Haftar, pria 76 tahun, menegaskan bahwa LNA akan berusaha membangun sejumlah institusi permanen yang sejalan dengan keinginan rakyat. "Masyarakat harus dapat mengendalikan nasib mereka dan memilih sendiri masa depan melalui cara-cara demokratis," sebut Haftar.
"Dari hari pertama perjuangan, tujuan kami adalah melindungi keinginan rakyat Libya," sambungnya.
Haftar mengklaim perjanjian Skhirat yang dimediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat Libya terpuruk. Ia menyebut perjanjian itu kini telah menjadi "bagian dari masa lalu kelam" Libya.
Klaim Haftar disambut beragam reaksi, mulai dari pemerintahan resmi Libya (GNA) hingga Amerika Serikat.
GNA
Pemerintahan Perjanjian Nasional atau GNA menuding Haftar tengah berusaha melakukan kudeta baru. "(Klaim Haftar) itu merupakan sebuah lelucon dan bagian dari rangkaian kudeta," kata GNA dalam pernyataan pada Selasa 28 April.
"Apa yang diucapkan oleh penjahat perang Haftar adalah kudeta terhadap rute demokrasi. Ucapan dia bukan hal baru, tapi kelanjutan dari percobaan kudetanya yang terus berakhir gagal," lanjut GNA.
GNA menyerukan semua warga Libya untuk bergabung dalam "sebuah dialog komprehensif dan melanjutkan rute demokrasi demi tercapainya solusi permanen."
Uni Eropa
Peter Stano, juru bicara UE untuk kebijakan luar negeri dan keamanan, menilai klaim Haftar sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima. Menurutnya, langkah Haftar seperti itu tidak akan pernah berujung pada solusi berkesinambungan di Libya.
"Segala upaya untuk melakukan solusi sepihak, terlebih dengan menggunakan kekuatan, tidak akan pernah bisa menghadirkan solusi berkesinambungan. Percobaan seperti itu tidak dapat diterima," sebut Stano.
Stano menegaskan bahwa perjanjian Skhirat masih merupakan kerangka yang dapat digunakan untuk mencapai solusi politik di Libya.
Rusia
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan kepada awak media bahwa negaranya menolak klaim Haftar dan juga sikap GNA yang menolak berdialog dengan LNA.
"Kami tidak mendukung pernyataan (Perdana Menteri Libya Fayez) al-Sarraj yang menolak berbicara dengan Haftar, dan kami juga tidak mendukung pernyataan sepihak Haftar," tutur Lavrov.
"Dua langkah tersebut sama-sama tidak dapat mewujudkan kompromi, sehingga mustahil untuk dapat keluar dari krisis saat ini," tegasnya.
Jerman
Berlin juga mengekspresikan kekhawatiran mengenai klaim sepihak Haftar dan penolakannya terhadap perjanjian pembagian kekuasaan di Libya. "Dalam pandangan Pemerintah Jerman, konflik di Libya tidak dapat diselesaikan secara militer, dan juga tidak bisa melalui deklarasi sepihak," ucap seorang sumber di Kemenlu Jerman.
Amerika Serikat
Washington menyesalkan "deklarasi sepihak" Haftar dan menyerukan diadakannya dialog antara GNA dan LNA. AS juga mendorong adanya gencatan senjata "kemanusiaan" karena komunitas global saat ini tengah kewalahan menangani pandemi virus korona (covid-19).
"Amerika Serikat menyayangkan sikap Haftar yang merasa perubahan terhadap struktur politik Libya dapat dicapai melalui deklarasi sepihak," ujar pernyataan di akun Twitter milik kedutaan besar AS.
"Karena warga Libya masih terus menderita di tengah bulan suci Ramadan, dan juga adanya pandemi covid-19 yang mengancam keselamatan jiwa, kami mendesak LNA untuk bergabung dengan GNA dalam mendeklarasikan gencatan senjata kemanusiaan sesegera mungkin," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News