Para pedemo anti-PBB yang ditahan. Foto: AFP
Para pedemo anti-PBB yang ditahan. Foto: AFP

Korban Tewas dalam Kerusuhan di Kongo Bertambah Jadi 48 Orang

Fajar Nugraha • 01 September 2023 13:11
Kinshasa: Setidaknya 48 orang tewas dalam tindakan keras terhadap protes anti-PBB di Kongo timur. Angka tersebut menambah jumlah korban tewas yang dilaporkan sebelumnya.
 
Pada Rabu, tentara Kongo menghentikan sebuah sekte agama yang mengadakan demonstrasi menentang pasukan penjaga perdamaian PBB di kota Goma.
 
Sekitar 10 orang awalnya dilaporkan tewas setelah tentara memasuki stasiun radio dan tempat ibadah, menurut sumber lokal. Seorang polisi juga digantung dalam kekerasan tersebut.

Namun dokumen internal militer yang dikonsultasikan oleh AFP pada hari Kamis, dan diverifikasi oleh pejabat keamanan, menyebutkan 48 orang tewas dalam insiden tersebut –,selain polisi yang terbunuh,– dan 75 orang terluka.
 
Dokumen tersebut juga mengatakan tentara menyita sejumlah senjata tajam dan menangkap 168 orang, termasuk pemimpin sekte Kristen-animisme bernama “Natural Judaic and Messianic Faith towards the Nations”.
 
Kelompok aktivis pro-demokrasi Kongo LUCHA juga menyatakan pada hari Kamis bahwa jumlah orang yang terbunuh “mendekati 50 orang”.
 
Dalam sebuah pernyataan pada Kamis malam, pemerintah menyebutkan jumlah korban jiwa adalah “43 orang tewas, 56 orang terluka dan 158 orang ditangkap, termasuk pemimpin sekte tersebut”.
 
Dikatakan bahwa pihaknya mendukung “penyelidikan yang dibuka oleh auditor militer… sehingga mereka yang bertanggung jawab dapat diadili”.
 
Dua klip video yang belum diverifikasi dan beredar di media sosial pada hari Kamis menunjukkan tentara Kongo melemparkan mayat –,beberapa berlumuran darah,– ke bagian belakang kendaraan militer.
 
“Pasukan keamanan Kongo menembak dan membunuh puluhan pengunjuk rasa, dan melukai lebih banyak lagi,” kata Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Digital Journal, Jumat 1 September 2023.
 
Pasukan Kongo “tampaknya melepaskan tembakan ke arah kerumunan untuk mencegah demonstrasi, sebuah cara yang sangat tidak berperasaan dan juga melanggar hukum untuk menegakkan larangan,” kata Thomas Fessy, peneliti senior Kongo di Human Rights Watch.
 
Organisasi tersebut mengatakan “pejabat senior militer yang memerintahkan penggunaan kekuatan mematikan yang melanggar hukum harus ditangguhkan, diselidiki, dan dimintai pertanggungjawaban dalam pengadilan yang adil dan terbuka”.


Sentimen anti-PBB

Bagian timur Republik Demokratik Kongo telah dilanda kekerasan milisi selama tiga dekade, sebuah warisan perang regional yang berkobar pada tahun 1990an dan 2000an.
 
Misi penjaga perdamaian PBB di kawasan ini adalah salah satu yang terbesar dan termahal di dunia, dengan anggaran tahunan sekitar USD1 miliar.
 
Namun PBB mendapat kritik tajam di negara Afrika tengah tersebut, dimana banyak orang menganggap pasukan penjaga perdamaian gagal mencegah konflik.
 
Tahun lalu, puluhan orang tewas dalam protes anti-PBB di Kongo timur, termasuk empat penjaga perdamaian.
 
Kekerasan terbaru ini terjadi di tengah perdebatan yang sedang berlangsung mengenai kapan pasukan penjaga perdamaian PBB di Kongo, yang dikenal sebagai MONUSCO, harus meninggalkan negara tersebut.

Dianggap tidak bertindak

Tahun lalu, Presiden Kongo Felix Tshisekedi mengatakan kepada media Prancis bahwa tidak ada alasan bagi MONUSCO untuk tetap bertahan setelah pemilihan presiden pada Desember 2023.
 
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengatakan pada bulan Agustus bahwa misi penjaga perdamaian sedang dalam tahap akhir.
 
Namun tanggal keberangkatannya masih belum jelas.
 
“MONUSCO terus menjadi fokus ketidakpuasan dan frustrasi masyarakat atas kelambanan mereka dalam bertindak,” kata Guterres.
 
Meskipun para pejabat PBB mengakui adanya rasa frustrasi yang luas, mereka juga berpendapat bahwa MONUSCO rentan terhadap kampanye disinformasi.
 
Pasukan tersebut saat ini berkekuatan sekitar 16.000 personel berseragam, sebagian besar dikerahkan di wilayah timur Kongo yang kaya mineral.
 
Milisi terus menguasai sebagian besar wilayah tersebut, meskipun ada pasukan penjaga perdamaian.
 
Salah satu kelompok, M23, telah menguasai sebagian besar wilayah di provinsi Kivu Utara sejak tahun 2021, misalnya.
 
Beberapa negara Barat termasuk Amerika Serikat dan Perancis, serta para ahli independen PBB, telah menyimpulkan bahwa Rwanda mendukung M23 yang dipimpin Tutsi. Namun Rwanda membantahnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan