Menurut pejabat dari kedua belah pihak, pembicaraan antara Hamas dan partai Fatah pimpinan Presiden Palestina Mahmoud Abbas akan diadakan di Tiongkok pada pertengahan Juni 2024.
Hal ini menyusul dua putaran perundingan rekonsiliasi baru-baru ini di Tiongkok dan Rusia. Namun, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menolak berkomentar.
Mengutip Channel News Asia (CNA), pertemuan berikutnya akan diadakan di tengah upaya mediator internasional untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza, salah satu poin pentingnya adalah rencana sehari setelahnya kondisi wilayah kantung tersebut akan dikelola.
Dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara Barat, Hamas telah dijauhi jauh sebelum serangannya pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang di Israel, serta lebih dari 250 sandera sehingga memicu perang di Gaza.
Meski mereka dihantam secara militer, pertemuan para politisi Hamas dengan para pejabat dari partai Fatah yang mengendalikan politik Palestina di Tepi Barat diduduki oleh Israel menunjukkan tujuan kelompok tersebut untuk membentuk tatanan pascaperang di wilayah Palestina.
Mengutip CNA, orang tersebut seperti pejabat lain yang tidak disebutkan namanya dalam laporan ini. Mereka menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang untuk membahas masalah sensitif tersebut dengan media.
“Hamas yang memerintah Gaza sebelum perang, mengakui bahwa mereka tidak dapat menjadi bagian dari pemerintahan baru wilayah Palestina yang diakui secara internasional ketika pertempuran di wilayah tersebut akhirnya berakhir,” kata sumber tersebut.
“Meskipun demikian, mereka ingin Fatah menyetujui pemerintahan teknokratis baru di Tepi Barat dan Gaza sebagai bagian dari kesepakatan politik yang lebih luas,” tambah sumber tersebut dan pejabat senior Hamas Basim Naim.
Naim mengatakan pihaknya berbicara tentang kemitraan politik dan persatuan politik untuk merestrukturisasi entitas Palestina yang menghadiri putaran perundingan Tiongkok sebelumnya.
“Apakah Hamas berada di dalam pemerintahan atau di luarnya, hal itu bukanlah tuntutan utama gerakan tersebut dan Hamas tidak menganggapnya sebagai syarat untuk melakukan rekonsiliasi,” jelasnya, seperti kebanyakan pemimpin politik Hamas beroperasi di pengasingan di luar Gaza.
Sementara itu, Prospek Hamas untuk bertahan sebagai pemain politik yang berpengaruh merupakan isu pelik bagi negara-negara Barat.
Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mempunyai tujuan perang di Gaza untuk menghancurkan kelompok yang didukung Iran, sebagian besar pengamat sepakat bahwa Hamas akan tetap ada dalam bentuk tertentu setelah gencatan senjata.
Sebagai sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin, gerakan ini memiliki jangkauan dan akar ideologis yang dalam di masyarakat Palestina.
Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) menentang peran Hamas dalam memerintah Gaza setelah perang. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 36.000 warga Palestina.
Namun, beberapa pejabat AS secara pribadi menyatakan keraguan bahwa Israel akan memberantas kelompok tersebut. Pada 14 Mei 2024, seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa Washington berpikir kecil kemungkinannya Israel dapat mencapai ‘kemenangan total.’
“Membunuh setiap anggota Hamas adalah hal yang tidak realistis dan bukan tujuan tentara Israel, tetapi menghancurkan Hamas sebagai otoritas pemerintahan adalah tujuan militer yang dapat dicapai,” kata juru bicara militer Israel, Peter Lerner.
Kesempatan kecil
Negara-negara Barat mendukung gagasan bahwa pascaperang Gaza akan dipimpin oleh Otoritas Palestina (PA), pemerintahan yang dipimpin oleh Abbas. Ia memiliki pemerintahan sendiri yang terbatas di sebagian wilayah Tepi Barat.
Berbasis di Ramallah, PA diakui secara global mewakili Palestina dan menerima bantuan keamanan dari AS dan UE secara luas.
Sebelumnya, Yasser Arafat yang memimpin yang saat ini dialihkan oleh Abbas dipercaya bahwa Fatah merupakan pemimpin perjuangan Palestina yang tak terbantahkan selama beberapa dekade hingga bangkitnya sebuah gerakan Islam, Hamas.
Selain itu, PA juga menguasai Gaza hingga tahun 2007 ketika Hamas mengusir Fatah dari wilayah tersebut, setahun setelah mengalahkan Fatah dalam pemilihan parlemen yang terakhir kali warga Palestina memberikan suaranya.
Meskipun ada perundingan, permusuhan antar faksi menunjukkan peluang kecil tercapainya kesepakatan untuk menyatukan kembali pemerintahan di wilayah Palestina. Hal tersebut dikatakan berdasarkan percakapan dengan lima sumber tersebut yang pandangannya juga diamini oleh empat ahli.
“Harapan saya terhadap pemulihan hubungan sangat kecil atau kurang,” kata peneliti senior di Carnegie Middle East Center, Yezid Sayigh.
Di sisi lain, rakyat Palestina mencita-citakan sebuah negara di seluruh wilayah yang diduduki Israel dalam perang tahun 1967, ketika Israel merebut Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.
Meskipun 143 negara mengakui Palestina, termasuk Irlandia, Spanyol dan Norwegia pekan lalu, harapan akan adanya negara berdaulat telah memudar selama bertahun-tahun seiring Israel memperluas permukiman di Tepi Barat dan menentang pembentukan negara.
Perpecahan Hamas-Fatah semakin memperumit tujuan tersebut. Faksi-faksi tersebut memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai strategi.
Fatah berkomitmen untuk melakukan negosiasi dengan Israel untuk mewujudkan negara merdeka, sedangkan Hamas mendukung perjuangan bersenjata dan tidak mengakui Israel.
Kepahitan ini terungkap pada pertemuan puncak Arab di bulan Mei, ketika Abbas menuduh Hamas memberi Israel ‘lebih banyak alasan’ untuk menghancurkan Gaza dengan melancarkan serangan 7 Oktober.
Namun, Hamas mengatakan pernyataan itu sangat disesalkan dan menyebut tanggal 7 Oktober sebagai momen penting dalam perjuangan Palestina.
Piagam pendirian Hamas tahun 1988 menyerukan kehancuran Israel. Pada 2017, Hamas mengatakan mereka menyetujui negara transisi Palestina dalam batas-batas yang sudah ada sebelum perang tahun 1967.
Meski mereka masih menolak mengakui hak keberadaan Israel, Hamas telah menegaskan kembali posisi tersebut sejak pecahnya perang Gaza.
Terbentuk Pemerintahan Baru Hanya Buang Waktu
Bulan Maret, Abbas mengambil sumpah dalam kabinet PA baru yang dipimpin oleh Mohammed Mustafa, seorang pembantu dekat Abbas yang mengawasi rekonstruksi Gaza selama masa jabatan sebelumnya di pemerintahan dari tahun 2013 hingga 2014.
Meskipun kabinet tersebut terdiri dari para teknokrat, tindakan Abbas membuat marah Hamas dan menuduhnya bertindak sepihak.
Sementara itu, pejabat senior Fatah Sabri Saidam mengatakan kepada Reuters bahwa membentuk pemerintahan baru hanya membuang-buang waktu.
Pejabat senior kedua yang mengetahui persyaratan Fatah dalam perundingan dengan Tiongkok mengatakan pihaknya ingin Hamas mengakui peran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai satu-satunya perwakilan sah Palestina dan berkomitmen terhadap perjanjian yang telah ditandatangani.
Hal tersebut termasuk perjanjian Oslo yang ditandatangani 30 tahun lalu. Namun, PLO mengakui Israel dan ditentang keras oleh Hamas.
Pejabat itu mengatakan Fatah ingin pemerintah yang memiliki keamanan penuh dan kendali administratif di Gaza menjadi sebuah tantangan bagi kekuasaan Hamas di sana.
Pada dasarnya, Hamas berselisih dengan PLO mengenai Israel dan tidak pernah bergabung dengan badan tersebut. PLO telah lama menyerukan pemilihan lembaga-lembaga pemerintahannya, termasuk badan legislatifnya yang dikenal sebagai PNC.
Namun, pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh mengatakan bahwa selain pemerintahan berdasarkan ‘konsensus nasional,’ kelompok tersebut menginginkan pemilihan presiden PA, parlemen dan PNC.
Di sisi lain, dosen Universitas Birzeit di Tepi Barat, Ghassan Khatib mengatakan Hamas hanya tertarik pada rekonsiliasi berdasarkan persyaratannya dalam mempertahankan politik, aparat keamanan, dan ideologinya. Menurutnya, rekonsiliasi tersebut akan berisiko menjerumuskan PLO ke dalam isolasi internasional.
“Abbas tidak bisa menerima mereka dengan politik mereka karena itu akan membahayakan satu-satunya pencapaian PLO (dalam) pengakuan internasional,” kata Khatib.
Bagian dari struktur
Meskipun demikian, pejabat Fatah Tayseer Nasrallah mengatakan Fatah memandang Hamas sebagai bagian dari struktur nasional Palestina dan juga bagian dari struktur politik.
Pejabat Senior Saidam mengatakan konsensus diperlukan untuk mengelola bantuan dan rekonstruksi di Gaza. Selain itu, Fatah telah menjelaskan bahwa pihaknya tidak akan kembali ke Gaza.
“Dengan membawa tank (Israel), tetapi kami akan mencapai kesepakatan dengan semua orang,” tambahnya.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Israel Tal Heinrich menyatakan kesediaan Otoritas Palestina untuk bekerja sama dengan Hamas sangat ‘disayangkan.’
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan di Tepi Barat dan Gaza oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina pada Maret menunjukkan Hamas mendapat lebih banyak dukungan dibandingkan Fatah. Popularitasnya masih lebih tinggi dibandingkan sebelum perang.
Sebagai tuan rumah di Tiongkok yang menandai peningkatan diplomasi bagi Hamas yang didukung Iran, redaktur pelaksana surat kabar milik negara Mesir Al-Ahram dan seorang spesialis urusan Palestina, Ashraf Aboulhoul mengatakan Hamas lebih tertarik pada kesepakatan daripada Fatah karena rekonsiliasi dapat memberikan perlindungan bagi organisasi yang sudah lelah berjuang untuk bangkit kembali.
Namun, Mohanad Hage Ali dari Carnegie Middle East Center mengatakan sulit membayangkan Hamas memulai tindakan militer yang akan memicu pembalasan besar-besaran Israel di masa mendatang. “Rekonsiliasi akan menjadi fase transisi yang memungkinkan Hamas mempersenjatai kembali secara perlahan,” ujar Ali. (Theresia Vania Somawidjaja)
Baca juga: Menteri Israel Lakukan Provokasi Rebut Masjid Al-Aqsa
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id