Yogyakarta: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD, mendukung wacana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kewenangan ini bisa terealisasi lewat revisi Undang-Undang KPK.
"Masa orang berstatus tersangka seumur hidup. Saya sudah bicara (SP3) itu empat tahun lalu," kata Mahfud di Cafe d'Tambir Jalan Retno Dumilah Kotagede, Kota Yogyakarta, Minggu, 15 September 2019.
Pertimbangan kewenangan SP3, kata Mahfud, salah satunya agar kasus-kasus yang tak cukup bukti bisa ditutup. Tersangka yang kadung telah ditetapkan pun bisa membersihkan namanya dari tuduhan melakukan praktik rasuah.
Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi eks Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan. Fasichul ditetapkan tersangka oleh KPK pada 2016 dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit Unair.
"Sampai sekarang masih tersangka dan sampai lima tahun tidak diajukan ke pengadilan. Masa seperti itu terus. Kalau tidak ada bukti ya keluarkan SP3," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Selain itu, Mahfud juga menerangkan kasus yang dialami mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fajriah. Ia juga mengatakan Siti pernah berstatus sebagai tersangka KPK dalam kasus bailout Bank Century, sebelum akhirnya meninggal dunia.
"Sampai meninggal tersangka. Kan harus ada (SP3). Kapan waktunya? Itu yang harus dibicarakan. Jangan sampai tidak boleh (KPK mengeluarkan SP3), saya gak setuju," ujarnya.
Ia mengapresiasi sikap Presiden Jokowi dalam merespons revisi UU KPK. Menurut Mahfud, seorang tersangka harus mendapat status atau kejelasan hukum dalam jangka waktu tertentu.
"Ya masa orang tersangka terus tanpa jelas nasibnya sampai mati jadi tersangka enggak boleh dicabut, karena terlanjur ditetapkan tersangka lalu buktinya enggak ada. Belum lagi problem hukum yang ada sekarang," katanya.
Hal serupa pun terjadi manakala KPK kalah di sidang praperadilan yang diajukan oleh tersangka. Pada akhirnya putusan tidak segera dieksekusi lantaran kewenangan yang terbatas.
"Dia sudah menang di praperadilan, coba apa status hukumnya? Ini harus diatur menurut saya kalau kita mau berhukum dengan benar," ungkapnya.
Ia mengakui proses yang dilakukan DPR saat ini tidak terbuka pada publik. Poin-poin revisi UU KPK juga tak ada di laman resmi DPR. "(Harus) disampaikan secara lisan kira-kira ada 10 atau 11 poin (revisi UU KPK)," kata dia.
Yogyakarta: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD, mendukung wacana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kewenangan ini bisa terealisasi lewat revisi Undang-Undang KPK.
"Masa orang berstatus tersangka seumur hidup. Saya sudah bicara (SP3) itu empat tahun lalu," kata Mahfud di Cafe d'Tambir Jalan Retno Dumilah Kotagede, Kota Yogyakarta, Minggu, 15 September 2019.
Pertimbangan kewenangan SP3, kata Mahfud, salah satunya agar kasus-kasus yang tak cukup bukti bisa ditutup. Tersangka yang kadung telah ditetapkan pun bisa membersihkan namanya dari tuduhan melakukan praktik rasuah.
Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi eks Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan. Fasichul ditetapkan tersangka oleh KPK pada 2016 dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit Unair.
"Sampai sekarang masih tersangka dan sampai lima tahun tidak diajukan ke pengadilan. Masa seperti itu terus. Kalau tidak ada bukti ya keluarkan SP3," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Selain itu, Mahfud juga menerangkan kasus yang dialami mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fajriah. Ia juga mengatakan Siti pernah berstatus sebagai tersangka KPK dalam kasus bailout Bank Century, sebelum akhirnya meninggal dunia.
"Sampai meninggal tersangka. Kan harus ada (SP3). Kapan waktunya? Itu yang harus dibicarakan. Jangan sampai tidak boleh (KPK mengeluarkan SP3), saya gak setuju," ujarnya.
Ia mengapresiasi sikap Presiden Jokowi dalam merespons revisi UU KPK. Menurut Mahfud, seorang tersangka harus mendapat status atau kejelasan hukum dalam jangka waktu tertentu.
"Ya masa orang tersangka terus tanpa jelas nasibnya sampai mati jadi tersangka enggak boleh dicabut, karena terlanjur ditetapkan tersangka lalu buktinya enggak ada. Belum lagi problem hukum yang ada sekarang," katanya.
Hal serupa pun terjadi manakala KPK kalah di sidang praperadilan yang diajukan oleh tersangka. Pada akhirnya putusan tidak segera dieksekusi lantaran kewenangan yang terbatas.
"Dia sudah menang di praperadilan, coba apa status hukumnya? Ini harus diatur menurut saya kalau kita mau berhukum dengan benar," ungkapnya.
Ia mengakui proses yang dilakukan DPR saat ini tidak terbuka pada publik. Poin-poin revisi UU KPK juga tak ada di laman resmi DPR. "(Harus) disampaikan secara lisan kira-kira ada 10 atau 11 poin (revisi UU KPK)," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)