bermotor bekas yang sudah terbuang, ia ubah menjadi kerajinan bernilai seni tinggi. Kini, pesanan mulai berdatangan.
Meski tidak dilakukan setiap hari, Hariyanto selalu menyempatkan diri menyelesaikan setiap proyek karya seni hiasan dinding dari suku cadang kendaraan bermotor bekas, yang sudah tidak terpakai.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Sebelumnya, Hariyanto menekuni usaha las pembuatan pagar atau perlengkapan eksterior maupun interior bangunan. Namun di usia 35 tahun, ia harus kehilangan salah satu kakinya, akibat kondisi darurat yang ia alami.
Baca: Anak Sopir Taksi Online Ini Berhasil Lanjutkan Studi S2 di Amerika
Sempat kehilangan semangat hidup dan kepercayaan pelanggan, Hariyanto mencoba bangkit dari keterpurukan. Titik balik hidup Hariyanto terjadi saat berkunjung ke rumah salah satu sahabatnya. Saat itu banyak suku cadang kendaraan roda 2 dan 4, berserakan dan berada di tempat sampah. Otak kreatifnya terpacu untuk memanfaatkannya menjadi karya bernilai ekonomis.
"Dari situlah saya mulai berpikir untuk menciptakan karya seni ini. Karena kerjaan sepi sejak saya kehilangan satu kaki ini. Tapi saya tidak mau menyerah, " kenangnya.
Melalui sebuah proses panjang, Hariyanto akhirnya memantapkan diri mencipta karya kreatif disela-sela menyelesaikan pekerjaan utamanya sebagai seorang tukang las.
Setiap karya miliknya, selalu diawali dengan sebuah konsep, yang kemudian ia terjemahkan disebuah pelat besi berbentuk persegi. Beragam suku cadang dengan bentuk dan ukuran tertentu, ia kumpulkan hingga membentuk sebuah gambar relief.
Setelah ditemukan pasangan yang tepat, Hariyanto mendokumentasikannya. Kemudian dibersihkan sebelum disatukan menggunakan lem besi.
Selama empat tahun berkarya, miniatur alat transportasi seperti sepeda motor, mobil, lokomotif helikopter hingga pesawat terbang, menjadi pilihan utamanya.
Tak hanya menunggu pesanan, Haryanto kerap membuat sebuah karya yang nantinya dipajang di dinding rumahnya sebelum berpindah ke kalangan hobi atau konsumen.
"Saya pajang sendiri di rumah, kalau ada yang berminat saya lepas. Tidak menunggu pesanan, " ucapnya.
Untuk satu karya, Hariyanto tidak pernah mematok harga. Ia menyerahkan besaran mahar kepada para konsumen. Karena baginya, sebuah karya seni tidak dapat dinilai dengan rupiah.
"Yang penting keikhlasan dan kerelaan diri melepas ke rumah yang lebih baik, " ujarnya penuh makna.