Perdana Menteri israel, Benjamin Netanyahu (Kiri) dan Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem (Kanan). (AFP/HO/Al-Manar)
Perdana Menteri israel, Benjamin Netanyahu (Kiri) dan Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem (Kanan). (AFP/HO/Al-Manar)

Perang Israel vs Hizbullah, Siapa yang Menang?

Riza Aslam Khaeron • 28 November 2024 14:40
Jakarta: Perang antara Israel dan Hizbullah dimulai pada 8 Oktober 2023 dan mencapai puncaknya dengan invasi besar-besaran Israel ke Lebanon pada Oktober 2024.
 
Kedua pihak mengklaim kemenangan setelah gencatan senjata diberlakukan pada 27 November 2024, namun siapa yang benar-benar menang masih sulit dijawab dan bergantung pada sudut pandang masing-masing.
 

Klaim Kemenangan dari Kedua Pihak

Setelah gencatan senjata, kedua pihak mengklaim kemenangan. Israel menyatakan telah merusak infrastruktur militer Hizbullah, menghancurkan sebagian besar misilnya, dan "memundurkan Hizbullah selama satu dekade", serta mencegah serangan besar di masa depan.
 
Selain itu, dalam side letter yang menyertai kesepakatan gencatan senjata, Amerika Serikat (AS) memberikan jaminan bahwa Israel memiliki hak untuk menyerang kembali jika ada ancaman dari Hizbullah.

AS juga berkomitmen untuk memberikan dukungan intelijen kepada Israel terkait kemungkinan pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata.
 
Jika Hizbullah mencoba merusak kesepakatan ini atau melakukan infiltrasi ke dalam Angkatan Darat Lebanon, Israel berhak mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingannya, sesuai dengan hukum internasional.
 
Hizbullah juga mengklaim kemenangan. Meskipun mengalami banyak kerugian, mereka tetap bertahan dan menganggap ini sebagai kemenangan.
 
Para pejuang mereka masih siap menghadapi Israel, dan mereka berhasil mempertahankan posisi sebagai kekuatan utama di Lebanon.
 

Kerugian yang Diderita Kedua Belah Pihak

Konflik ini menyebabkan kerugian besar di kedua pihak. Hizbullah kehilangan sekitar 4.000 pejuang, termasuk Hassan Nasrallah, serta lebih dari 3.800 warga sipil Lebanon tewas dan 15.000 terluka.
 
Serangan Israel menyebabkan lebih dari 1,4 juta warga Lebanon mengungsi akibat pemboman yang menghancurkan desa-desa dan pinggiran Beirut. Hizbullah menghadapi tantangan besar untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur.
 
Israel juga mengalami kerugian signifikan, dengan 80 personel keamanan dan 46 warga sipil tewas. Serangan Hizbullah menghancurkan lebih dari 8.800 bangunan di Israel utara, merusak 7.000 kendaraan dan 300 situs pertanian.
 
Lebih dari 96.000 warga sipil Israel terpaksa mengungsi akibat serangan roket dan drone Hizbullah.
 

"Kegagalan" Israel

Kesepakatan gencatan senjata pada 27 November 2024 mengulang Resolusi PBB 1701, yang juga digunakan untuk mengakhiri perang Lebanon pada 2006.
 
Resolusi ini mengharuskan Hizbullah mundur ke utara Sungai Litani. Militer Israel mengklaim kampanye ini berhasil menurunkan ancaman Hizbullah, meski dengan kerugian lebih dari 50 tentara.
 
Hizbullah kehilangan sebagian besar misilnya, terowongannya dihancurkan, dan jaringan finansialnya terganggu.
 
Banyak pemimpin penting Hizbullah, termasuk Hassan Nasrallah dan penerusnya, tewas dalam serangan tersebut, yang memberikan dampak signifikan pada struktur komando dan moral kelompok.
 
Namun, hanya 20 persen pendukung koalisinya yang mendukung kesepakatan ini, menunjukkan ketidakpuasan di dalam negeri.
 
Mantan PM Naftali Bennett menyebut bahwa meskipun ada pencapaian militer, dari sisi diplomasi dan keamanan, gencatan senjata ini berujung pada kegagalan.
 
Beberapa analis, seperti Abdel Halim Fadlallah, ahli dari wadah pemikir yang berafiliasi dengan Hizbullah, menilai tujuan Israel untuk mengubah situasi politik di Lebanon dan menghancurkan kekuatan militer Hizbullah secara permanen tidak tercapai.
 

"Kegagalan" Hizbullah dan Isolasi Hamas

Di sisi lain, Hizbullah dan Iran menganggap bertahannya kelompok ini di Lebanon sebagai kemenangan politik dan militer.
 
Meskipun mengalami kerugian besar dan lebih dari satu juta warga Lebanon mengungsi, Hizbullah tetap bertahan dan menyebut siap berperang. Iran juga berhasil mempertahankan pengaruhnya di Lebanon.
 
Hizbullah tetap menjadi kekuatan utama di Lebanon, mempertahankan dukungan komunitas Syiah. Mereka masih memiliki senjata dan kemampuan militer, meski terbatas.
 
Hizbullah melihat keberlanjutan perjuangan ini sebagai kemenangan simbolis, dengan Israel gagal mengusir mereka dari Lebanon selatan dan mengubah dinamika politik.
 
Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut tiga alasan utama untuk mengejar gencatan senjata dengan Hizbullah: fokus pada Iran, mengisi kembali persediaan senjata yang menipis, dan memberi waktu istirahat bagi tentara.
 
Langkah ini juga bertujuan untuk mengisolasi Hamas, yang memicu perang di wilayah tersebut. Netanyahu menambahkan bahwa Hizbullah, yang didukung Iran, kini jauh lebih lemah dibandingkan awal konflik.
 
Hizbullah tidak dapat memenuhi tujuan mereka berperang dengan Israel. Pada awalnya, Hizbullah menolak gencatan senjata yang tidak mencakup Gaza.
 
Namun, tekanan dari berbagai pihak memaksa Hizbullah menerima gencatan senjata meskipun Gaza tidak termasuk dalam kesepakatan.
 
Gaza kini merasa ditinggalkan, dan penduduknya khawatir bahwa perhatian penuh militer Israel akan beralih ke selatan.
 
Kekerasan di Gaza telah menelan lebih dari 44.000 korban jiwa. Tanpa dukungan Hizbullah, Hamas kini harus menghadapi Israel sendirian, yang memperburuk situasi di Gaza.
 
Hamas, yang berharap dukungan Hizbullah dapat memberikan tekanan pada Israel untuk mencapai gencatan senjata komprehensif, kini kehilangan sekutu dan harus bertahan sendiri di tengah kehancuran dan penderitaan.
 
Secara keseluruhan, kemenangan dalam perang ini sangat subjektif dan tergantung pada tujuan masing-masing pihak. Israel berhasil mencapai beberapa tujuan militer, namun gagal menciptakan perubahan politik signifikan di Lebanon.
 
Di sisi lain, Hizbullah tetap bertahan sebagai kekuatan utama di Lebanon, meskipun mengalami kerugian besar dan gagal membawa perdamaian di Gaza—salah satu alasan utama mereka memulai perang dengan Israel selama setahun.
 
Namun perlu diingat bahwa konflik ini belum selesai, dan Israel sekarang memiliki hak untuk menyerang kembali Hizbullah yang dijamin oleh AS.
 
Baca Juga:
Biden Sebut Gencatan Senjata Hizbullah-Israel 'Awal Baru' bagi Lebanon
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WAN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan