Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menyapa wartawan menanggapi hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei. (Foto: AFP).
Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menyapa wartawan menanggapi hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei. (Foto: AFP).

Pemilu Indonesia, Harapan di Lautan Pertarungan Orang Kuat

19 April 2019 14:25
INDONESIA melakukan pemilihan yang kompleks namun damai pada 17 April. Pengamat menyebut lancarnya pemilu di Indonesia, memperkuat posisi sebagai mercusuar demokratis di lautan berbagai pemerintahan negara yang otoriter.
 
Tetapi negara mayoritas Muslim terbesar di dunia masih menghadapi lonjakan Islam garis keras dan segudang tantangan lainnya. Sebanyak 190 juta pemilih memberikan suara untuk memilih presiden baru, anggota parlemen dan legislator lokal, dalam kontes satu hari dengan rekor 245.000 kandidat.
 
Hasil awal tampaknya memberikan masa jabatan kedua kepada Presiden Joko Widodo, tetapi mantan Gubernur DKI Jakarta itu menunda menyatakan kemenangan sambil menunggu hasil resmi pada 22 Mei.
Namun, saingannya, Prabowo Subianto,-yang memiliki ikatan kuat dengan kediktatoran Suharto yang runtuh pada tahun 1998,- bersikeras ia menang, dan bersumpah untuk menentang hasilnya.
 
Dia melakukan hal yang sama, tetapi tidak berhasil, setelah kalah dari Joko Widodo pada 2014 dan sedikit yang memperkirakan Prabowo akan memenangkan pertarungan terbaru ini.
 
Terlepas dari ketidakpastian yang masih ada, prestasi demokrasi Indonesia masih sangat kontras dengan pemerintah yang kuat di Filipina dan Kamboja, otoriter Vietnam dan Laos, langkah-langkah pasca-junta Myanmar yang kacau dan pemilihan kacau di Thailand, yang pertama sejak kudeta 2014.
 
"Di wilayah yang tidak condong ke demokrasi, di mana otoritarianisme sedang meningkat, demokrasi Indonesia benar-benar memiliki bobot - bahkan jika itu berubah lebih konservatif," kata Christine Cabasset di Institut Penelitian Kontemporer Asia Tenggara yang berpusat di Bangkok, seperti dikutip dari AFP, Jumat, 19 April 2019.
 
Erosi lambat
 
Dalam anggapan untuk partisipasi pemilih, satu petugas survei terkemuka mencatat 82 persen jumlah pemilih dalam jajak pendapat minggu ini, tertinggi sejak pemilihan legislatif tahun 2004.
 
"Orang-orang memilih dan membuat perbedaan. Orang Indonesia telah memeluk kekuatan pemilihan mereka sendiri, terutama pemilih yang lebih muda," kata Bridget Welsh, seorang pakar Asia Tenggara di Universitas John Cabot di Roma.
 
"Ini menjadi pertanda baik untuk tuntutan yang lebih besar untuk tata kelola yang lebih baik," tambahnya.
 
Meski begitu, Welsh sangat kritis terhadap catatan penyelesaian kasus HAM di masa pemerintahan Jokowi. Welsh mengungkapkan ada keraguan tentang apakah politikus berusia 57 tahun itu akan menggunakan modal politiknya untuk melindungi dua dasawarsa dari kemajuan demokrasi yang dikhawatirkan oleh sejumlah orang.
 
"Prediksi saya selama lima tahun ke depan adalah bahwa kita akan terus melihat erosi lambat kualitas demokrasi," kata Marcus Mietzner, seorang profesor di Universitas Nasional Australia.
 
"(Tapi) bukan dorongan penuh ke otoritarianisme," tambahnya.
 
Banyak pengamat yang menyoroti suara  keprihatinan tentang pengaruh baru militer, yang mengincar lebih banyak posisi pemerintah sipil di negara berpenduduk 260 juta ini, yang juga menjadi tempat tinggal bagi ratusan kelompok etnis dan bahasa.
 
Islam Tereksploitasi
 
Reputasi Indonesia untuk toleransi beragama juga telah diuji oleh kelompok Islam garis keras yang semakin vokal.
 
Perjuangan ekstremisme selama bertahun-tahun digarisbawahi tahun lalu oleh pengeboman bunuh diri di beberapa gereja di kota terbesar kedua di Surabaya - di tengah jurang pemisah dalam masyarakat antara Muslim moderat dan garis keras.
 
"Kedua kandidat mengeksploitasi Islam sebagai masalah kampanye," kata Made Supriatma, seorang peneliti tamu di lembaga think tank yang berbasis di Singapura, Yusof Ishak Institute.
 
"Perang agama ini pasti akan memiliki beberapa efek dalam debat politik di Indonesia di tahun-tahun mendatang,” sebutnya.
 
Pilihan Jokowi akan ulama konservatif Ma'ruf Amin sebagai calon wakilnya - sebagian untuk menetralisir serangan terhadap kepercayaan agamanya sendiri - telah menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana kaum minoritas akan berpasangan selama lima tahun ke depan.
 
"Reformasi sektor militer adalah suatu keharusan, demikian juga perlindungan minoritas dan mengatasi intoleransi dan ekstremis," kata Yohanes Sulaiman, seorang analis politik di Universitas Jenderal Achmad Yani.
 
Pekerjaan sedang berlangsung
 
Beberapa pengamat juga melihat jejak kediktatoran lama Indonesia yang runtuh masih masuk dalam sistem saat ini.
 
"Sulit untuk disingkirkan," kata Supriatma.
 
"Semua partai politik didominasi oleh pemain lama, baik secara nasional maupun regional,” tuturnya.
 
Tapi ada sedikit selera untuk apa pun kecuali transisi kekuatan halus lainnya.
 
"Demokrasi Indonesia masih dalam proses," kata Dewi Fortuna Anwar, profesor riset di Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia.
 
"Tapi faktanya warga tidak pergi ke jalan-jalan dan membawa senjata jika ingin memperdebatkan pemungutan suara. Lebih baik pergi ke pengadilan dan menjadi bagian utama dari demokrasi Indonesia,” pungkasnya.
 

 

Opini ini disadur dari AFP pada 19 April 2019
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

(FJR)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif