Sudah beberapa jilid pembicaraan damai kedua negara dilakukan, namun tidak ada titik terang. Gempuran Rusia terus terjadi di tengah sanksi yang kian menjadi. Pertanyaan terlintas, apakah sanksi itu benar-benar berimbas pada Negeri Beruang Merah itu?
Nyatanya, hingga kini baik Rusia maupun Ukraina tidak berniat untuk segera menyelesaikan konflik yang sudah berjalan lebih dari sebulan ini. Dan Kiev, berjuang sendiri melawan invasi Moskow.
Sementara itu, 'kompor' invasi seperti tidak 'bertanggung jawab' atas serangan ini. Sebut saja negara Uni Eropa, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Padahal tentara AS sudah berada di perbatasan Ukraina sejak sebelum invasi dimulai.
Sedangkan NATO, seperti mengambil langkah mundur dan berusaha kabur dari situasi ini. Padahal bisa dibilang mereka 'biang keroknya'. NATO memberi harapan palsu untuk Kiev menjadi anggotanya, tapi hingga negara itu digempur habis Rusia, keanggotaan tidak juga diberikan.
Saat ini, Barat menargetkan Rusia di berbagai forum multilateral. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dewan Hak Asasi Manusia PBB (Dewan HAM PBB), hingga G20, menjadi bidikan Barat agar Rusia dikeluarkan.
Entah ini bagian dari sanksi atau bermuatan politik, pasalnya Rusia bagian dari 20 ekonomi terbesar dunia yang tentunya perannya berpengaruh bagi perekonomian saat ini, yang terpuruk akibat pandemi covid-19.
Dalam Sidang Darurat Khusus Majelis Umum PBB pada 7 April lalu, resolusi mengenai penangguhan keanggotaan Rusia pada Dewan HAM PBB diadopsi. Resolusi tersebut diadopsi melalui proses pemungutan suara, di mana 93 negara mendukung, 24 negara menolak, dan 58 negara memilih untuk abstain termasuk Indonesia.
Rusia memutuskan keluar dari keanggotaan Dewan HAM PBB usai Majelis Umum menangguhkan status keanggotaannya tersebut. Duta Besar Rusia untuk PBB, Gennady Kuzmin, menyampaikan keputusan itu tak lama usai hasil jajak pendapat resolusi penangguhan status Rusia lolos dengan dukungan 93 negara.
Kuzmin menganggap voting tersebut ilegal dan mengatakan negaranya memutuskan keluar dari keanggotaan sesegera mungkin.
"(Keputusan status penangguhan Rusia) merupakan langkah yang tak sah dan bermotif politik," ujar Kuzmin.
Sementara itu, Ukraina menanggapi dengan sinis keputusan Rusia. "Anda tak mengajukan pengunduran diri ketika Anda sudah dipecat," ucap Duta Besar Ukraina di PBB, Sergiy Kyslytysya.
Keputusan penangguhan Rusia sebagai anggota Dewan HAM PBB diambil menyusul laporan pelanggaran HAM berat dan sistematis yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, terutama di Bucha.
Pekan lalu, pemerintah Ukraina melaporkan menemukan ratusan mayat di sekitar ibu kota Kiev, termasuk Bucha. Foto-foto dan video itu beredar di media sosial.
Pemerintahan Kiev dan negara Barat ramai-ramai menuduh pasukan Rusia membantai orang-orang itu. Namun, Moskow membantah dan balik menuding foto dan video itu merupakan propaganda AS.
Sebelumnya, G20 menjadi sasaran AS dan sekutu untuk menjatuhkan Rusia. Mereka menginginkan Indonesia, sebagai ketua G20 2022, tidak mengundang Moskow hadir dalam forum ini, jika tidak, mereka tak akan datang.
Menjalani tugas sebagaimana mestinya ketua, Indonesia menolak usulan tersebut. RI berdalih telah mengundang semua pemimpin negara anggota untuk hadir di KTT G20 yang akan dilaksanakan ke Bali, Oktober mendatang.
Akhir pekan lalu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak akan berpartisipasi dalam pertemuan G20 jika Rusia hadir menjadi sorotan. AS bahkan mengancam akan memboikot sejumlah pertemuan G20, jika Rusia tidak dikeluarkan dari kelompok itu.
Entah sampai kapan perang ini akan berlanjut. Namun, pembicaraan damai kedua negara berseteru diharapkan segera membuahkan hasil signifikan yang dapat menghentikan perang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News