Jambi: Festival Payung Api rangkaian acara Kenduri Swarnabhumi 2024 yang digelar di Laman Rangkayo Rajo Laksamana, Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi, Sabtu, 10 Agustus 2024, menyajikan sebuah karya kolaboratif yang memadukan tradisi dan seni kontemporer.
Acara ini berhasil mencuri perhatian pengunjung. Lebih dari sekadar sebuah pertunjukan seni, Payung Api menghidupkan kembali warisan budaya Melayu dengan menyampaikan pesan tentang kehidupan, kebersamaan, dan pentingnya pelestarian budaya.
Sejalan dengan semangat Kenduri Swarnabhumi 2024 yakni kemandirian dalam mengangkat kearifan lokal, karya Payung Api menjadi hasil dari kolaborasi antar pelaku seni dan budaya masyarakat setempat yang menggabungkan tiga elemen penting dalam tradisi Melayu, yaitu Malam Tari Inai, Besya’ir, dan Tari Payung Api.
Kurator Lokal, Didin Sirojudin, mengungkapkan Kenduri Swarnabhumi menjadi
momentum berkolaborasi dalam mengangkat potensi dan kearifan lokal.
“Kenduri Swarnabhumi sangat membantu dalam mengangkat nilai-nilai kearifan lokal
itu sendiri,” ujar Didin pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Menurutnya, Payung Api dalam konteks pelestarian budaya Melayu memiliki makna yang sangat dalam, di mana payung menjadi simbol pelindung dan api sebagai penerang. “Sehingga, kebudayaan Melayu tak lapuk kena hujan, tak lekang kena panas,” jelas Didin.
Didin juga menyoroti tantangan dalam proses kreatif para seniman. Menurutnya, proses kreatif yang dilakukan para kreator masih bersifat normatif. Sehingga menurutnya, perlu sering diberi wadah berekspresi agar tingkat kepercayaan diri meningkat terutama dengan pakem-pakem tradisi.
Kendati demikian, ia berharap melalui Festival Payung Api, para seniman dan budayawan muda dapat semakin termotivasi untuk mengembangkan seni dan budaya Melayu Jambi. Koreografer dari karya kolaboratif ini, Fandi Ari, menjelaskan Payung Api bukan sekadar properti panggung; ia adalah simbol yang sarat makna dalam tradisi Melayu.
Berasal dari rangka payung yang dihiasi lilin di atasnya, Payung Api dulu digunakan sebagai
penerangan dan pengiring pengantin.
"Lilin yang menerangi pada Payung Api ini memiliki makna sebagai cahaya kehidupan yang harus dijaga supaya tidak padam dan terus menyala," ungkap Fandi, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Fandi juga menambahkan bahwa Payung Api mewakili semangat membara dalam diri
pemuda-pemudi Melayu. “Kami menggagas pertunjukan ini sebagai gambaran regenerasi budaya, dimana nilainilai tradisi dari Malam Tari Inai diteruskan kepada generasi muda melalui karya yang baru," tandasnya.
Selain keindahan visual dan makna filosofis yang dalam, karya Payung Api juga menekankan pentingnya gotong royong dalam masyarakat Melayu. Seperti halnya Payung Api yang dibuat bergotong royong oleh keluarga mempelai laki-laki, pertunjukan ini juga diciptakan melalui kolaborasi erat antara para seniman, pemuda, dan masyarakat setempat.
Salah satu pemain musik dalam kolaborasi ini, Gilang Zildjian, berbagi pengalamannya atas keterlibatannya dalam karya kolaboratif yang luar biasa ini. "Saya belajar banyak tentang tradisi Melayu dan bagaimana kolaborasi bisa menjadi cara yang efektif untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal," tuturnya.
Ketika ditanya tentang pentingnya kolaborasi dalam karya ini, Gilang menekankan gotong royong adalah inti dari setiap tradisi Melayu. "Gotong royong dalam tradisi ini bukan hanya soal bekerja bersama, tetapi juga soal berbagi semangat dan tujuan yang sama untuk melestarikan budaya kita," pungkasnya.
Melalui kolaborasi ini, Festival Payung Api berhasil menggambarkan nilai-nilai tradisi bisa terus dilestarikan dan dihidupkan dalam bentuk yang relevan dengan zaman sekarang. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi hiburan bagi masyarakat, tetapi juga menjadi refleksi tentang pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya.
Karya Payung Api membuktikan bahwa meskipun tradisi kuno mungkin tidak lagi memiliki fungsi praktis seperti dulu, nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya tetap relevan dan harus dijaga. Dengan semangat gotong royong dan inovasi yang terus berkembang, tradisi seperti Payung Api akan terus menjadi cahaya yang menerangi perjalanan budaya Melayu dari generasi ke generasi.
Festival Payung Api yang digelar di Kabupaten Jabung Tanjung Barat ini merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan oleh masyarakat setempat, menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya.
Jambi:
Festival Payung Api rangkaian acara Kenduri Swarnabhumi 2024 yang digelar di Laman Rangkayo Rajo Laksamana, Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi, Sabtu, 10 Agustus 2024, menyajikan sebuah karya kolaboratif yang memadukan tradisi dan seni kontemporer.
Acara ini berhasil mencuri perhatian pengunjung. Lebih dari sekadar sebuah pertunjukan seni, Payung Api menghidupkan kembali warisan budaya Melayu dengan menyampaikan pesan tentang kehidupan, kebersamaan, dan pentingnya pelestarian budaya.
Sejalan dengan semangat
Kenduri Swarnabhumi 2024 yakni kemandirian dalam mengangkat kearifan lokal, karya Payung Api menjadi hasil dari kolaborasi antar pelaku seni dan budaya masyarakat setempat yang menggabungkan tiga elemen penting dalam tradisi Melayu, yaitu Malam Tari Inai, Besya’ir, dan Tari Payung Api.
Kurator Lokal, Didin Sirojudin, mengungkapkan Kenduri Swarnabhumi menjadi
momentum berkolaborasi dalam mengangkat potensi dan kearifan lokal.
“Kenduri Swarnabhumi sangat membantu dalam mengangkat nilai-nilai kearifan lokal
itu sendiri,” ujar Didin pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Menurutnya, Payung Api dalam konteks pelestarian budaya Melayu memiliki makna yang sangat dalam, di mana payung menjadi simbol pelindung dan api sebagai penerang. “Sehingga, kebudayaan Melayu tak lapuk kena hujan, tak lekang kena panas,” jelas Didin.
Didin juga menyoroti tantangan dalam proses kreatif para seniman. Menurutnya, proses kreatif yang dilakukan para kreator masih bersifat normatif. Sehingga menurutnya, perlu sering diberi wadah berekspresi agar tingkat kepercayaan diri meningkat terutama dengan pakem-pakem tradisi.
Kendati demikian, ia berharap melalui Festival Payung Api, para seniman dan budayawan muda dapat semakin termotivasi untuk mengembangkan seni dan budaya Melayu Jambi. Koreografer dari karya kolaboratif ini, Fandi Ari, menjelaskan Payung Api bukan sekadar properti panggung; ia adalah simbol yang sarat makna dalam tradisi Melayu.
Berasal dari rangka payung yang dihiasi lilin di atasnya, Payung Api dulu digunakan sebagai
penerangan dan pengiring pengantin.
"Lilin yang menerangi pada Payung Api ini memiliki makna sebagai cahaya kehidupan yang harus dijaga supaya tidak padam dan terus menyala," ungkap Fandi, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Fandi juga menambahkan bahwa Payung Api mewakili semangat membara dalam diri
pemuda-pemudi Melayu. “Kami menggagas pertunjukan ini sebagai gambaran regenerasi budaya, dimana nilainilai tradisi dari Malam Tari Inai diteruskan kepada generasi muda melalui karya yang baru," tandasnya.
Selain keindahan visual dan makna filosofis yang dalam, karya Payung Api juga menekankan pentingnya gotong royong dalam masyarakat Melayu. Seperti halnya Payung Api yang dibuat bergotong royong oleh keluarga mempelai laki-laki, pertunjukan ini juga diciptakan melalui kolaborasi erat antara para seniman, pemuda, dan masyarakat setempat.
Salah satu pemain musik dalam kolaborasi ini, Gilang Zildjian, berbagi pengalamannya atas keterlibatannya dalam karya kolaboratif yang luar biasa ini. "Saya belajar banyak tentang tradisi Melayu dan bagaimana kolaborasi bisa menjadi cara yang efektif untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal," tuturnya.
Ketika ditanya tentang pentingnya kolaborasi dalam karya ini, Gilang menekankan gotong royong adalah inti dari setiap tradisi Melayu. "Gotong royong dalam tradisi ini bukan hanya soal bekerja bersama, tetapi juga soal berbagi semangat dan tujuan yang sama untuk melestarikan budaya kita," pungkasnya.
Melalui kolaborasi ini, Festival Payung Api berhasil menggambarkan nilai-nilai tradisi bisa terus dilestarikan dan dihidupkan dalam bentuk yang relevan dengan zaman sekarang. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi hiburan bagi masyarakat, tetapi juga menjadi refleksi tentang pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya.
Karya Payung Api membuktikan bahwa meskipun tradisi kuno mungkin tidak lagi memiliki fungsi praktis seperti dulu, nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya tetap relevan dan harus dijaga. Dengan semangat gotong royong dan inovasi yang terus berkembang, tradisi seperti Payung Api akan terus menjadi cahaya yang menerangi perjalanan budaya Melayu dari generasi ke generasi.
Festival Payung Api yang digelar di Kabupaten Jabung Tanjung Barat ini merupakan satu dari 12 festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang diharapkan menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang DAS Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Kenduri Swarnabhumi sendiri akan digelar di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, yakni di 10 Kabupaten/Kota se-Provinsi Jambi dan satu Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Pagelaran festival budaya yang akan diselenggarakan oleh masyarakat setempat, menjadi momentum memperkuat semangat kemandirian dalam mengangkat kearifan lokalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WHS)