Surabaya: Sebanyak 13 kasus Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di Indonesia belum jelas proses hukumnya. Oleh karena itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menemui 11 orang yang tergabung dalam tim rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Kami ingin menindaklanjuti soal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia," kata Mahfud, di Surabaya, Rabu, 21 September 2022.
Dari 13 kasus HAM berat itu, sebanyak sembilan pelanggaran HAM berat di antaranya terjadi sebelum medio tahun 2000-an. Namun, Mahfud tidak menyebutnya secara rinci.
"Kalau empat kasus terjadi di era 2000-an, yaitu, Tragedi Paniai pada 2014, Wasior-Wamena pada 2001-2003, Abepura pada 2000, dan Jambo Keupok Aceh pada 2003," ucapnya.
Mahfud mengatakan nantinya tim yang sudah terbentuk akan melakukan tugasnya sesuai dengan Keppres. "Apa itu Keppres 17 tahun 2022? Itu adalah keputusan Presiden, untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang, yang salah satunya adalah melalui kebenaran dan rekonsiliasi. Itu jalur yang ditetapkan Undang-undang," jelas Mahfud.
Meski ada jalur nonyudisial, Mahfud menegaskan langkah atau proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat tetap berjalan. Karena penyelesaian di pengadilan masih berlaku sekalipun ada Keppres tentang nonyudisial.
"Jalur satunya adalah penyelesaian pengadilan. Dua-duanya ini ditempuh. Pengadilan ditempuh, nonpengadilan ditempuh. Nonpengadilan ini memberi perhatian kepada korban. Sedangkan pengadilan memberikan perhatian terhadap pelaku pelanggaran HAM," tutur dia.
Maka dari itu, lanjut Mahfud, dia mengingatkan kepada masyarakat, pelaku hingga penegak hukum, kalau pemerintah serius menyelesaikan 13 pelanggaran HAM berat yang ditetapkan oleh Komnas HAM.
"Jangan berpikir adanya penyelesaian nonyudisial ini lalu yang yudisial dianggap tidak perlu diadili. Tetap diproses sesuai dengan hukum, dicari bukti-buktinya, kemudian nanti dibahas di DPR, silakan jalan," ujarnya.
Surabaya: Sebanyak 13 kasus Hak Asasi Manusia
(HAM) berat yang terjadi di Indonesia belum jelas proses hukumnya. Oleh karena itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam),
Mahfud MD, menemui 11 orang yang tergabung dalam tim rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Kami ingin menindaklanjuti soal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia," kata Mahfud, di Surabaya, Rabu, 21 September 2022.
Dari 13 kasus HAM berat itu, sebanyak sembilan pelanggaran HAM berat di antaranya terjadi sebelum medio tahun 2000-an. Namun, Mahfud tidak menyebutnya secara rinci.
"Kalau empat kasus terjadi di era 2000-an, yaitu, Tragedi Paniai pada 2014, Wasior-Wamena pada 2001-2003, Abepura pada 2000, dan Jambo Keupok Aceh pada 2003," ucapnya.
Mahfud mengatakan nantinya tim yang sudah terbentuk akan melakukan tugasnya sesuai dengan Keppres. "Apa itu Keppres 17 tahun 2022? Itu adalah keputusan Presiden, untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang, yang salah satunya adalah melalui kebenaran dan rekonsiliasi. Itu jalur yang ditetapkan Undang-undang," jelas Mahfud.
Meski ada jalur nonyudisial, Mahfud menegaskan langkah atau proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat tetap berjalan. Karena penyelesaian di pengadilan masih berlaku sekalipun ada Keppres tentang nonyudisial.
"Jalur satunya adalah penyelesaian pengadilan. Dua-duanya ini ditempuh. Pengadilan ditempuh, nonpengadilan ditempuh. Nonpengadilan ini memberi perhatian kepada korban. Sedangkan pengadilan memberikan perhatian terhadap pelaku pelanggaran HAM," tutur dia.
Maka dari itu, lanjut Mahfud, dia mengingatkan kepada masyarakat, pelaku hingga penegak hukum, kalau pemerintah serius menyelesaikan 13 pelanggaran HAM berat yang ditetapkan oleh Komnas HAM.
"Jangan berpikir adanya penyelesaian nonyudisial ini lalu yang yudisial dianggap tidak perlu diadili. Tetap diproses sesuai dengan hukum, dicari bukti-buktinya, kemudian nanti dibahas di DPR, silakan jalan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)