Temuan ini berasal dari dua laporan paralel. Satu laporan berfokus pada serangan Hamas pada 7 Oktober lalu dan satunya mengenai respons militer Israel yang diterbitkan oleh Komisi Penyelidikan PBB (COI) dan memiliki mandat sangat luas
Tujuannya untuk mengumpulkan bukti dan mengidentifikasi pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di Israel dan wilayah Palestina yang diduduki.
Di sisi lain, Israel tidak bekerja sama dengan komisi tersebut karena dikatakan memiliki bias anti-Israel.
Namun, COI mengatakan Israel menghalangi pekerjaannya serta mencegah penyelidik mengakses Israel dan wilayah pendudukan Palestina. Misi diplomatik Israel untuk PBB di Jenewa juga menolak temuan tersebut.
“COI sekali lagi membuktikan bahwa semua tindakannya untuk kepentingan agenda politik sempit terhadap Israel,” kata Duta Besar Israel untuk PBB di Jenewa, Meirav Eilon Shahar, dikutip dari AsiaOne, Kamis, 13 Juni 2024.
Namun, Hamas tidak segera menanggapi permintaan komentar. Berdasarkan perhitungan Israel, lebih dari 1.200 orang tewas dan 250 orang disandera dalam serangan lintas batas pada 7 Oktober.
Menurut penghitungan Palestina, serangan tersebut memicu pembalasan militer di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 37.000 orang.
Laporan tersebut yang mencakup konflik hingga akhir Desember, menemukan bahwa kedua belah pihak melakukan kejahatan perang termasuk penyiksaan, pembunuhan atau pembunuhan yang disengaja, kemarahan terhadap martabat pribadi, dan perlakuan tidak manusiawi atau kejam.
“Israel juga melakukan kejahatan perang tambahan termasuk kelaparan sebagai metode peperangan,” ungkap Shahar.
Ia menambahkan Israel tidak hanya gagal menyediakan pasokan penting seperti makanan, air, tempat tinggal dan obat-obatan kepada warga Gaza, tetapi juga bertindak untuk mencegah pasokan kebutuhan tersebut.
“Beberapa kejahatan perang seperti pembunuhan juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel,” tulis pernyataan COI.
Pernyataan tersebut menggunakan istilah yang diperuntukkan bagi kejahatan internasional paling serius secara sengaja dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil.
“Jumlah besar korban sipil di Gaza serta kerusakan luas terhadap obyek-obyek dan infrastruktur sipil adalah akibat tak terelakkan dari strategi yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kerusakan maksimal dengan mengabaikan prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas dan tindakan pencegahan yang memadai,” lanjut pernyataan COI.
Terkadang, bukti yang dikumpulkan oleh badan-badan yang diberi mandat oleh PBB menjadi dasar penuntutan kejahatan perang dan dapat digunakan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICJ).
Pembunuhan massal, kekerasan seksual dan penghinaan
Temuan COI didasarkan pada wawancara dengan korban dan saksi, ratusan masukan, citra satelit, laporan medis, serta informasi sumber terbuka yang terverifikasi.Di antara temuan-temuan dalam laporan setebal 59 halaman mengenai serangan 7 Oktober, komisi tersebut memverifikasi empat insiden pembunuhan massal di tempat penampungan umum menunjukkan bahwa para militan mempunyai instruksi operasional tetap.
Mereka juga mengidentifikasi pola kekerasan seksual yang dilakukan kelompok bersenjata Palestina, tetapi tidak dapat memverifikasi laporan pemerkosaan secara independen.
Selain itu, laporan Gaza setebal 126 halaman yang lebih panjang mengatakan penggunaan senjata Israel seperti bom berpemandu MK84 dengan kapasitas destruktif besar di wilayah perkotaan tidak sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional.
Dikatakan, mereka tidak dapat membedakan antara sasaran militer dan sasaran sipil secara memadai atau akurat.
Pernyataan tersebut juga mengatakan bahwa laki-laki dan anak laki-laki Palestina menjadi sasaran kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan gender.
Mereka menyebut kasus-kasus para korban dipaksa telanjang di depan umum dalam tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan penghinaan yang parah.
Selanjutnya, temuan ini akan dibahas oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa minggu depan.
Sebelumnya, COI yang terdiri dari tiga ahli independen termasuk ketuanya, mantan kepala hak asasi manusia PBB di Afrika Selatan, Navi Pillay dibentuk pada 2021 oleh dewan Jenewa.
Tak seperti biasanya, mandat yang diberikan bersifat terbuka sebagai sebuah fakta yang dikritik oleh Israel dan beberapa sekutunya. (Theresia Vania Somawidjaja)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News