Pasukan Yaman yang loyal kepada Pemberontak Houthi. Foto: AFP
Pasukan Yaman yang loyal kepada Pemberontak Houthi. Foto: AFP

PBB Optimis Terkait Perpanjangan Gencatan Senjata di Yaman

Medcom • 02 Juni 2022 20:11
New York: Menjelang berakhirnya gencatan senjata di Yaman pada Kamis, 2 Juni 2022, PBB mengatakan, perpanjangan perjanjian itu menerima dukungan positif dari kedua pihak.
 
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, pada Rabu bahwa Hans Grundberg, utusan PBB untuk Yaman, “terlibat dalam upaya intensif untuk memastikan pembaruan gencatan senjata.”
 
Pemerintah Yaman yang diakui secara internasional dan pemberontak Houthi yang didukung Iran menyetujui gencatan senjata selama dua bulan dengan ditengahi PBB pada awal bulan suci Ramadan 2 April lalu. Ini membawa jeda pertempuran pertama dalam enam tahun perang saudara di negara termiskin dunia Arab tersebut.

Rabu pagi, Dujarric menyambut penerbangan komersial pertama dari ibu kota yang dikuasai Houthi, Sanaa, ke Kairo. Ini menyusul kembalinya penerbangan dari Sanaa ke ibu kota Yordania, Amman.
 
Penerbangan Sanaa-Kairo adalah penerbangan ketujuh dari ibu kota. Dujarric mengatakan sebanyak 2.495 warga Yaman telah melakukan perjalanan antara Sanaa, Amman dan Kairo sejauh ini.
 
Dibukanya kembali bandara Sanaa untuk penerbangan komersial adalah salah satu ketentuan perjanjian gencatan senjata.
 
Namun, PBB pada Sabtu mengumumkan bahwa kedua pihak tidak mencapai kesepakatan untuk poin perjanjian lain, yakni pencabutan blokade Houthi di kota Taiz.
 
Masalah kota tersebut merupakan kunci untuk memperpanjang gencatan senjata.
 
Grundberg mendesak agar pemerintah dan Houthi segera menyelesaikannya dan menyampaikan “hasil positif kepada rakyat Yaman”.
 
Yaman telah dilanda perang saudara sejak 2014, ketika Houthi menguasai Sanaa dan sebagian besar sisi utara negara itu. Pemerintah terpaksa melarikan diri ke selatan, lalu ke Arab Saudi. Koalisi yang dipimpin Arab Saudi, pada saat itu didukung oleh Amerika Serikat (AS), ikut serta dalam perang beberapa bulan kemudian, berusaha mengembalikan kedudukan pemerintah.
 
Konflik tersebut mengakibatkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 150.000 orang dilaporkan tewas, di mana lebih dari 14.500 di antaranya merupakan warga sipil. (Kaylina Ivani)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan