Presiden Burkina Faso telah mengumumkan tiga hari berkabung nasional setelah tersangka militan melakukan serangan yang menewaskan 80 orang itu. Serangan itu adalah pertumpahan darah terbaru di daerah dengan tingkat kekerasan dilakukan oleh para teroris.
“Serangan pada Rabu di dekat kota Gorgadji juga menewaskan enam milisi pro-pemerintah dan 15 polisi militer,” kata pemerintah dan militer pada Kamis, seperti dikutip Guardian, Jumat 20 Agustus 2021.
“Para prajurit dan milisi telah menjaga warga sipil yang berangkat ke Arbinda, kota lain di Burkina utara. Dalam baku tembak berikutnya, pasukan keamanan membunuh 58 teroris dan sisanya melarikan diri. 19 orang juga terluka dalam kejadian ini,” kata pihak pemerintah.
“Operasi penyelamatan dan bantuan terus berlanjut,” imbuh pernyataan itu.
Daerah itu berada di zona ‘tiga perbatasan’ yang terkenal di mana Burkina Faso bertemu Mali dan Niger, fokus kekerasan militan yang melanda wilayah Sahel yang lebih luas di Afrika barat. Kejadian ini adalah serangan besar ketiga terhadap tentara Burkinabe dalam dua minggu terakhir, termasuk satu pada 4 Agustus di dekat perbatasan Niger, yang menewaskan 30 orang, termasuk 11 warga sipil.
Presiden Burkina Faso, Roch Marc Christian Kabore mengumumkan tiga hari berkabung nasional mulai Kamis untuk para korban serangan terbaru. Kabore melontarkan pengumuman itu berdasarkan sebuah dekrit resmi.
“Bendera akan dikibarkan setengah tiang dari gedung-gedung publik dan perayaan-perayaan yang dilarang selama periode tersebut,” tegas Kabore.
Burkina Faso, sebuah negara miskin di wilayah sub-Sahara Sahel yang gersang, sejak 2015 telah memerangi serangan yang semakin sering dan mematikan oleh kelompok-kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS dan Al-Qaeda.
Pada 4 dan 5 Juni, orang-orang bersenjata menewaskan sedikitnya 132 orang, termasuk anak-anak, di desa timur laut Solhan. Ini adalah serangan paling mematikan di Burkina dalam sejarah pemberontakan.
Serangan dan penyergapan telah terkonsentrasi di utara dan timur, dekat perbatasan dengan Mali dan Niger, yang keduanya juga menghadapi kekerasan mematikan oleh para militan. Serangan-serangan ini bersama dengan kekerasan antarkomunal telah menewaskan lebih dari 1.400 orang dan memaksa 1,3 juta orang meninggalkan rumah mereka.
Militan yang terkait dengan Al-Qaeda muncul di Mali utara pada 2012, mendorong intervensi militer Prancis. Setelah tercerai-berai, para militan berkumpul kembali dan menyebar ke negara-negara tetangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News