Depok: Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok, Jawa Barat, Dadang Wihana, menilai, kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) belum pas diterapkan pada 2020. Menurut dia, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebagai inisiator melakukan kajian lebih dulu.
"Karena, kebijakan tersebut belum ada pembahasan teknis dengan Kota Depok," Ucap Dadang, Kamis, 21 November 2019.
Sebuah kebijakan, kata Dadang, harus dianalisis secara detail dan komprehensif. Terutama mengenai jalan pendukung atau akses kendaraan dan layanan transportasi publik.
"Itu semua harus tersedia, sehingga pengguna jalan nyaman," bebernya.
Namun, apabila dibahas lebih jauh Dadang menegaskan kebijakan ERP dirasakan belum pas apabila diterapkan di Jalan Margonda Depok. Pasalnya, belum tersedia akses jalan yang mendukung.
"Transportasi publik kita juga belum tersedia dengan nyaman," ungkapnya.
Selain itu, banyaknya gang-gang di sepanjang Jalan Raya Margonda dan permukiman tidak sesuai dengan kebijakan ERP. Karena itu, Dadang enggan berspekulasi terkait kebijakan ERP. Pihaknya masih fokus dengan penataan transportasi publik termasuk yang berbasis rel.
"Beberapa penataan tengah kami pusatkan yaitu JR Connection, Layanan BRT point to point, Layanan BRT Terminal Depok-Terminal Jatijajar,
aktivasi trayek-trayek bus yang tidak aktif dan peremajaan angkot AC," tegasnya.
Selanjutnya, Dadang mengatakan kepada masyarakat agar tetap tenang dan jangan menjadikan informasi ERP sebuah polemik. Pembahasan aturan tersebut, akan panjang dan tidak mungkin diputuskan dari satu pihak.
"Komunikasi Depok dengan BPTJ sangat baik, baik formal maupun informal. ERP merupakan salah satu metode manajemen lalu lintas selain 3in1, ganjil genap, dan lain-lain," pungkasnya.
Depok: Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok, Jawa Barat, Dadang Wihana, menilai, kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) belum pas diterapkan pada 2020. Menurut dia, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebagai inisiator melakukan kajian lebih dulu.
"Karena, kebijakan tersebut belum ada pembahasan teknis dengan Kota Depok," Ucap Dadang, Kamis, 21 November 2019.
Sebuah kebijakan, kata Dadang, harus dianalisis secara detail dan komprehensif. Terutama mengenai jalan pendukung atau akses kendaraan dan layanan transportasi publik.
"Itu semua harus tersedia, sehingga pengguna jalan nyaman," bebernya.
Namun, apabila dibahas lebih jauh Dadang menegaskan kebijakan ERP dirasakan belum pas apabila diterapkan di Jalan Margonda Depok. Pasalnya, belum tersedia akses jalan yang mendukung.
"Transportasi publik kita juga belum tersedia dengan nyaman," ungkapnya.
Selain itu, banyaknya gang-gang di sepanjang Jalan Raya Margonda dan permukiman tidak sesuai dengan kebijakan ERP. Karena itu, Dadang enggan berspekulasi terkait kebijakan ERP. Pihaknya masih fokus dengan penataan transportasi publik termasuk yang berbasis rel.
"Beberapa penataan tengah kami pusatkan yaitu JR Connection, Layanan BRT point to point, Layanan BRT Terminal Depok-Terminal Jatijajar,
aktivasi trayek-trayek bus yang tidak aktif dan peremajaan angkot AC," tegasnya.
Selanjutnya, Dadang mengatakan kepada masyarakat agar tetap tenang dan jangan menjadikan informasi ERP sebuah polemik. Pembahasan aturan tersebut, akan panjang dan tidak mungkin diputuskan dari satu pihak.
"Komunikasi Depok dengan BPTJ sangat baik, baik formal maupun informal. ERP merupakan salah satu metode manajemen lalu lintas selain 3in1, ganjil genap, dan lain-lain," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)