Rouhani mengatakan itu akan ‘berbahaya’ bagi upaya diplomatik yang bertujuan memulihkan kesepakatan nuklir 2015 dan mengurangi sanksi AS.
Tarik ulur atas RUU tersebut, yang mendapatkan momentum setelah pembunuhan seorang ilmuwan nuklir Iran terkemuka bulan lalu, mencerminkan persaingan antara Rouhani, seorang anggota parlemen yang relatif moderat. Dia harus melawan kelompok garis keras yang mendominasi parlemen dan mendukung pendekatan yang lebih konfrontatif untuk Barat.
RUU itu akan menangguhkan inspeksi PBB dan mengharuskan pemerintah untuk melanjutkan pengayaan uranium hingga 20 persen jika negara-negara Eropa gagal memberikan keringanan dari sanksi AS yang melumpuhkan pada sektor minyak dan perbankan negara itu. Tingkat itu jauh dari ambang batas yang dibutuhkan untuk senjata nuklir tetapi lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk tujuan sipil.
“Pemerintah tidak setuju dengan itu dan berbahaya bagi tren kegiatan diplomatik,” ujar Rouhani, seperti dikutip Euronews, Kamis 3 Desember 2020.
"Hari ini, kami lebih kuat di bidang nuklir dibanding waktu lainnya," tambahnya.
Rabu malam, televisi pemerintah Iran mengatakan, pengawas konstitusional, Dewan Penjaga, juga menyetujui RUU tersebut dan secara resmi mengirimkannya ke Rouhani yang sekarang memiliki lima hari kerja untuk secara resmi menandatangani RUU agar dapat dieksekusi.
Bahkan jika Rouhani berubah pikiran dan menyetujui RUU tersebut, hal itu tidak akan berdampak karena Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memiliki keputusan akhir tentang semua kebijakan utama. Termasuk yang terkait dengan program nuklir.
Di bawah undang-undang, jika presiden menolak untuk menandatangani RUU tersebut, maka secara otomatis akan ditandatangani oleh ketua parlemen untuk berlaku.
Persetujuan Selasa oleh anggota parlemen tampaknya menunjukkan pembangkangan setelah Mohsen Fakhrizadeh, seorang tokoh kunci dalam program nuklir Iran, tewas dalam serangan yang dituduhkan pejabat Iran pada Israel.
Fakhrizadeh mengepalai sebuah program yang diduga Israel dan Barat sebagai operasi militer yang melihat kelayakan untuk membangun senjata nuklir. Tetapi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa ‘program terstruktur’ berakhir pada tahun 2003.
Pemerintah AS telah menyetujui temuan tersebut, sementara Israel mengatakan, Iran masih bertujuan untuk mengembangkan senjata nuklir. Tuduhan itu merujuk pada pekerjaannya pada rudal balistik dan teknologi lainnya. Iran menegaskan program nuklirnya sepenuhnya untuk tujuan damai.
AS memberlakukan sanksi yang melumpuhkan Iran setelah Presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir pada 2018. Sebagai tanggapan, Iran mulai secara terbuka melebihi batas yang ditetapkan oleh perjanjian sambil mengatakan akan kembali patuh jika Amerika Serikat melakukan hal yang sama.
Rouhani, salah satu arsitek perjanjian nuklir 2015 dengan kekuatan dunia, mendukung kembalinya kesepakatan dan keterlibatan diplomatik yang lebih besar dengan AS dan negara-negara Barat lainnya. Presiden terpilih AS Joe Biden juga mengatakan dia mendukung kembali ke kesepakatan nuklir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News