medcom.id, Manado: Kelebihan jumlah tahanan diduga terjadi hampir di seluruh lembaga pemasyarakat (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia. Salah satunya terjadi di Rutan Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Melky, pegawai Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara yang pernah bertugas di Rutan Amurang, mengaku, kapasitas tahanan hanya 200 narapidana. Namun, nyatanya rutan dihuni 300 tahanan.
"Fasilitas bangunan dan pegawai jelas tidak memadai. Kalau malam, kami hanya berempat berjaga, dua petugas di bawah (pintu dan blok), dua petugas lagi di tower. Makanya, harus pintar-pintar kalau piket," terang Melky, Senin 8 Mei 2017.
Menurut Melky, salah satu cara menyiasati agar tahanan tak melarikan diri adalah dengan melakukan pendekatan personal. "Biasanya yang merencanakan pelarian itu merupakan residivis. Makanya kami cegah dengan pendekatan. Hal ini penting mengingat kami kekurangan petugas. Ini juga untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana kalau mereka (tahanan) kompak mengeroyok kami yang hanya berempat?" ujarnya.
Melky tak menampik, dirinya pernah mengalami kasus tahanan kabur saat piket. "Kalau begitu, harus dicari sampai ketemu. Pakai uang sendiri, bukan negara. Saya bersyukur, akhirnya tahanan kabur itu berhasil ditangkap," katanya.
Ia berharap, kementerian bisa segera membuka lowongan untuk petugas sipir. Pasalnya, Kementerian Hukum dan HAM terakhir membuka lowongan pada 2015.
"Itu pun bukan untuk petugas sipir, tapi staf di kantor. Sementara, kita tahu petugas untuk lapas dan rutan sangat kekurangan," harapnya.
Terpisah, Delon, warga Manado, mengungkapkan pengalamannya sewaktu kakaknya mendekam di rutan. Pihak keluarga tak pernah mengeluarkan uang untuk kamar kakaknya di rutan.
"Kakak saya mendapatkan kamar hanya dengan melakukan pendekatan ke petugas sipir. Tidak semua mendapatkan fasilitas kamar, karena penghuninya memang kelebihan. Jadi, menurut kakak saya harus pintar-pintar melobi (petugas) supaya dapat kamar," katanya.
medcom.id, Manado: Kelebihan jumlah tahanan diduga terjadi hampir di seluruh lembaga pemasyarakat (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia. Salah satunya terjadi di Rutan Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Melky, pegawai Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara yang pernah bertugas di Rutan Amurang, mengaku, kapasitas tahanan hanya 200 narapidana. Namun, nyatanya rutan dihuni 300 tahanan.
"Fasilitas bangunan dan pegawai jelas tidak memadai. Kalau malam, kami hanya berempat berjaga, dua petugas di bawah (pintu dan blok), dua petugas lagi di tower. Makanya, harus pintar-pintar kalau piket," terang Melky, Senin 8 Mei 2017.
Menurut Melky, salah satu cara menyiasati agar tahanan tak melarikan diri adalah dengan melakukan pendekatan personal. "Biasanya yang merencanakan pelarian itu merupakan residivis. Makanya kami cegah dengan pendekatan. Hal ini penting mengingat kami kekurangan petugas. Ini juga untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana kalau mereka (tahanan) kompak mengeroyok kami yang hanya berempat?" ujarnya.
Melky tak menampik, dirinya pernah mengalami kasus tahanan kabur saat piket. "Kalau begitu, harus dicari sampai ketemu. Pakai uang sendiri, bukan negara. Saya bersyukur, akhirnya tahanan kabur itu berhasil ditangkap," katanya.
Ia berharap, kementerian bisa segera membuka lowongan untuk petugas sipir. Pasalnya, Kementerian Hukum dan HAM terakhir membuka lowongan pada 2015.
"Itu pun bukan untuk petugas sipir, tapi staf di kantor. Sementara, kita tahu petugas untuk lapas dan rutan sangat kekurangan," harapnya.
Terpisah, Delon, warga Manado, mengungkapkan pengalamannya sewaktu kakaknya mendekam di rutan. Pihak keluarga tak pernah mengeluarkan uang untuk kamar kakaknya di rutan.
"Kakak saya mendapatkan kamar hanya dengan melakukan pendekatan ke petugas sipir. Tidak semua mendapatkan fasilitas kamar, karena penghuninya memang kelebihan. Jadi, menurut kakak saya harus pintar-pintar melobi (petugas) supaya dapat kamar," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)