Dikutip dari Anadolu Agency, Sabtu 2 Mei 2020, pernyataan disampaikan Saleh dalam diskusi dengan sejumlah tokoh adat di Libya timur yang disiarkan di media sosial. Saleh mengatakan bahwa Rusia, negara pendukung Haftar, telah mempersiapkan sebuah laporan seputar perang sipil di Libya.
Menurut laporan ini, milisi Haftar berada dalam posisi sulit di hadapan pemerintahan resmi Libya atau GNA. Saleh juga mengatakan bahwa pasukan Haftar di Tarhuna seperti "berada di ujung jurang" karena pasokan yang dikirimkan kepada mereka telah hancur diserang dari udara.
"Rusia ingin Haftar mendeklarasikan gencatan senjata karena situasi peperangan di lapangan semakin memburuk," kata Saleh.
Ia mengklaim bahwa Rusia telah membuat pernyataan tertulis kepada Haftar untuk mengeluarkan pernyataan "formasi ulang Dewan Kepresidenan Libya." Moskow ingin agar pernyataan itu sejalan dengan keputusan Konferensi Berlin yang menyerukan adanya gencatan senjata di Tripoli serta pembentukan Dewan Kepresidenan Libya.
Sejak tergulingnya diktator Muammar Gaddafi pada 2011, Libya terpecah menjadi dua kekuatan besar: LNA milik Haftar di timur dan GNA di Tripoli.
Senin kemarin, Haftar mengklaim telah mengambil alih pemerintahan di Libya. "Komandan Jenderal dari angkatan bersenjata telah mengambil alih pemerintahan negeri ini dan mengumumkan diakhirinya perjanjian Skhirat," ujar Haftar kala itu.
"Terlepas dari beratnya beban tanggung jawab, kami menerima keinginan rakyat dan mandat yang mereka delegasikan," lanjutnya,
Ia menegaskan bahwa LNA akan berusaha membangun sejumlah institusi permanen yang sejalan dengan keinginan rakyat. "Masyarakat harus dapat mengendalikan nasib mereka dan memilih sendiri masa depan melalui cara-cara demokratis," sebut Haftar.
Klaim sepihak Haftar memicu reaksi penentangan dari berbagai negara dan entitas, termasuk GNA, Uni Eropa, Rusia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News