Sekelompok perempuan berunjuk rasa di Taez, Yaman, 12 Februari 2022. (AHMAD AL-BASHA / AFP)
Sekelompok perempuan berunjuk rasa di Taez, Yaman, 12 Februari 2022. (AHMAD AL-BASHA / AFP)

Penindasan terhadap Perempuan Semakin Parah di Yaman

Medcom • 09 Maret 2022 06:29
Sanaa: Dengan suara bergetar, Balqees, 26, menceritakan pengalamannya yang menyayat hati di pos pemeriksaan pemberontak Houthi di utara Yaman, di mana penindasan terhadap perempuan merajalela setelah bertahun-tahun berlangsung perang saudara.
 
"Tidak ada batasan untuk rasa malu mereka," katanya, yang meminta menggunakan nama samaran karena takut akan kelompok tersebut.
 
Jarang ditemukan perempuan yang mau membagikan kisahnya, namun Balqees membahas bagaimana ia dihentikan pada pos Houthi saat naik bus bersama teman-temannya.

Ia dan teman-temannya berusia di atas 20 tahun, namun petugas Houthi menyebut mereka sebagai anak-anak di bawah umur.
 
"Dia menanyai kami dan berteriak," ujar Balqees. "Dia menuduh kami melanggar moralitas publik," sambungnya.
 
Balqees dan kawan-kawan mengenakan pakaian sopan. Tapi, Houthi tidak menyukainya. Pasalnya, selama puluhan tahun, perempuan Sanaa biasanya menggunakan baju panjang dan penutup muka warna hitam.
 
"Dia mempermasalahkan cara kami berpakaian,” kata Balqees. Petugas menyebut pakaian yang dikenakan mereka terlalu berwarna.
 
Lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) setempat, Mwatana for Human Rights, mengatakan pelanggaran hak perempuan di wilayah kekuasaan Houthi “semakin akut” sejak tahun lalu.
 
Perampasan kebebasan bagi wanita meliputi larangan penggunaan kontrasepsi hingga larangan bekerja.
 
"Situasinya buruk bagi perempuan di satu negara (Yaman), tetapi lebih buruk lagi di daerah-daerah di bawah kendali Houthi," kata Noria Sultan dari Mwatana kepada AFP.
 
Gerakan Houthi, dari sekte Syiah Zaidiyah Islam, menduduki kekuasaan atas Sanaa serta sebagian besar Yaman.
 
Sebelumnya, Yaman sudah lama dikenal dengan masyarakatnya yang sangat konservatif, tetapi kedatangan Houthi yang didukung Iran tersebut memperparah keadaan dengan menekankan pandangannya mengenai Islam yang keras.
 
Salah satu warga Sanaa lainnya, yang juga berbicara secara anonim, mengatakan kelompok pemberontak memanfaatkan pelanggaran sekecil apapun sebagai alasan untuk “memukul, memenjarakan, dan mempermalukan perempuan”.
 
Dalam kasus Balqees, petugas Houthi pun mempermasalahkan mereka yang bepergian sebagai sekelompok wanita tanpa didampingi laki-laki. Padahal, itu tidak ada dalam peraturan Yaman. Perempuan Yaman pun bebas bepergian sebelum pendudukan Houthi.
 
Ketika Balqees mengatakan dirinya berencana untuk melintas untuk melakukan perjalanan ke pelabuhan selatan Aden yang masih dikuasai pemerintah, keadaan menjadi lebih buruk.
 
"Dia (petugas Houthi) berkata, 'Insya Allah, Anda akan masuk neraka'," kata Balqees.
 
Pasukan Houthi pun menyita berkas identitas Balqees dan teman-temannya, kemudian memerintahkan mereka untuk kembali ke Sanaa.
 
"Kalau ada institusi yang benar, kami dapat mempertahankan hak-hak kami, tapi tidak ada yang bisa kami sampaikan pengaduan,” tutur Balqees. “Ini memalukan.”
 
Perang saudara Yaman berlangsung sejak 2014, ketika Houthi merebut kendali atas Sanaa, ibu kota Yaman. Gerakan tersebut memberontak melawan pemerintah yang diakui dunia internasional, yang didukung oleh koalisi militer pimpinan Arab Saudi.
 
Baca:  Koalisi Arab Saudi Gempur Yaman Usai Houthi Serang Bandara Abha
 
Akibat perang, telah timbul ratusan ribu korban jiwa, baik terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. (Kaylina Ivani)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan