Bantul: Sistem Resi Gudang (SRG) di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), berjuang berdarah-darah. Gudang yang berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan tersebut kalah bersaing dengan tengkulak yang mendominasi pembelian hasil panen petani lokal setempat.
"Kami memang bisa berjalan, tapi seperti gotong royong karena tanpa gaji," kata Kepala SRG Kabupaten Bantul, Eddy Sugianto, Sabtu, 6 Juli 2024.
Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang bisa digunakan menyimpan berbagai komoditas hasil pertanian dalam gudang untuk memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa jaminan. SRG di Kabupaten Bantul tersebut baru terisi hasil pertanian berupa kedelai, gabah, jagung, dan beras.
Eddy menyatakan lembaganya membutuhkan dana untuk bisa memaksimalkan penyerapan hasil panen lokal di wilayahnya. Pasalnya, kata dia, hasil dari petani lokal selama ini diambil para tengkulak dari luar daerah.
"Dari tengkulak atau pengijon biasanya dibeli dengan harga rendah. Pengijon dengan harga rendah ini yang rugi petani," jelasnya.
Ia mengatakan modal yang dimiliki SRG Kabupaten Bantul hanya sekitar Rp300 juta. Nilai itu, menurut dia tak bisa maksimal apabila dihadapkan dengan tengkulak dengan modal lebih besar.
Padahal, kata dia, SRG bisa menyerap hasil panen petani dengan harga yang sesuai ketentuan pemerintah dan resi yang dikeluarkan bisa dijadikan permodalan. Ia mengatakan hasil panen itu, seperti gabah, bisa dijual saat harga sudah tinggi dibanding saat panen.
"Istilahnya bisa tunda jual (hasil panen). Ini bisa membantu petani untuk mendapatkan permodalan kembali di lembaga keuangan," ungkapnya.
Ia berharap pemerintah bisa membantu permodalan untuk berjalannya SRG tersebut. Eddy mengatakan bantuan keuangan itu bisa sekaligus pemantauan realisasinya untuk transparansi.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bantul, Joko Waluyo, menyebut ada sejumlah hal yang menyebabkan peran SRG tidak maksimal berjalan. Selain permodalan, juga faktor hasil pertanian.
"Daya tumbuh kedelai hanya 70 persen, kemudian harga jual petani minta 1,5 kali harga beras. Lalu, terjadi masa tanam terlambat, akhirnya petani beralih ke komoditas yang lain, tanaman hortikultura lain," bebernya.
Ia menambahkan panen beras dari petani selama ini disimpan untuk memenuhi kebutuhan harian. Sementara, dari total 62 ribu petani, daerah potensi pertanian banyak berada di perbatasan perkotaan, seperti Kecamatan Sewon, Kasihan, dan Banguntapan.
Plt. Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi, Kasan mengatakan bantuan pembiayaan bisa dilakukan. Ia menyebut telah menghubungan sejumlah lembaga keuangan.
"Saya rasa volume dari komoditi resi gudang (SRG) bisa jauh lebih banyak sehingga pembiayaannya bisa banyak," katanya.
Ia menilai potensi besar itu harus dijalankan agar penyerapan hasil panen petani lokal bisa maksimal. Dengan pemaksimalan, katanya, operasional hasil yang didapat akan ikut besar.
"Kalau tadi bicaranya baru ratusan juta, nanti bisa miliaran (rupiah). Ini akan memberikan dampak bukan hanya pengelola, tapi juga petani yang punya gabah, kedelai, jagung," ujarnya.
Bantul: Sistem Resi Gudang (SRG) di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), berjuang berdarah-darah. Gudang yang berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan tersebut kalah bersaing dengan tengkulak yang mendominasi pembelian hasil panen
petani lokal setempat.
"Kami memang bisa berjalan, tapi seperti gotong royong karena tanpa gaji," kata Kepala SRG Kabupaten Bantul, Eddy Sugianto, Sabtu, 6 Juli 2024.
Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang bisa digunakan menyimpan berbagai komoditas hasil pertanian dalam gudang untuk memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa jaminan. SRG di Kabupaten Bantul tersebut baru terisi hasil pertanian berupa kedelai, gabah, jagung, dan beras.
Eddy menyatakan lembaganya membutuhkan dana untuk bisa memaksimalkan penyerapan hasil panen lokal di wilayahnya. Pasalnya, kata dia, hasil dari petani lokal selama ini diambil para tengkulak dari luar daerah.
"Dari tengkulak atau pengijon biasanya dibeli dengan harga rendah. Pengijon dengan harga rendah ini yang rugi petani," jelasnya.
Ia mengatakan modal yang dimiliki SRG Kabupaten Bantul hanya sekitar Rp300 juta. Nilai itu, menurut dia tak bisa maksimal apabila dihadapkan dengan tengkulak dengan modal lebih besar.
Padahal, kata dia, SRG bisa menyerap hasil panen petani dengan harga yang sesuai ketentuan pemerintah dan resi yang dikeluarkan bisa dijadikan permodalan. Ia mengatakan hasil panen itu, seperti gabah, bisa dijual saat harga sudah tinggi dibanding saat panen.
"Istilahnya bisa tunda jual (hasil panen). Ini bisa membantu petani untuk mendapatkan permodalan kembali di lembaga keuangan," ungkapnya.
Ia berharap pemerintah bisa membantu permodalan untuk berjalannya SRG tersebut. Eddy mengatakan bantuan keuangan itu bisa sekaligus pemantauan realisasinya untuk transparansi.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bantul, Joko Waluyo, menyebut ada sejumlah hal yang menyebabkan peran SRG tidak maksimal berjalan. Selain permodalan, juga faktor hasil pertanian.
"Daya tumbuh kedelai hanya 70 persen, kemudian harga jual petani minta 1,5 kali harga beras. Lalu, terjadi masa tanam terlambat, akhirnya petani beralih ke komoditas yang lain, tanaman hortikultura lain," bebernya.
Ia menambahkan panen beras dari petani selama ini disimpan untuk memenuhi kebutuhan harian. Sementara, dari total 62 ribu petani, daerah potensi pertanian banyak berada di perbatasan perkotaan, seperti Kecamatan Sewon, Kasihan, dan Banguntapan.
Plt. Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi, Kasan mengatakan bantuan pembiayaan bisa dilakukan. Ia menyebut telah menghubungan sejumlah lembaga keuangan.
"Saya rasa volume dari komoditi resi gudang (SRG) bisa jauh lebih banyak sehingga pembiayaannya bisa banyak," katanya.
Ia menilai potensi besar itu harus dijalankan agar penyerapan hasil panen petani lokal bisa maksimal. Dengan pemaksimalan, katanya, operasional hasil yang didapat akan ikut besar.
"Kalau tadi bicaranya baru ratusan juta, nanti bisa miliaran (rupiah). Ini akan memberikan dampak bukan hanya pengelola, tapi juga petani yang punya gabah, kedelai, jagung," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)