Ketua Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menuturkan bahwa keputusan tersebut diambil UEA karena Israel menjanjikan investasi besar-besaran. Namun, syarat yang diberikan Israel adalah UEA mendukung rencana Perdamaian Palestina-Israel ala Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Normalisasi ini sebagai sinyal meninggalkan Palestina," katanya kepada Medcom.id, Jumat, 14 Agustus 2020.
Yon mengatakan UEA lebih mementingkan kepentingan nasional mereka dibandingkan Palestina. Menurut dia, pasti ada tekanan AS yan memastikan negara-negara di Arab melakukan normalisasi dengan Israel.
Ini adalah cara Israel dan AS menekan Palestina mengikuti rencana perdamaian yang sudah mereka susun, yang tentunya merugikan Palestina.
Di tengah masalah seperti ini, seharusnya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dapat diandalkan. Pasalnya, organisasi ini terbentuk untuk membantu kemerdekaan Palestina.
Namun, Yon mengatakan OKI saat ini kurang bisa diharapkan. Pasalnya, organisasi tersebut lebih didominasi oleh Arab Saudi.
"Justru peran Indonesia menjadi penting sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Indonesia bisa lebih aktif berperan dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina," serynya.
Indonesia, menurut dia, seharusnya bisa mengambil inisiatif untuk terus memperkuat hubungan dengan Palestina. Normalisasi dengan Israel bisa dilakukan, namun syaratnya adalah kemerdekaan Palestina.
Keputusan untuk melakukan normalisasi hubungan ini menjadikan UEA negara Teluk Arab pertama yang melakukannya. UEA juga menjadi negara Arab ketiga yang memiliki hubungan diplomatik aktif dengan Israel.
Sontak pengumuman ini membuat Palestina menyatakan kemarahan mereka. TV Palestina melaporkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengadakan pertemuan mendesak dari pimpinan puncaknya untuk membahas perjanjian tersebut dan menentukan posisi di atasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News