"Kebebasan berbicara tidak membenarkan penghinaan yang dilakukan Rushdie terhadap agama dalam tulisannya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani dalam jumpa pers, dilansir dari Channel News Asia, Senin, 15 Agustus 2022.
Penulis kelahiran India berkewarganegaraan Inggris-AS itu menjadi sosok kontroversial usai menerbitkan novel berjudul The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) di tahun 1988. Novel itu dipandang sebagian Muslim sebagai penghinaan terhadap agama Islam.
Satu tahun usai rilisnya novel tersebut, Pemimpin Agung Tertinggi Iran kala itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, mengeluarkan fatwa yang menyerukan umat Islam untuk membunuh Salman Rushdie dan siapa pun yang terlibat dalam penerbitan novel Ayat-Ayat Setan.
Pada 1998, Pemerintah Iran mengatakan bahwa pihaknya tidak akan lagi mendukung fatwa tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Salman Rushdie hidup relatif terbuka walau ancaman pembunuhan masih tetap membayang-bayangi.
"Salman Rushdie mengekspos dirinya pada kemarahan rakyat dengan menghina kesucian Islam dan melintasi 'garis merah' 1,5 miliar Muslim," ujar Kanaani, merujuk pada batasan yang tidak boleh dilewati.
"Mengenai serangan terhadap Salman Rushdie, kami merasa hanya ia dan para pendukungnya yang layak dicela, dicela, dan dikutuk. Tidak ada yang berhak menuduh Iran dalam hal ini," sambung dia.
Kanaani mengatakan, Iran tidak memiliki informasi apa pun mengenai penyerang Salman Rushdie, kecuali yang sudah muncul di media.
Sementara itu, menurut laporan sejumlah petinggi intelijen, tersangka penikaman Salman Rushdie bernama Hadi Matar disebut-sebut memiliki kontak dengan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).
Berasal dari Fairview, New Jersey, AS, Matar mengaku tak bersalah atas upaya percobaan pembunuhan dan penyerangan terhadap Salman Rushdie yang terjadi di New York pada Jumat pekan kemarin.
Baca: Tersangka Penikaman Salman Rushdie Miliki Kontak di Garda Revolusi Iran
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News