Pencalonan diri Saif al-Islam sebelumnya diumumkan pada 14 November lalu. Ia telah mendaftarkan diri di kantor Komisi Tinggi Pemilu Nasional di Kota Sebha.
Banyaknya kontroversi tersebut menjadi pertimbangan HNEC untuk menolak pencalonan Saif. Tak hanya anak eks diktator itu, 25 nama lainnya juga ditolak HNEC.
Baca: Khadafi dan Haftar Tingkatkan Kekacauan Baru dalam Pemilu Libya.
Menurut HNEC, mereka menolak nama-nama itu atas dasar hukum dan juga informasi dari pejabat berwenang, mulai dari jaksa umum, kepala kepolisian, hingga kepala departemen paspor dan kewarganegaraan Libya.
"Nama-nama yang disebutkan ini tidak masuk ke dalam daftar kandidat awal, karena mereka tidak memenuhi prasyarat dan belum menyerahkan seluruh dokumen yang diperlukan," kata HNEC, dilansir dari AFP, Kamis, 25 November 2021.
Dalam kasus Saif, HNEC merujuk pasal-pasal Undang-undang Pemilu yang menetapkan bahwa kandidat 'tak boleh seseorang yang pernah dihukum atas kejahatan tak terhormat'.
Sejumlah tokoh besar, seperti pimpinan pemberontak di timur Libya Khalifa Haftar, Perdana Menteri Sementara Abdulhamid Dbeibah dan eks Menteri Dalam Negeri Fathi Bashagha, disebut memenuhi syarat untuk maju sebagai capres.
Saat pencalonan dirinya diumumkan, Saif mengatakan, ingin 'mengembalikan persatuan yang hilang' setelah Libya didera kekacauan selama satu dekade. Ia merupakan tokoh kontroversial.
Setelah rezim ayahnya runtuh, Saif ditangkap oleh pasukan revolusi pada tahun 2011 di Pegunungan Zintan. Ia dijatuhi hukuman mati atas keterlibatan dalam berbagai kejahatan perang seperti pembunuhan pedemo pada 2015.
Namun, ia berhasil dibebaskan secara penuh. Saif juga buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News