Ia telah menginstruksikan pihak berwenang untuk menyita pengeras suara dan mendenda masjid yang memutar seruan tersebut, yang durasinya sekitar dua menit.
Ben Gvir membela tindakan tersebut sebagai tindakan yang diperlukan untuk memerangi "kebisingan yang tidak masuk akal" dan pelanggaran hukum.
Dalam wawancara dengan Channel 12, Ben Gvir mengatakan bahwa dia “bangga” untuk melangkah maju dengan kebijakan “menghentikan kebisingan yang tidak masuk akal dari masjid dan sumber lain yang telah menjadi bahaya bagi penduduk Israel”.
"Dalam perdebatan kami, terungkap bahwa sebagian besar negara Barat, dan bahkan beberapa negara Arab, membatasi kebisingan dan memiliki banyak undang-undang tentang masalah tersebut. Hal itu hanya diabaikan di Israel," kata kantor Ben Gvir dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Middle East Eye, Selasa 3 Desember 2024.
Dalam sebuah posting di X, ia menyebut azan sebagai "bahaya" bagi warga Israel di dekatnya. Namun, warga Palestina di Israel menganggap larangan tersebut sebagai serangan provokatif terhadap hak-hak komunitas dan agama mereka.
Ahmad Tibi, seorang anggota parlemen dan pemimpin partai Taal, mengecam keputusan tersebut.
"Ben Gvir ingin membakar daerah itu atas dasar agama," katanya kepada parlemen.
"Dulu, ada upaya untuk meloloskan undang-undang yang melarang azan di kota-kota campuran. Posisi kami dalam masalah ini, di sektor Arab, adalah menentang masuknya polisi. Adzan akan terus dikumandangkan karena Islam akan terus berlanjut,” ujar Tibi.
Tibi kemudian menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di balik tindakan Ben Gvir, dengan mengatakan: "Dia adalah kepalanya, dan dia bertanggung jawab atas hal ini dan konsekuensi buruk yang dapat terjadi jika hal ini menjadi kenyataan".
Para pembela hak asasi manusia dan wali kota Palestina mengecam larangan tersebut sebagai tindakan diskriminatif lain oleh pemerintah Israel.
Kontrol atas ruang publik
Khaled Zabarqa, seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa tindakan Ben Gvir lebih dari sekadar provokasi."Menyebutnya sebagai tindakan provokasi justru mengurangi keseriusan masalah," kata Zabarqa.
"Hal itu membuat seolah-olah masalah ini hanya tentang Ben Gvir, seolah-olah menyingkirkan Ben Gvir akan menyelesaikan seluruh masalah,” ujar Zabarqa.
Bagi Zabarqa, hal ini terkait dengan "konsep pemerintah Israel tentang ke-Yahudian negara" dan implikasinya.
“Salah satu implikasinya adalah kontrol atas ruang publik,” kata Zabarqa.
"Saat ini, ruang publik dipenuhi dengan berbagai simbol keagamaan dan nasional. Salah satu simbol keagamaan yang selalu mengingatkan mereka lima kali sehari adalah azan, yang menandakan kehadiran orang lain di sini. Inilah yang tidak mereka inginkan,” imbuhnya.
Ben Gvir punya sejarah menentang panggilan salat dalam Islam. Pada tahun 2013, jauh sebelum memangku jabatan, Ben Gvir dan sekelompok aktivis sayap kanan mengganggu warga di lingkungan Ramat Aviv di Tel Aviv dengan mengumandangkan azan melalui pengeras suara.
Aksi tersebut, menurut mereka, dimaksudkan untuk menyoroti bagaimana komunitas lain di Israel “terganggu” oleh panggilan untuk shalat.
Upaya untuk membatasi adzan juga muncul di parlemen Israel, Knesset. Pada 2017, RUU "muazin" yang bertujuan untuk membatasi penggunaan pengeras suara untuk keperluan keagamaan, telah lolos tahap awal namun akhirnya terhenti. (Antariska)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News