Jakarta: Peraturan pemerintah (PP) Nomor 53/2023 yang tidak mewajibkan anggota legislatif, menteri, hingga kepala daerah tidak perlu mundur jika berkontestasi di Pemilu Serentak 2024 berpotensi membuka ruang pelanggaran Pemilu. Selain itu, PP tersebut juga dianggap mengancam demokrasi.
"Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat menjelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi," kata Pengamat politik Ray Rangkuti saat dihubungi Sabtu, 20 Januari 2024.
Ray menambahkan, dari datanya saat ini, indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun. Sementara disisi lain aksi nepotisme meroket.
“Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau set back?” tegas Ray.
Ray pun menegaskan semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu meski belum tentu akan ditindaklanjuti.
“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan, tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu," kata Ray.
Ray mengungkapkan bentuk pelanggaran begitu banyak. Mulai dari perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain.
"Kok, Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan antinepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi,” ujar Ray.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018. Dalam PP Nomor 53 Tahun 2023 mengizinkan para menteri gubernur hingga wali kota untuk maju di pemilihan presiden 2024 tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam Pasal 18 Ayat (1A) mengatur tentang menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai presiden atau calon wakil presiden sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti presiden.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap pejabat negara baik itu menteri, gubernur dan wali kota tidak perlu lagi mengajukan pengunduran diri ketika dirinya diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan presiden mendatang.
Jakarta: Peraturan pemerintah (PP) Nomor 53/2023 yang tidak mewajibkan anggota legislatif, menteri, hingga kepala daerah tidak perlu mundur jika berkontestasi di Pemilu Serentak 2024 berpotensi membuka ruang pelanggaran Pemilu. Selain itu, PP tersebut juga dianggap mengancam demokrasi.
"Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat menjelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi," kata Pengamat politik Ray Rangkuti saat dihubungi Sabtu, 20 Januari 2024.
Ray menambahkan, dari datanya saat ini, indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun. Sementara disisi lain aksi nepotisme meroket.
“Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau
set back?” tegas Ray.
Ray pun menegaskan semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu meski belum tentu akan ditindaklanjuti.
“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan, tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu," kata Ray.
Ray mengungkapkan bentuk pelanggaran begitu banyak. Mulai dari perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain.
"Kok, Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan antinepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi,” ujar Ray.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018. Dalam PP Nomor 53 Tahun 2023 mengizinkan para menteri gubernur hingga wali kota untuk maju di pemilihan presiden 2024 tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam Pasal 18 Ayat (1A) mengatur tentang menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai presiden atau calon wakil presiden sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti presiden.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap pejabat negara baik itu menteri, gubernur dan wali kota tidak perlu lagi mengajukan pengunduran diri ketika dirinya diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan presiden mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)