Jakarta: Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengungkap temuan dan fakta terkait kekeliruan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dalam Laporan Akhir Hasil Penyelidikan terkait Bea Masuk Anti dumping (BMAD) ubin keramik porselen asal China.
Pertama, Indef menilai pengajuan permohonan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh Asosiasi Aneka Industri Industri Keramik Indonesia (ASAKI) dianggap tidak representatif dan lemah. Pasalnya, ini hanya merepresentasikan 26 persen dari total produksi ubin keramik dalam negeri.
Hal tersebut, kata Andry, bertentangan dengan perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut.
“Hasil penyelidikan KADI dengan dasar 26 persen ini tentu sangat lemah untuk memberi gambaran bahwa IDN itu sedang turun kinerjanya apalagi hasil KADI tidak menunjukkan adanya injury dalam industry keramik khususnya untuk porselen di dalam negeri,” ujar Andry, Selasa, 23 Juli 2024.
Kedua, kata Andry, hasil penyelidikan KADI menerangkan bahwa terdapat 6 perusahan ubin keramik Industri Dalam Negeri (IDN) telah dinyatakan tutup karena banjirnya impor ubin keramik dari Tiongkok.
Indef menilai rekomendasi KADI itu keliru. Sebaliknya, Indef melihat fakta bahwa 6 perusahaan ubin keramik IDN yang tutup tersebut tidak terpengaruh impor keramik dari Tiongkok, melainkan karena faktor tidak mampu survive di tengah persaingan dagang yang tidak sehat yang terjadi di antara para produsen dalam negeri sendiri.
“Untuk kasus perusahaan yang bangkrut dan tutup itu perlu dilihat lagi karena beberapa data menunjukkan itu terjadi di tahun 2014, 2015 dan juga di tahun 2017 dan 2018. Jadi jangan sampai hasil rekomendasi KADI hari ini, itu berpatokan pada kejadian-kejadian yang ada di masa lampau,” bebernya.
Andry menambahkan, untuk kasus sejumlah industri keramik dalam negeri tumbang itu diduga penyebabnya over produksi keramik body merah yang kurang diminati konsumen. Sedangkan konsumen lebih memilih keramik body putih hasil impor dari China.
Lanjut Andry, selain over supply, industri dalam negeri juga terlibat perang harga sehingga mereka yang tidak sanggup bertahan mengalami kerugian.
Fakta ketiga, lanjut Andry, para pemohon pengajuan BMAD terhadap produk keramik asal China dengan alasan melindungi industri dalam negeri kurang tepat. Pasalnya, dari data KADI sendiri menunjukkan tidak ada tanda-tanda penurunan atau pelemahan industri dalam negeri.
“Dari segi kapasitas produksi saja itu ada peningkatan, permintaan di dalam negeri baik itu dari sisi pemohon dan bukan itu juga ada peningkatan, meskipun kalau kita lihat dari sisi pemohon sendiri peningkatan ini masih lebih kecil daripada yang perusahaan lain di dalam negeri,” urainya.
“Tetapi secara keseluruhan tidak ada penurunan dari permintaan juga dari sisi volume penjualan juga terus meningkat dari sisi peningkatan tenaga kerja juga ada di sana hampir tidak ada tanda-tanda dari pelemahan industri di dalam negeri,” tambahnya.
Fakta keempat, Andry mengaku heran antara proses penyelidikan serta analisis dan hasil rekomendasi KADI tidak sinkron. Pengenaan BMAD dinilai sangat berlebihan karena hasil penyelidikan KADI sendiri tidak menunjukkan angka yang negatif.
“Jadi hal ini juga jadi salah satu kelemahan juga dari hasil KADI tersebut karena hasil analisisnya menunjukkan angka-angka yang cukup positif tetapi rekomendasinya justru mengenakan BMAD yang cukup excessive artinya dari hasil analisis dan hasil rekomendasi itu tidak nyambung begitu,” jelasnya.
Lebih jauh, Andry memaparkan, komparasi yang dilakukan oleh KADI tidak apple to apple atau tidak sebanding antara produk satu dengan produk lainnya. KADI dinilai menggeneralisasi terhadap produk impor yang datanya berasal dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saja, tidak melakukan kajian secara detail dan mendalam menggunakan data primer.
“Apalagi kita tahu bahwa praktik yang dilakukan KADI itu tidak melakukan komparasi berdasarkan produk spesifik, jadi KADI hanya merata-ratakan dan berpaku kepada hasil atau angka dari DJBC yang menurut saya justru ini salah kaprah,” ungkapnya.
“Harusnya KADI itu melakukan komparasi yang apple to apple antara satu produk yang sama baik itu dari sisi harga di luar harga ekspor dan juga harga di dalam negeri, nah ini perlu dikomparasikan. Apalagi kalau kita melihat terkait dengan keramik ini kan cukup banyak sekali variannya dan tipenya nah ini jangan disamakan semua begitu,” tutupnya.
Jakarta: Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengungkap temuan dan fakta terkait kekeliruan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dalam Laporan Akhir Hasil Penyelidikan terkait Bea Masuk Anti dumping (BMAD) ubin keramik porselen asal China.
Pertama, Indef menilai pengajuan permohonan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) oleh Asosiasi Aneka Industri Industri Keramik Indonesia (ASAKI) dianggap tidak representatif dan lemah. Pasalnya, ini hanya merepresentasikan 26 persen dari total produksi ubin keramik dalam negeri.
Hal tersebut, kata Andry, bertentangan dengan perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya
major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut.
“Hasil penyelidikan KADI dengan dasar 26 persen ini tentu sangat lemah untuk memberi gambaran bahwa IDN itu sedang turun kinerjanya apalagi hasil KADI tidak menunjukkan adanya injury dalam industry keramik khususnya untuk porselen di dalam negeri,” ujar Andry, Selasa, 23 Juli 2024.
Kedua, kata Andry, hasil penyelidikan KADI menerangkan bahwa terdapat 6 perusahan ubin keramik Industri Dalam Negeri (IDN) telah dinyatakan tutup karena banjirnya impor ubin keramik dari Tiongkok.
Indef menilai rekomendasi KADI itu keliru. Sebaliknya, Indef melihat fakta bahwa 6 perusahaan ubin keramik IDN yang tutup tersebut tidak terpengaruh impor keramik dari Tiongkok, melainkan karena faktor tidak mampu
survive di tengah persaingan dagang yang tidak sehat yang terjadi di antara para produsen dalam negeri sendiri.
“Untuk kasus perusahaan yang bangkrut dan tutup itu perlu dilihat lagi karena beberapa data menunjukkan itu terjadi di tahun 2014, 2015 dan juga di tahun 2017 dan 2018. Jadi jangan sampai hasil rekomendasi KADI hari ini, itu berpatokan pada kejadian-kejadian yang ada di masa lampau,” bebernya.
Andry menambahkan, untuk kasus sejumlah industri keramik dalam negeri tumbang itu diduga penyebabnya over produksi keramik
body merah yang kurang diminati konsumen. Sedangkan konsumen lebih memilih keramik body putih hasil impor dari China.
Lanjut Andry, selain
over supply, industri dalam negeri juga terlibat perang harga sehingga mereka yang tidak sanggup bertahan mengalami kerugian.
Fakta ketiga, lanjut Andry, para pemohon pengajuan BMAD terhadap produk keramik asal China dengan alasan melindungi industri dalam negeri kurang tepat. Pasalnya, dari data KADI sendiri menunjukkan tidak ada tanda-tanda penurunan atau pelemahan industri dalam negeri.
“Dari segi kapasitas produksi saja itu ada peningkatan, permintaan di dalam negeri baik itu dari sisi pemohon dan bukan itu juga ada peningkatan, meskipun kalau kita lihat dari sisi pemohon sendiri peningkatan ini masih lebih kecil daripada yang perusahaan lain di dalam negeri,” urainya.
“Tetapi secara keseluruhan tidak ada penurunan dari permintaan juga dari sisi volume penjualan juga terus meningkat dari sisi peningkatan tenaga kerja juga ada di sana hampir tidak ada tanda-tanda dari pelemahan industri di dalam negeri,” tambahnya.
Fakta keempat, Andry mengaku heran antara proses penyelidikan serta analisis dan hasil rekomendasi KADI tidak sinkron. Pengenaan BMAD dinilai sangat berlebihan karena hasil penyelidikan KADI sendiri tidak menunjukkan angka yang negatif.
“Jadi hal ini juga jadi salah satu kelemahan juga dari hasil KADI tersebut karena hasil analisisnya menunjukkan angka-angka yang cukup positif tetapi rekomendasinya justru mengenakan BMAD yang cukup excessive artinya dari hasil analisis dan hasil rekomendasi itu tidak nyambung begitu,” jelasnya.
Lebih jauh, Andry memaparkan, komparasi yang dilakukan oleh KADI tidak
apple to apple atau tidak sebanding antara produk satu dengan produk lainnya. KADI dinilai menggeneralisasi terhadap produk impor yang datanya berasal dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saja, tidak melakukan kajian secara detail dan mendalam menggunakan data primer.
“Apalagi kita tahu bahwa praktik yang dilakukan KADI itu tidak melakukan komparasi berdasarkan produk spesifik, jadi KADI hanya merata-ratakan dan berpaku kepada hasil atau angka dari DJBC yang menurut saya justru ini salah kaprah,” ungkapnya.
“Harusnya KADI itu melakukan komparasi yang
apple to apple antara satu produk yang sama baik itu dari sisi harga di luar harga ekspor dan juga harga di dalam negeri, nah ini perlu dikomparasikan. Apalagi kalau kita melihat terkait dengan keramik ini kan cukup banyak sekali variannya dan tipenya nah ini jangan disamakan semua begitu,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)